Jumat, 20 Desember 2013

Polemik selalu berujung pada tulisan. Kata yang berapi-api, kekesalan, dan pembelaan melalui tulisan. Balas-membalas melalui tulisan/karangan patut kita simak. Eh, nanti dulu, ini bukan polemik antara Martin dan GM loh. Ini mengenai tulisan Hatta yang diterbitkan oleh Bulan Bintang tahun 1975. Tulisan ini merupakan jawaban atas tudingan yang dilontarkan oleh Ny. Vodegel Soemarmah. Kritik Ny. Vodegel Soemarmah atas tulisan Hatta, "Garis-garis pokok bangunan ekonomi dunia" dalam majalah Sin Tit Po. Asik kan intelektual-intelektual dulu perang gagasan melalui tulisan.

Hatta menulis di kata pengantar, "Karangan lama itu muncul sekarang dalam bahasa Indonesia dan akan diterjemahkan oleh sdr. Hazil. Itulah sebabnya karangan lama itu muncul sekarang dalam bahasa Indonesia sesudah 37 tahun dari waktu pertama kali ditulis . Sungguhpun begitu segi ilmiahnya masih dapat membuka pikiran, istimewa bagi pelajar-pelajar Indonesia pada Universitas kita"

Tapi aku ragu kalau karangan ini di baca oleh pelajar-pelajar kita. Ya, ada harapan mungkin bagi  mahasiswa jurusan Sejarah, itu juga kalau ngambil skripsi tentang Hatta.

Hatta merespon tudingan Ny.Vodegel Soemarmah yang menyebutkan bahwa seorang Hatta tidak mengerti mengenai perjuangan rakyat. Yang menurut Hatta, Ny.Vodegel Soemarmah tidak mengenal ampun terhadap karya-karya bersifat ilmiah buah pikiran-pikiran borjuis. Artinya Hatta dipandang sebagai yang borjuis.

Hatta coba membalikan tudingan itu dengan memuat karangan ini "Ajaran Marx atau Kepintaran Sang Murid Membeo? Lah, Marx sendiri belajar dari guru borjuis kok. Menurut Hatta teori Marx itu berasal dari guru-guru borjuis. Jadi, Ny. Vodegel Soemarmah kalaupun mengutip karya-karya dari seorang pikiran borjuis berguna hanya untuk membuktikan, "Kepalsuan dari pada apa yang mereka katakan"

Hatta mengetahui Ny. Vodegel Soemarmah hanyalah nama samaran.

Hatta mengatakan, "Saya tahu Tan Ling Djie adalah seorang calon propagandis komunis. Mula-mula setelah tamat H.B.S. ia meneruskan pelajarannya ke Leiden untuk ilmu hukum. Tetapi ia hanya beberapa waktu saja di Leiden. Dari sana ia pergi ke Moskou. Di Moskou ia didik selama 5 tahun menjadi propagandis komunisme. Sesudah itu ia pulng ke Indonesia."

Itulah gambaran Hatta mengeni Ny.Vodegel yang ternyata propagandis komunis tulen. Perang kutipan pun terjadi. Hatta begitu mengecam maksud Ny.Vodegel yang menurutnya, "ia tidak segan-segan memutarbalikan arti daripada kutipan-kutipan saya". (hal 24)

Yang menarik bagiku ketika tulisan Hatta coba membuktikan bahwa analisa-analisa Marx sendiri merupakan turunan dari kutipan-kutipan kaum borjuis. Bukankah sebelum Marx sudah ada yang membahasa tentang perjuangan kelas. Misalnya Revolusi Perancis. Hatta menjelaskan, "Jauh sebelum dia (Marx) perjuangan kelas itu sudah disinyalir oleh seorang pengarang borjuis."

Kutipan-kutipan Marx banyak berasal dari Ricardo. Contohnya,  Teori Bunga Tanah Marx berasal dari Ricardo. Teori kemelaratan yang berujung pada teori upah pun berasal dari Ricardo. Mesti begitu menurutku Marx selalu mempunyai kesimpulan berbeda.

Hatta coba mengedepankan pikiran-pikiran Hegel. Jadi menurutku polemik Hatta dan Ny. Vodegel itu layaknya perang bintang antar pikiran Hegel dan Marx. Jadi ya pasti selalu berbeda kesimpulan. Dari cara berfikir yang menuju filsafat mereka akhirnya berbeda kesimpulan. Hatta di buku ini ingin membuktikan kesalahan-kesalahan 'kutipan', cara berfikir dari Ny. Vodegel.

Dan Hatta mengutip Bukharin untuk menghajar pikiran-pikiran macam Ny.Vodegel yang terlalu membeo pikiran utopis Marx. Yang menurutnya penghapusan kelas tidak mungkin terjadi!

Hatta sangat percaya yang batin, yang ujung-ujungnya lari ke keyakinan/kepercayaan, bukankah itu sangat Hegel sekali? Hehehe kali aja. Soalnya Hatta bilang gini, "Yang memainkan peranan adalah keyakinan , kepercayaan, semangat, keikhlasan untuk berkorban dan tifak sedikit idealisme?" (hal 40) Absolut sekali kan.

Yang pasti mengikuti polemik dengan tulisan lebih asyik daripada mengikuti polemik di Televisi. Karena yang ditampilkan Televisi adalah polemik yang sudah dihias dengan mikrofon, meja-meja, dan manusia-manusia kaku yang dibekuan oleh durasi dan iklan!

Posted on Jumat, Desember 20, 2013 by Rianto

No comments

Senin, 16 Desember 2013

Seperti apa Idrus bagimu? Idrus lebih dari perumpamaan. Lebih dari seorang pendongeng. Ah, tidak bagiku ia guru. Kata-kata yang dituturkan dalam buku ini buatku merinding. Aku sedang didongengi guru sejarah! Revolusi bukan hanya ada di buku-buku sejarah, dikta-diktat, sejarah juga milik Idrus. Milik imajinasinya.

Persis tokoh Open dalam ceritanya Djalan Lain Ke Roma. Kita akan dibawa oleh pengembaran-pengembaraan pikiran seorang yang jujur di zaman Jepang. Idrus menggambarkan saat Open ditangkap Jepang akibat tulisan-tulisannya yang berbahaya bagi penguasa.

“Ia bisa pergi kemana-mana,” kata Idrus, “dengan pikirannya biar pun di sekeliling badannja mendjulang tinggi tembok empat persegi” (Hal 195)

Bagi Idrus zaman bukan saja romantika. Namun Idrus pun berawal dari romantika. Aku terharu membaca karangan romantis di awal buku terbitan Balai Pustaka 1956 ini.  Mengenai kisah cinta yang salah, Ave Maria. Cinta yang salah, mungkin salah mencintai. Sebab, tokoh Wartini sedang merindu teman yang ia cintai itu, Sjamsu. Padahal kala itu ia sungguh mencintai yang lain. Sjamsu adalah  teman yang seharusnya memiliki Wartini. Musik menyatukan cinta mereka. Wartini dan Sjamsu memainkan lagu Ave Maria. Wartini jatuh dalam kesedihan saat terkenang masa lalu bermain biola dan memainkan lagu Ave Maria. Pertanyaan lugu ini yang membuatku terharu,

“Sjam. Dapatkah seorang perempuan menjintai dua orang laki-laki”

Dari situ aku percaya, menulis berawal dari yang romantik. Tentu romantik itu cinta, begitu dekat dengan kita. Romantika menguasai tubuh dan pikiran untuk berkata yang manis, yang cinta, yang  penyesalan, yang kerinduan. Bayangkan saja, ketika mau menulis, yang romantis, cinta-cintan terkadang lebih menguasai kata dan bahasa kita. Mabuk cinta.

Toh, akhirnnya Idrus pun meninggalkan yang romantik. Realisme memuncak pada karya-karya selanjutnya. Bosan barangkali. HB, Jassin berkomentar dengan,

“Idrus tidak terus menjadi orang jang skeptis, tapi pernah mengalami romantiknja, dan oleh karena kemudian bosan dengan romantik itu, dengan sengadja mentcari djalan lain dan tiba pada ke tjorak “kesederhanaan baru” (Nieuwe Zakelijkheid).”

Pendudukan Jepang, kedatangan Belanda dan Inggris melahirkan karya realis Idrus. Namun, zaman jepang adalah kalender. Karangannya obat lupa, pengingat hening bagi kita menerawang apa itu Jepang, Heio, Kempetai, Asia Raya, semboyan-semboyan palsu. Mengapa kita harus patungan membuat kue untuk merayakan Jepang yang menggempur Pearl Harbour, Hawai (Fuzinkai)?  Idrus mengoyak nalar kita mengapa itu perlu. 

Idrus melukis penjajah. Karyanya berjudul Soerabaja, menjadi kisah yang lucu. Kita adalah koboy, penjajah adalah gangster. Tuhan-tuhan baru membunuh dunia dalam peperangan. Tank-tank, revolver meriam dan mortir adalah tuhan itu. Mereka terlalu percaya tuhan-tuhan itu. Kita hanya bambu runcing. Perumpamaannya selalu menggelitik.

"..Tapi tank-tank raksasa jang dua puluh meter pandjangnja itu dan kapal-kapal terbang jang selalu mendjatuhkan kotorannja itu....Ja, inilah sebab dari segala kekalahan mereka. Sebab itu mereka bentji kepada  kedua benda pembunuh ini dan bentjinya sangat besarnja, sebesar kebentjian mereka kepada imperalisme" (hal 154)

Membaca Idrus seperti membaca sejarah. Dan sejarah tidak harus kita artikan di buku-buku yang mengklaim sejarah paling benar.  Kita mesti berkelahi dengan ide-ide liarnya itu. Membaca Idrus berarti bersiaplah menjadi manusia yang gandrung akan sejarah. 


Posted on Senin, Desember 16, 2013 by Rianto

No comments

Jumat, 13 Desember 2013

Pagi tadi aku ingin sekali membaca buku. Aku tertarik dengan buku bergambar seorang kakek berkopiah itu. Ya, bukan kakek biasa kok! Inilah kisah E.F.E Douwes Dekker atau yang biasa dipanggil dengan Danoedirdjo Setiabudi di buku lusuh terbitan Bulan Bintang tahun 1984. Kalau kita nonton film ekspendables, pahlawan-pahlawan tua kembali bertanding di layar kaca macam si rambo.

Douwes Dekker mestilah pahlawan kita. Baginya usia bukanlah penghalang untuk lantang berkobar. Bapak pelatak dasar politik pertama di Hindia Belanda dengan mencipta perkumpulan “De Indische Partij” ini seorang yang kerasan dalam perjuangan politik. Salah satu pejuang radikal. Di kepalanya hanya ada satu cita-cita menuju Indonesia yang merdeka. Seorang yang tak gentar menjunjung tinggi suatu cita-cita hidup: Kemerdekaan Politik Indonesia.

Setiap langkahnya menitik perjuangaan tak gampang. Masa mudanya dihabiskan di setiap perjuangan dan peperangan. Saat selesai sekolah di HBS, Douwes Dekker yang penggemar film macam Robin Hood ini langsung mendaftar di kompi perjuangan rakyat Afrika. Roem dalam kata pengantar memuji penulis buku tentang Douwes Dekker ini. Roem menulis,

“Kita akan mengetahui tentang kehidupan seseorang yang cita-cita hidupnya tidak pernah kunjung padam sampai akhirnya: kemerdekaan Indonesia. Kita mendapat inspirsi membaca tulisan seorang lanjut usia tappi masih segar dan mampu membuat tulisan yang mengasyikan, sekalipun bahan-bahannya hanya, catatan-catatan dari kertas yang sudah kumal."

Margono Djojohadikusumo penulis buku ini masih berumur 18 tahun ketika itu terpukau oleh pidato yang disampaikan Douwes Dekker di Purworejo tahun 1913. Dengan tenang, sopan dan penuh kepercayaan dan dibumbui dengan kelakar ia menjelaskan,

“Peraturan Pemerintah Belanda tentang Hindia Belanda adalah merupakan suatu undang-undang biasa, tetapi merupakan suatu undang-undang dasar dari negeri ini yang dihasilkan oleh ahli-ahli hukum Belanda yang cendikia. Menurut undang-undang penduduk Hindia Belanda di bagi dalam dua golongan utama: orang Eropa dan orang Inlander. Perhatikan “I” dari Inlanders ditulis dengan huruf besar, itu hendak menyatakan, bahwa seharusnya akan ada benua atau negeri yang bernama Inland.” (hal 31)

            Douwes Dekker pun menyambung dengan bertanya,

“Dapatkah kalian menunjukan kepada saya negeri itu di peta Dunia? Mengapa menurut undang-undang itu saya dimasukan ke dalam golongan Eropa, hanya karena saya bernama Douwes Dekker? Tetapi saya dilahirkan di sini, mendapat sesuap nasi di sini dan juga tidak ada yang lebih saya senangi selalu dikuburkan di sini, di bawah pohon palem”. (hal 32)

Tulisan seperti roll film ini akan membawa kita kepada kisah Douwes Dekker yang menegangkan. Bagiku begitu mengharukan. Persis seperti Tan Malaka, Douwes Dekker anak bangsa ini rindu akan kampung halaman dan berjuang bersama kawan-kawan saat di pengasingan. Namun Belanda menghalang-halangi. Sebab pengobar semangat dan inspirasi para pelajar di Stovia ini begitu berbahaya di mata Belanda.

Tiba baginya 6 Desember 1946. Dari Amsterdam bersama Abidin Sudjono, Douwes Dekker menuju Rotterdam. Taksi melaju cepat. Pemeriksaan baginya begitu lama. Ia menyamar sebagi Rajiman petani tua berpakaian sederhana dari Klender (Jatinegara). Ada beberapa keluarga Indo yang curiga dengannya.

Seorang wanita indo tua lantang menyapa,  “Douwes Dekker tuan juga turut?” Douwes Dekker pun membiarkannya dengan kata-kata, “Nyonya bilang apa , saya tidak mengerti.”(hal 47). ia berpura-pura tidak mengerti bahasa belanda.

Meski ada rundingan agar tidak menyeberangi Republik. Namun Tanjung Priok sudah di depan mata. Ia pun melompat ke kapal pemuat kecil. Ia menuju Pasar Senen hendak naik kereta. Hidupnya seperti sandiwara, penuh penyamaran. Polisi militer siap menghadangnya lagi. Telpon dari Tanjung Priok telah mengabarkan Rajiman Tua yang seharusnya di tahan lebih lama telah menghilang.

Seorang wanita Indonesia yang cekatan menahan pemimpin Polisi Militer dengan kata-kata, “Siapa yang tuan cari?Rajiman? Dia masih berada di kapal. Saya sendiri melihatnya. Dia belum turun.” (48)

Perjalanannya di Kereta penuh pertempuran. Namun baginya bukanlah ketakutan yang menghampirinya. Tapi serdadu-serdadu Belanda lah yang diserang ketakutan. Pertempuran di Kranji tidak bisa dihindarkan. Pemuda-pemuda gagah telah menghantam serdadu-serdadu Belanda.

Kawan-kawan telah menungunya, di beberapa stasiun ia bertemu kawan lama. Di Cikampek ia bertemu Napitupulu. Di Cirebon bertemu Residen Hamdani. Dan setibanya di Jogja ia bertemu Soekarno dan ia dirangkulnya dengan kata-kata, “Selamat datang Nes”.

Sesuai dengan tulisannya baginya ini merupakan “Nong het Laatste Avountuur Niet” (Belumlah Petualangan yang Terakhir). Di masa pengasingannya tulisan tulisan ilmiahnya dilarang di Hindia Belanda kala itu. Aku ingin membaca tulisannya berupa buku-buku pelajaran, mengenai sejarah Indonesia, serta disertasinya. Oh ya, aku juga ingin kisah tertulis dari Margono Djojohadikusumo ini lekas menjadi Film, seperti yan diungkapkan penulis,


“Bagi generasi muda sekarang yang telah terbiasa dengan dunia film dan siaran Tv, kiranya pengalaman Douwes Dekker akan meresap lebih mendalam kalau itu dapat difilmkan. Adegan-adegan akan mengasyikan hati, menegangkan, menakutkan, akan tetapi dengan happy end untuk Douwes Dekker sebagai peran utama.”

Aku menghormatimu bung. Salam.

Posted on Jumat, Desember 13, 2013 by Rianto

No comments

Selasa, 10 Desember 2013

Di masa penjajahan kita mesti berterimakasih kepada antropolog/etnolog (sebutan apresiasi saya) bule macam Rafles, Wilken, ataupun Crawfurd . Sebab, merekalah salah satu yang mendokumentasikan hukum adat indonesia secara sederhana. Melalui laporan-laporan sederhana berupa catatan-catatan mengenai daerah yang dipimpinnya. Mereka memperlukan data ini, karena informasi untuk mengetahui hukum yang berlaku di masyarakat dipakai untuk proyeksi ke depan.

Namun apa pentingnya bagi kita yang bukankah sudah mengetahui adat dan hukum itu sendiri? Tidak!, menurut Soekanto dalam buku Menindjau Hukum Adat Indonesia (1954) terbitan Penerbit Soeroengaan menjawab dengan,

"Memang, kita adalah orang Indonesia dan hidup dalam suasana adat kita sendiri! Memang, kita sesungguhnja tidak usah menemukan adat kita sendiri.!" Selanjutnya dengan lantang Soekanto menjawab,

 "Akan tetapi, adat ini harus diketemukan, untuk mengetahui, untuk mengarti, untuk insjaf bahwa hukum adat kita adalah hukum, jang tak dapat diabaikan begitu sadja; jang menarik perhatian kaum tjerdik pandai; jang deradjatnya tidak rendah dibandingkan dengan hukum-hukum bangsa lain, hukum ini harus diketemukan supaja dapat penghargaan jang selajaknya, bukan oleh kita sendiri, akan tetapi oleh bangsa lain. Pengertian tentang hukum adat kita oleh kita tentu sudah ada sedjak sedia kala; akan tetapi pengertian hukum adat kita belum dimengerti bangsa lain!

Gila, pikirku. Soekanto memikirkan sampai sejauh itu. Hukum adat kita sejak zaman kompeni ternyata sudah diteleiti. Di bab II mengenai sejarah hukum adat kita akan bertemu dengan nama-nama gubernur zaman Inggris dan lainnya yang mempunyai andil besar dalam gambaran awal adat istiadat yang ada di Indonesia. Kita patut bersyukur dan merayakan pekerjaan-pekerjaan kecil dari Marsden, Rafles, Crawfurd yang menunjukan suatu peninjaun, pemeriksaan, tentang hukum adat yang ditulis dalam bahasa Inggris. Marsden contohnya mengarang buku "The History of Sumatra", buku ini berisi tentang sejarah, ilmu bumi, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu hewan, hasil bumi, perdagangan, hukum adat, dan kesusilaan (moral) tentang sumatra dengan bahan-bahan dari sumatra.

Mengenai bahan-bahan ada perbedaan tinjauan ynag menurutku cukup menarik. Misalnya, Raffles mengambil bahan sebanyak-banyaknya dari tanah kerajaan. Sedangakan van den Bosch mengambil bahan-bahan sebanyaknya dari daerah pertanian (Jawa Barat) ketika ia melakukannya dengan jalan-jalan.

Dengan membaca buku ini, nurani kita akan terperangah dengan hasil penelitian/laporan sederhana , ada beberapa ahli hukum bule yang peduli akan keberlangsungan hidup penduduk asli. Mr.H.L.Wichers (1800-1853) mengatakan, "Penduduk asli dari kepulauan Hindia (Indoensia) dibiarkan hidup menurut hukum-hukum dan tradisi-tradisi sendiri akan tetapi perselisihan dapat timbul bila ada pergaulan dengan orang-orang yang mengikuti hukum berlainan, walaupun mereka sama-sama anggota dari satu golongan masyarakat.". Oleh karena itu, "Penduduk asli harus dihargai dalam soal miliknya dan bahwa kepulauan sesungguhnya suatu kelompok pulau-pulau jang menjadi satu, merupakan suatu kesatuan bangsa, (Hal 33)





Posted on Selasa, Desember 10, 2013 by Rianto

No comments

Senin, 09 Desember 2013

Siapa masih ingat cerita kecerdikan si kancil ? Di sekolah SD dulu tentu kita sering mendengar guru bercerita tentang kancil dan buaya yang dibacakan lewat lks dan buku paket. Kadang-kadang cerita yang diadopsi dari cerita rakyat itu muncul di pilihan ganda. Kita mesti menjawab sifat atau karakter dari binatang itu.

Buku Tjerita Rakjat III (1963) terbitan P.N. Balai Pustaka ini bisa menjadi penyambung imaji bocah saat kita SD dulu. Cerita di dalamnya masih didominasi dengan perumpamaan atau anekdot-anekdot cerita binatang yang kadang-kadang membuat kita tertawa, sedih, kesal, atapun memuji karakter baik.

R.S Prawiraatmadja dalam sepatah kata, memberikan tujuan dari penerbitan buku ini yang menurutnya, "Sebagai sumbangan  di bidang mental/kebudajaan dalam Rangka Pembangunan Nasional Semesta Berentjana menudju kemasjarakat Indonesia jang adil dan makmur". H.B Jassin pernah mengatakan perlunya penyelidikan cerita-cerita rakyat sebagai penelusuran proses kreatif, imajinasi, bahkan mental kita.

Di buku Tjerita Rakjat III (1963)  ini kita kembali disuguhi banyak cerita kabayan yang seingatku banyak dikutip pula di lks dan paket Bahasa Indonesia sekadar potongan cerita, pilihan ganda ataupun esai. Kita mungkin pernah teringkal-pingkal mendengar cerita konyol si Kabayan, yang pernah di film-kan dengan Didi Petet sebagai aktor konyol ini. Ada cerita menarik, judulnya "Si Kabajan Tjuri Nangka" diceritakan kembali oleh Achdiat K Mihardja. Begini,

Si Kabajan tjuri nangka. Kepergok oleh jang punja.
Hai, Kabajan, kamu tjuri nangka gua, hah!
Tidak!
Ija, buktinja, bibirmu lengket karena getahnja.
Mana bisa, kan saja sudah minjaki dulu di rumah.

Atau coba kita dengar sedikit cuplikan dialog "Semut dan Belalang" yang diceritakan kembali oleh Soepanto. Cerita ini berasal dari cerita rakyat dari jawa.

Dengan segera si semut ditolongnja. Tali dilemparkan ketengah sunagi sebelah udjung, jang sebelah lagi dipegangnja. semut merambat tali itu, dan selamatlah sampai di daratan.

Terima kasih, belalang sahabatku," kata semut dengan gembira.
"Sama-sama" kata belalang sambil tersenjum, bersahabat harus tolong-menolong."

Kalau kurang,  kita juga bisa membaca cerita rakyat dari daerah lain. Contohnya Si Lao dan Ikan Gabus (Sulawesi Selatan) oleh Achmad, Asal Mula Tokeh  (Madura) oleh, A. Hatib,  Bebek Belimas (Lombok)oleh Soedjiah

 Aku pikir cerita seperti ini sudah jarang sekali kita dengar. Budaya lisan berupa mendongeng jarang sekali dipraktikan di rumah ataupun di sekolah. Kini kita jarang bahkan tidak lagi menyentuh buku cerita rakyat seperti ini. Anak-anak sekarang merupakan generasi televisi. Oh bukan generasi tablet dan internet. Eh, ditambah ibunya yang sibuk menoton sinetron tak sempat membacakan cerita sepert ini.

 Jadi anak sekarang lebih banyak didongengi televisi, internet, video game dibandingkan oleh buku. Nah, jangan bingung kalau nanti anak-anak kita  mau tidur dan bertanya dengan aneh, "pak, bu, aku ingin di dongengi batman?". Nah loh!



Posted on Senin, Desember 09, 2013 by Rianto

No comments

Sabtu, 07 Desember 2013

"Soviet Uni sedang menuruni lereng jang menurut pengharapan saja seharusnya mendaki gunung" (Andre Gide)

Bagi sebagian manusia, Soviet adalah surga. Tak tekecuali para seniman dan pengarang macam Andre Gide, Arthur Koestler, Ignazio Silone, Richard Wright, Louis Fischer, Stephen Spender. Soviet tak lebih berisi  dari pedagang slogan-slogan. Kekecewaan mantan para pemuja komunisme ini pun bicara lantang di Buku "Gagalnya Tuhan Komunis" terbitan Timun Mas 1956. Buku ini merupakan terjamahan dari buku "The God That Failed". Di buku tertera, terjemahan pertama dikerjakan oleh Front Anti Komunis. Sebuah propaganda menarik.

Pada awalnya mereka sangat simpati dengan Komunisme. Komunisme muncul seperti juru selamat. Mereka mengutuk keadaan masyarakat yang begitu timpang. Arthur Koestler melukiskannya dengan, "saya amat membentji orang-orang kaja yang menjolok mata" (hal 10). Komunisme membawa Koestler dalam petualangan-petualangan asik membaca buku. Feurbach dan State und Revolution telah menemukan satu gerakan dalam otak dan menggoncangkan rohani Koestler. Koestler pun menyebarkan propaganda-propaganda berupa panflet. 

Soviet merupakan surga penulis, menurut Koestler. Ia hidup mewah dari penjualan karangan-karangannya. Namun melihat kehidupan yang begitu timpang di Soviet membuatnyan kecewa. Koestler pun seperti mengejek dengan, "Kami mendjual Revolusi dunia seperti kuli-kuli jang kehilangan pekerjaan".

Di tengah mimpi besar untuk maju bersama komunisme, mereka menemukan kecacatan dari komunisme itu sendiri. Rezim Stalin begitu bengis dan tak memikirkan rakyat.  Bahkan buruh di Soviet lebih buruk dibandingkan dengan buruh di negara eropa lain.Andre Gide terheran-heran dengan keadaan itu. Sehingga pandangannya pun berubah dengan pengandaian, "Soviet Uni sedang menuruni lereng jang menurut pengharapan saja seharusnya mendaki gunung," ungkapnya.

Banyak kisah menarik enam penulis di buku ini, mulai dari romantisme, rasisme, ketimpangan sosial, sastra, berkelindan menjadi satu dalam mimpi besar komunisme soviet. Mereka sering dituduh sebagai kontrarevolusioner, bahkan mereka juga dianggap sebagai Trotkis.Yang pada akhirnya mereka kecam dengan tulisan nan penuh kekecewaan. 

Posted on Sabtu, Desember 07, 2013 by Rianto

No comments

"Dewek teh urang Bandung, tas ngumbara ti Nagri Walanda, ayeuna rek balik ka Jawa", itulah alasan Syafe'i Soemardja ketika diperiksa polisi perbatasan dalam perjalanan pulangnya ke Indonesia.

Kita mungkin jarang mendengar sosok sunda kelahiran Bandung ini. Kita lebih mengenal orang-orang yang belajar di negeri Belanda adalah tokoh-tokoh besar seperti Ki Hadjar Dewantara, Hatta, ataupun Tan Malaka. Melalui buku berwajah lukisan Syafei yang ditulis Samsudi yang tercap sekolah ini mungkin beku di perpustakaan-perpustakaan. Kita tidak pernah membacanya.

Buku ini banyak mengisahkan perjalanan hidup Syafei Soemardja saat belajar di negeri orang.  Cita-citanya sebagai murid di sekolah guru gagal saat ujian di Purwakarta. Pada akhirnya nasib baik kembali mengahampiri Syafei. Ia ikut ujian sekolah guru di Mester (Jatinegara), hingga akhirnya lulus menjadi guru. Ia sempat mengajar satu tahun di daerah Kedawung Karawang. Ia pun bercita-citaa lebih tinggi lagi. Oh, Ia ingin bersekolah di negeri Belanda. Atas bantuan  Dr G.J.Nieuwenhuis ia belajar di Sekolah Guru Gambar di Amsterdam. Begitu pula temannya Adam Bachtiar.

"Jika nanti aku telah lulus dan mendapat izazah dari Sekolah Guru Gambar," katanya, "Aku akan menjadi guru gambar di salah satu perguruan tinggi di Indonesia untuk mendidik dan memajukan pemuda-pemudi yang berbakat seni itu." (hal 56)

Menarik jika kita membaca pengalaman hidup Syafe'i, terutama saat ia mengenalkan kebudayaan Indonesia, terutama kebudayaan sunda berupa wayang golek, tari bajing luncat.  Adam Bachtiar sahabatnya di Belanda pun  mengenalkan kebudayaan minangkabau. Saat liburan sekolah di Belgia, berdua mereka sering mengisi ceramah-ceramah.

"Yang diceramahkan oleh kami di hadapan para cendikiawan Belgia bukanlah hal yang pelik-pelik" Ungkap Syafei, " Hanya Soal -soal yang biasa saja, yang sudah kami ketahui di Indoensia, seperti : soal perayaan pekawinan, soal caraanya orang dikhitan,  soal selatan anak yang baru dilahirkan, cara membakar mayat di Bali dan sebagainya."(hal 68)

Buku ini menjadi penyambung narasi bagi kita yang ingin mengetahui pendidikan kolonial. Terlebih ini tentang cerita  Syafe'i Soemardja seorang ketua pertama Persatuan Guru (Sekarang PGRI). Walaupun kisahnya lebih ke pribadi Syafe'i sendiri. Tabik!



Posted on Sabtu, Desember 07, 2013 by Rianto

12 comments

Jumat, 06 Desember 2013



Warung selalu menyediakan memori, ingatan. Warung  hadir menjadi episode perenungan kita. Jika melihat warung-warung di pinggir jalan misalnya, kita tertarik untuk membeli. Disitulah sebenarnya kita bukan saja membeli barang, makanan, minuman.  Kita pun membeli ingatan. 

Coba perhatikan warung-warung yang berdiri di sekitar jalan-jalan di pantura. Kita bakal disuguhi warung dadakan berupa buah-buah segar, mangga misalnya. Sering kita melihat itu, namun tak meyadari warung-warung tersebut yang  menjual hasil bumi kita berupa umbi cilembu, nanas madu telah menjadi juru bicara musim buah. Kita bisa membayangan,  menebak, memikirkan  pekarangan-pekarangan petani kita tumbuh subur pohon-pohon yang mengandung buah terbaik.

Warung-warung yang menjual buah itu pun menjadi pemantik ingatan tentang desa. Jadi warung bukan berdiri begitu saja sebagai penghias jalan-jalan yang sepi.  Warung yanag menjual buah itu memperlihatkan pada kita memori gerak musim buah di desa. Saat rasa buah yang manis dilidah-lidah kita menyulut ingatan untuk memunculkan memori tentang desa, saat itu pulalah pikiran kota kita yang menjejali perlahan sejenak hilang dimanjakan buah dari desa itu. Ada jejak-jejak yang dapat kita refleksikan, desa tak pernah padam memberikan perlakuan terbaiknya bagi pikiran kota kita.

Maka dari itu tidak aneh jika mulai bermunculan warung-warung yang mengkonsepkan kedesaan. Kita rindu, mencicipi makanan dengan suasana desa. Kita rindu dengan buah segar yang alami tumbuh di pekaranagan rumah di kampung-kampung. Kita tak sabar untuk membungkus buah-buah itu sebagai oleh-oleh untuk keluarga. Di meja makan kita mulai menanyakan, mendiskusi, meraba ingatan tentang warung dan buah itu. 

Dalam tulisan Andreas Maryoto,”Makanan Desa, Makanan Kita Sesungguhnya”, menyebutkan bagaimana di kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, Di Yogyakarta ada warung yang menjual belalang goreng.  Ada juga penjual yang mengikatkan belalang segar yang sengaja digantungkan agar para pengendara tertarik untuk membeli (Jejak Pangan, Sejarah, Silang budaya, dan Masa Depan).  

Dari situlah para pelanggan yang tertarik membeli bukan saja membeli belalang  juga membeli ingatan. Mereka ingat belalang goreng  merupakan tanda di mana musim kemarau menerjang daerah ini. Akibat minimnya sumber protein belalang pun diburu, dijual, dan dijadikan rempeyek belalang. Bagi mereka yang merindu bagaimana asyiknya berburu belalang dan jika lidah kangen berat dengan rasa rempeyek itu telah memanggil untuk membeli belalang. Itulah kondisi purba kita jika dihadapkan dengan makanan desa, selalu mengingat, selalu merindu. Jika kita lupa tentang ingatan desa, warung-warung pinggir jalan selalu menyediakan memori itu.                                                                                                                

Posted on Jumat, Desember 06, 2013 by Rianto

No comments

Selasa, 12 November 2013


 


"Menghadapi kekejian yang tidak manusiawi, manusia harus melakukan penentangan. Manusia tidak boleh diam. Dia yang diam dan membisu menghadapi kenyataan ini telah menyangkal tanggung jawabnya sebagai manusia" (Ernst Toller)

Tentu kita ingat nama S.Sudjojono di LKS SD atau SMP. Seingat memori kita itu Sudjojono selalu berdampingan dengan nama-nama pelukis besar lain, sebut saja Affandi atau Basuki Abdullah. Atau memang kini kita sudah melupakan sosok yang 'galak' dalam ide-ide seni lukis Indonesia yang pernah tersangkut prahara 65 ini.

Sudjojono merupakan pelopor berdirinya PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yang didirikan tahun 1937. Belum lama, sekitar sebulan yang lalu lukisan-lukisan S. Sudjojono kembali di pamerkan di Galeri Nasional dalam tema "Jiwa Ketok dan Kebangsaan" S.Sudjojono, Persagi dan Kita.

Ini menarik. Kita bisa kembali dalam refleksi kebangsaan dengan melihat lukisan-lukisan 'ganas' Sudjojono yang berbicara tentang lahirnya angkatan 66 misalnya. Atau melihat sejenak kehidupan sehari-hari yang coba Sudjojono gambarkan dalam lukisan "Makan Nasi".

Menurut Sudjojono, jika kalian melihat lukisan-lukisan dan mengagumi karyanya, sebetulnya yang kalian kagumi adalah jiwa pelukisnya. Itulah jiwa ketok. Dalam karangan Sudjojono berjudul Kesenian, Seniman dan Masyarakat, Sudjojono menulis,

Makan Nasi. S.Sudjojono.1956
..Kalau Seorang Seniman membuat suatu barang kesenian, maka sebenarnya buah kesenian tadi tidak lain dari jiwanya sendiri yang kelihatan. Kesenian ialah jiwa ketok. jadi kesenian ialah jiwa... (Seni Lukis, Kesenian dan Seniman, Aksara Indonesia 2000)

Pun tulisan tersebut untuk menjawab pengertian kesenian yang memang susah sekali dijawab. Lalu mengapa ketika melihat gambar/lukisan pada saat itu juga kita dapat melihat, mulai mengobrol tentang kehidupan sehari-hari yang dapat  dimaknai secara budaya, secara teks humanisasi . Kita dapat menelaahnya kembali jawaban itu dalam tulisan Sudjojono yang mengambarkan biografi pendek Vincent van Gogh.  Belajar dari Vincent inilah, melukis bukan hanya kerja keindahan/kebagusan juga merupakan kerja kemanusiaan.

Suatu ketika Vincent bertemu dengan seorang pujangga bernama Zola. Dalam obrolan Zola berkata,

..."Kalau tuan menggambar kebagusan seorang perempuan sama dengan saya menceritakan kebagusan si perempuan tadi sebagaimana juga saya lihat sehari-hari. Tokoh saya itu akan saya ceritakan juga umpamanya, bahwbagai perempuan yang kita kenang-kenangkan, lalu cerita tadi saya baguskan-baguskaa dia pernah sakit kudis, pernah 'lupa' dikatakan: God ver Dom! Saya ceritakan ia tidak sen, akan tetapi saya ceritakan dia sebagaimana perempuan tadi hidup biasa, bukan?"

Vincent pun menjawab,

"Memang, mesti saya gambar perutnya umpamanya tidak seperti perut bidadari, akan tetapi sebagai perut orang perempuan biasa yang berusus" (dari tulisan Sudjojono "Vincent van Gogh (29 Juni 1890) Aksara Indonesia 2000)

Dari tulisan Sudjojono itulah dapat kita lihat sebagai semangat realisme. Melukis realitas. Jadi melukis bukan saja melukis tentang keindahan dan kebagusan, justru disitulah terletak realitas yang memanggil jiwa sang pelukis untuk digoreskan kenyataan hidup manusia. Jadi kebenaran dulu barulah bicara kebagusan.

Menariknya bagi saya Sudjojono bukan hanya pelukis. Sudjojono adalah seorang guru. Guru yang seperti apa? Mia Bustam mengenangnya seperti ini,


(Repro) High Level. S.Sudjojono.1973.
Cara Mas Djon mengajar  tidak seperti pengajaran guru-guru gambar atau kebanyakan pelukis yang lain. Guru gambar yang berdiploma selalu akan mengajarkan perspektif dulu. Dan banyak pelukis menekankan cara melukis mereka sendiri kepada murid-muridnya. Mas Djon tidak. ia memberi model atau obyek. Misalnya sebuah botol di meja, atau rumah di pinggir jalan. Mereka dibiarkan melukis menurut pengamatannya masing-masing. Tanpa dibebani teori perspektif sebelumnya. Yang selalu ditekankan Mas Djon hanya "gunakan baik-baik matamu" (Sudjojono dan Aku, ISAI 2013)

Pada saat mengajar itulah Sudjojono juga melempar anekdot-anekdot atau sejarah para pelukis seperti Rembrandt, Leonardo da Vinci, dan van Gogh. Ini menandakan keluasan literasi dari Sudjojono.

Kembali dalam tulisannya yang tentang Van Gogh ia pun bercerita bagaimana van Googh keluar dari akademi saat di Antwerpen. Menurut van Googh akademi itu hanya suatu insteling, untuk mengajar mahasiswa-mahasiswanya menggambar seperti kemauan gurunya saja, tetapi tidak menggambar atas kemauannya sendiri.

Oleh karena itu dalam mengajar mengambar, bukanlah untuk mencetak Affandi-Affandi dan Sudjojono-Sudjojono baru. Melainkan mencetak Kodir, Agus, Suprapto, yang mempunyai jiwa ketok sendiri. Jadi Kodir, Agus, dan Suprapto ini dapat mengembangkan pribadi-pribadinya sendiri.

Ada Orkes. S Sudjojono.1970
Melihat lukisan Sudjojono di pameran waktu itu bukan saja melihat keindahan-keindahan lukisan. Jauh dari itu, kita bisa memaknai lebih dalam. Sosok Sudjojono atau pun lukisannya mungkin saja hanya benda saja yang tak bunyi. Coba kita cermati lebih dekat, lukisan-lukisannya memanggil kita untuk terus membaca pikiran, membaca ide sang pelopor seni lukis modern ini dalam kacamata kebudayaan, membaca secara keindonesiaan. 

Semangat Sudjojono dalam literasi menjadi contoh bagi guru-guru kebudayaan manapun untuk terus membuktikan bahwa seni lukis Indonesia pernah ada. Mengurai terus kesalahan nenek moyang kita yang jarang  menulis. Jarang sekali melihat pelukis seperti Sudjojono, pelukis yang mau menulis tentang seni lukis Indonesia.Dia tidak hanya melukis, ia mengores pena agar tulisan itu menjadi penyambung imajinasi sejarah seni lukis Indonesia. Dari Sudjojonolah ingatan itu terus terawat.  Mengeras terus semangat literasi itu. Tabik!

*Semua Foto diambil saat penulis mengunjungi Pameran di Galeri Nasional "Jiwa Ketok dan Kebangsaan" S.Sudjojono, Persagi dan Kita. Merayakan 100 tahun S. Sudjojono.

Referensi
Mia Bustam.Sudjojono dan Aku. 2013. ISAI.
S.Sudjojono. Seni Lukis,Kesenian dan Seniman. 2010.Aksara Indonesia.

Posted on Selasa, November 12, 2013 by Rianto

No comments

Minggu, 10 November 2013

Aristoteles mengatakan manusia adalah makhluk politik. Politik yang diharapkan Aristoteles pun yang mampu menyelenggarakan kemakmuran dan keadilan. Artinya politik yang tidak’politis’. Saat ada praktik politis itu mahasiswa menjadi garda terdepan untuk mengajukan protes dengan melakukan demonstrasi di jalan-jalan.

Sekarang kita ingat mahasiswa sering dicap jelek saat berdemo. Justru pada saat itulah mahasiswa coba mengaktifkan akal sehatnya dalam bentuk protes. Justru  di situlah salah satu  peran mahasiswa sebagai bagian intelegensia. 

Persis yang dikatakan Arief Budiman dalam aksinya  mahasiswa menggabungkan kritik dengan aksi-aksi massa. Dengan begitu mahasiswa menjadi kekuatan yang terus menjadi kekuatan yang menentang kekuatan penguasa.  

 
Jika hari ini ada iring-iringan anak muda yang berdemo berteriak anti sumpah pemuda. Sudah saatnya mahasiswa sebagai pemuda  untuk berfikir sehat. Justru di sumpah pemuda itu bisa kita hayati sebagai fundamen historis mentalitas berpolitik  yang mengaktifkan akal sehat kaum muda. Inilah politik anak muda.

Jika hari ini kita jijik melihat spanduk-spanduk calon legislatif di jalan-jalan, di tahun politik ini bisa jadi ajang mahasiswa berdialog dan beradu  gagasan dengan mereka. Jangan-jangan mereka yang di spanduk-spanduk itu ‘monster’ yang siap menyerang negeri ini dengan praktik-praktik korupsinya. Politik pun hilang titahnya sebagai penyelenggaraan kemakmuran dan keadilan. Jadi yang kita ingat politik hari ini adalah politik itu kotor.

Kalaupun jalan politik menjadi jalan membangun negeri, haruskah  mahasiswa mesti aktif di politik? Pertanyaan mendasarnya politik yang seperti apa? Ahok dalam suratnya menyebutkan yakni politik yang jujur, bersih dan melayani. Jadilah  politikus yang berjuang untuk keadilan sosial, bukan untuk kekuasaan dan kekayaan (Surat dari dan untuk Pemimpin, Tempo Institute). Mahasiswa harus berani menjadi politikus.

Terkadang politik itu menjadi barang haram bagi mahasiswa. Jalan terbaik yang bisa ditengahi adalah apapun profesi yang mahasiswa geluti kelak maka  jadilah yang terbaik dibidang apa pun. Membangun negeri tanpa orang-orang terbaik sulit dikatakan perubahan dapat terwujud.  Contohnya jika kita mahasiswa calon guru maka jadilah guru yang terbaik yang wawasannnya luas dengan terus berliterasi, terus mengembangkan imajinasi anak didiknya. Begitu.

 *Tulisan ini masuk di rubrik poros mahasiswa Seputar Indonesia (koran Sindo) 8 November 2013

Posted on Minggu, November 10, 2013 by Rianto

No comments

Kamis, 03 Oktober 2013


GERIMIS YANG MELUNCUR di papan besar bergambar Ronald McDonald yang terkenal itu menjadi gambar yang begitu membosankan bagi seorang Paman Asia berkaos biru bertuliskan “CHE” yang duduk-duduk di sebuah  kedai kopi dengan jendela-jendela uniknya yang berwarna coklat dengan kaca yang kebinar-binaran.

Sebab bosannya normal saja, di manapun ia selalu bertemu dengan gambar Ronald McDonald, di papan besar, di bandara ibu kota pertama kali ia mendarat, di rumah sakit, di bus-bus sekolah,  bahkan di cangkir kopi tempat di mana ia sedang duduk-duduk saja Ronald McDonald selalu ada. Ini ajaib, katanya.  Di televisi Ronald mirip politikus, penyihir kapitalisme papan atas.

Ya  di seberang papan besar Ronald McDonald itu, ada  perempuan yang sedang  ia tunggu lengkap dengan keranjangnya. Sedari tadi masuk toko kelontong sebelah  Drive in.

 Jika saja matahari sore ini datang memasuki celah-celah kaca jendela, bisiknya dalam hati. Pastinya cahaya itu bakal dibuatnya berbelok-belok,  membentuk seperti jalan-jalan aspal yang panjang di bukit-bukit. Jalan yang terbuat dari cahaya imajinasi. Dan ia sengaja memindahkan, mengumpulkan cahaya di cangkir kopi bergambar Ronald McDonald. Kebiasaan itu lagi. 

Pastinya suasana unik yang selalu membayang-bayang  imajinasi palupinya saat bermain-main cahaya akan memecahkan pagi tadi yang begitu redup karena mendung. Kini Paman Asia tidak bisa bermain cahaya sore di cangkir-cangkirnya. Hingga sorenya dilalui saja dengan duduk–duduk sambil membolak-balik buku telpon.

Lalu, seorang perempuan kulit putih keluar dari pintu toko kelontong seberang tempat duduknya. Dari jendela jua, Paman Asia melihat gerimis menyapa perempuan itu lebih dulu.  Perempuan kulit putih yang  membawa sebuah keranjang. Betul keranjang yang agak besar. 

Perempuan itu menunggu sejenak di bawah papan besar  Ronald McDonald,  merapikan barang-barang di keranjangnya dan merapikan kancing  baju  tebalnya. Tak lupa rambutnya.  Beberapa kali ia menepuk-nepuk baju tebalnya yang kotor karena debu.  Suasana  Drive in yang agak ramai, kebanyakan anak muda,  membuatnya timbul tenggelam bersama lalu-lalang mobil-mobil.

Perempuan kulit putih itu tersenyum membuka tas kecil melambai sapu tangan  kepadanya. Paman Asia membalas dengan mengangkat tangan. Tanda untuk segera duduk-duduk bersamanya.

Dari dekat, perempuan kulit putih itu mengenakan baju tebal dengan bulu-bulunya sebagai penghalang hujan dan dingin. Alisnya yang tipis, rambut yang panjang bergelombang, bibir yang tipis pula tersenyum sambil mencium pipi Paman Asia dengan  mesra. Duduklah  ia mengobrol-ngobrol. 

“Apa yang kamu dapat?” Paman Asia memulai pembicaraan.

“Banyak sekali,” jawabnya singkat.

Perempuan kulit putih itu banyak menunjukan barang-barang yang  ia beli dari toko kelontong.  Jam tangan, jam beker, sepatu  kulit, seragam tentara, dan tak lupa mainan-mainan kecil. Sementara deru-deru suara mobil  yang keluar dari Drive in seperti menenun gerimis yang membuat sikap Paman Asia melaju dingin seperti ban-ban yang melaju pelan di aspal.  

Percakapan mengenai barang bekas seperti ini sebetulnya selalu dinantinya.

Terutama barang bekas yang meninggalkan jejak perang. Perang dunia pertama, Perang dunia kedua, perang saudara di Afrika, jatuhnya Bom Hiroshima dan Nagasaki. Tulisan feature pasca jatuhnya Bom Hiroshima dan Nagasaki oleh Jhon Hersey dari majalah The New Yorker menjadi pengetuk hati sepasang kekasih itu pergi ke Negeri Sakura, mengantarkan kimono tua milik korban bom yang didapatinya di sebuah pameran bulan oktober di Munich Jerman. 

Jam tangan,  jam beker, sepatu kulit, seragam  tentara, membuat mereka merasa asik membicarakan pemilik barang bekas yang dulu. Mulai dari kesan pertama apiknya barang-barang bekas itu saat  dijaga pemiliknya sampai imajinasi di mana barang bekas itu sudah dilupakan akibat perang. Kenapa dilupakan? Mungkin saja bukan dilupakan, hanya tertinggal. Hanya saja semudah  itukah  memori manusia. Mudah lupa, mudah pula mengingat.

“Bukankah itu hal yang lucu sekaligus tragedi, layaknya kisah Alice in Wonderland?,” kata Paman Asia .

“Ya, ya.. aku pun membayangkan seperti itu,” perempuan itu menyahut dengan senyum-senyum lebarnya. 

Dengan tanggap ia membungkus barang-barang bekas agar terlihat rapi, tak lupa mengelapnya juga.“Aku menyukai pekerjan  ini. Aku menyukainya,” sambil membungkus. 

“Lalu adakah jejak-jejak perang yang ditinggalkan pemiliknya, tulisan-tulisan, nama, tanggal,  lalu kita cari alamatnya. Ya alamatnya,” Paman Asia itu mulai bergairah.

“Tunggu dulu!” perempuan itu menyela, “Jangan lupa, bukankah kita  malam  ini akan mengunjungi rumah Alann Klitckhof. Benarkah alamatnya di  Meriddian Flannel No 5? Surat-surat dan tamagochi ini  harus sampai padanya bukan?”

Di mata Paman Asia, perempuan itu begitu cerdas. Paman  Asia menyukainya.

Ada yang janggal,  perempuan itu seperti sedang  ragu untuk mengungkapan hal yang penting. Penting sekali. Tapi belum dapat celah karena Paman Asia sedang bergairah dengan catatan dan buku telpon.

Saat membungkus sering kali bola mata perempuan itu mencuri tatapan,  melihat wajah Paman Asia  yang juga sibuk membuka buku telpon.  Namun senyum, kerut dahi plus alis perempuan itu yang naik seakan memberi makna berbeda. Lihat saja, saat Paman Asia membalas tatapan itu. Taktik yang selalu sama yang dilakukan oleh perempuan  manapun.

MALAM SEHABIS SEHARIAN HUJAN. Pukul tujuh lebih tiga belas menit di sebuah jarum jam hitam metalik  yang besar di stasiun kota ini, mereka naik taksi menuju jalan  Meriddian Flannel yang basah aspalnya. Sepasang  kekasih itu menuju rumah Alann Klitckhof. Tak henti-hentinya mereka membicarakan kereta yang baru saja mereka naiki. 

Taksi berhenti di sebuah rumah yang agak kecil dengan pagar putih lancip menjadikannya  lebih unik dibandingkan dengan deretan rumah lain di sekitarnya. Ya  itulah rumah Alann Klitckhof. Tamannya bagus. Tumbuh bunga-bunga lengkap dengan  rumput-rumput yang selalu basah. Tak ada garasi. Padahal di kota ini hampir semua penduduknya mempunyai mobil. Industri mobil di negara ini sedang maju-majunya. Menurut supir taksi tadi, kredit mobil, rumah, juga sangat mudah.  

Jalan mulus di depan  halaman rumah Alann Klitckhof itu bakal terlihat batu-batu granit besar tertanam di halamannya, tentunya setelah melewati pintu pagar yang putih lancip lengkap dengan tempat surat yang berdiri gagah di depan pintu pagar, sepasang kekasih itu menemui tangga kecil dengan dua-tiga langkah kaki tingginya. Setelah menaiki tangga ada sebuah bangku panjang dari kayu dengan koran-koran yang bertumpuk begitu saja barulah bisa terlihat. Oh ada juga dua kucing berbulu cantik sedang bermalas-malasan dengan makanan kucing di piring yang belum habis disantapnya. Naluri mencintai binatang  perempuan itu pun muncul, mengelus-elus bulu si kucing, sementara jari telunjuk Paman Asia menekan bel.

Bel pun berbunyi.  Sambil menunggu, perempuan itu tersenyum  ke Paman Asia.

Perempuan itu merapikan kemeja Paman Asia. Pun topinya. Paman Asia membalasnya dengan kecupan di kening. Tentunya mereka tetap bergandengan.

Seorang Bapak dengan kumis tebal dan kepalanya yang hampir botak membuka pintu.

“Apakah benar ini rumah Alann Klitckhof?” tanya perempuan itu dengan bahasa lokal yang terbata-bata terbalut senyum dan semangatnya.

“Ya benar, itu saudara kembarku,” jawabnya cepat.

 “Silahkan  masuk,” ajaknya ramah.

Sejam. Dua jam. Sepasang kekasih itu bersenda gurau dengan kembaran Alann Klitckhof yang berkisah seputar  isi surat-surat dan tamagochi Alann Klitckhof.

“Alann Klitckhof? Si Badut lucu itu  memang selalu melakukan hal-hal bodoh,” tutur Paman Bred memberitahukan kisah menarik tentang kembarannya itu. 

Alann Klitckhof, ia lihai membuat tertawa siapa saja. Alann Klitckhof  dikenal tenaga medis, tetangganya sering memanggilnya, “Hai Badut Medis selamat pagi!” tutur adiknya terkekeh. 

Saat kota ini menjadi pusat perang, saat pesawat-pesawat tempur fasis menggempur kota, Alann Klitckhof dikenal sebagai badut medis. Ia berdandan seperti badut menghibur anak-anak korban perang sambil sibuk sana-sini membawa obat, begitu juga saat mengangkat mayat. 

Di meja-meja penuh dengan makanan kecil dari gandum dan kacang-kacang, keju dan  susu.  Tak lupa minuman bersoda seperti coca-cola selalu hadir di negara ini. 

Sepasang kekasih itu pun pulang dengan bahagianya. Mereka mendapatkan teks-teks yang menarik. Teks-teks yang mampu berbicara di radio. Menggantikan pidato-pidato yang tak berguna dari anggota parlemen yang menjijikan.

“Apa tadi kau merekamnya,” Paman Asia itu menanyainya.

“Ya, aku merekamnya. Paman Bred juga lucu. Meski Alann Klitckhof belum pulang dari perantauan sirkus kelilingnya. Bulan depan mungkin kita akan menemuinya lagi. Kata Paman Bred, Alann Klitckhof akan mengirimi kita surat. Jadi tunggu saja.”

“Surat-surat dan tamagochi itu?”

“Itu juga sudah aku titipkan kepada Paman Bred. Saat  itu kau keluar mengangkat  telpon dari  redaktur.”

Pintu Paman Bred masih terbuka saat ia mengantar sebentar sepasang kekasih itu meninggalkan rumahnya yang berpagar putih lancip. Sepasang kekasih itu bergegas menaiki taksi yang sudah ditelpon Paman Bred. Mengantar mereka ke  stasiun kereta yang bakal berangkat pukul 11 malam ini.
Di tengah-tengah cerita kekaguman mereka dengan kereta-kereta lagi, Perempuan itu menceritakan  hal yang tertunda sore tadi.

“Aku ingin menceritakan sesuatu,” tutur perempuan itu. 

Menurut tutur penjaga toko yang ditemuinya sore tadi,  toko kelontong itu akan dijualnya. Begitu juga toko-toko di sekitarnya. Perusahaan fast food  memberikan penawaran yang  ‘tidak biasa’. Begitu menggairahkan. Toko kelontong tadi yang dikunjunginya untuk  membeli barang-barang bekas berupa jam  tangan, jam beker, seragam tentara,  katanya juga akan disulap menjadi sebuah taman bermain untuk anak-anak. 

Bila jadi, toko itu akan tertanam di memori Perempuan itu saja saat bangunan fisik diratakan.

“Taman bermain seperti Disney, Ronald McDonald?”

“Ya betul…”

“Ini gila, sore tadi saat duduk-duduk aku sudah memikirkan hal itu,” jawab  Paman Asia sambil mengangguk-angguk, membuka topinya, berjalan, berpikir tajam  memasuki pintu kereta. 
***
Cerita pendek ini masuk dalam 13 nominasi lomba cerpen se Jawa-Bali 2013 yang diadakan oleh UKMP Malang


Posted on Kamis, Oktober 03, 2013 by Rianto

No comments