Senin, 08 April 2013


foto diambil dari http://fotokita.net

Di suatu siang yang cerah, Sabtu 6 April 2013. Saya menuju Jakarta Convention Center (JCC) untuk menghadiri acara diskusi “Geowisata, Srikandi Penjelajah Nusantara”, yang saya dapatkan infonya dari Facebook National Geographic Indonesia. Saya pun langsung mendaftar untuk jadi peserta diskusi tersebut, melalui situs http://fotokita.net/event/geowisata-srikandi-penjelajah-nusantara.

 Acara yang diusung oleh National Geographic Traveler ini dimulai pukul 11.00 siang di Mainstage Hall A, JCC. Menghadirkan pembicara dari Female Traker for Lupus. Mengapa Female? “Karena lupus banyak menyerang wanita”, salah satu pembicara mengungkapkan. 

Perempuan-perempuan tangguh ini bisa dikatakan srikandi yang suka perjalanan, berbagi cerita mengenai perjalananya, seperti naik gunung misalnya. Namun tak sekadar naik gunung biasa. Seperti saat mereka melakukan ekspedisi 12 gunung, tidak hanya sekadar menyuguhkan kisah perjalanan naik gunung saja, mereka pun melakukan kampanye, sosialisasi mengenai penyakit lupus, apa gejalanya, serta memberikan informasi kepada masyarakat, pencerdasan ke tingkat paling akar. Kampanye  pengetahuan mengenai lupus disebar ke masyarakat sekitar saat mereka melakukan perjalanan di 12 gunung tersebut. 

“Bahkan ada masyarakat yang menyangka gejala lupus itu kiriman penyakit dari orang lain seperti santet,” padahal saat dijelaskan, ada beberapa masyarakat yang mengatakan, “Oh ya gejala itu mirip dengan saudara kami”, penjelasan dari Mbak Diah salah satu pemateri diskusi.

Saya pun sempat terenyah kisah yang diungkapkan oleh Mbak Tiara Savitri, Ketua Yayasan Lupus Indonesia, tentang pengalamannya pertama kali naik gunung.

“Orang yang mengidap lupus (Odapus) menganggap dunia luar itu seperti musuh mereka”, ungkapnya serius.

Foto diambil dari http://nationalgeographic.co.id (Gloria Samantha/NGI)
Dengan keyakinan bahwa mereka yang Odapus sebenarnya bisa juga naik gunung, dan dunia luar itu bukanlah hal yang menakutkan. Mbak Tiara pun mencoba naik gunung, di salah satu gunung yang menjadi tujuan ekspedisi 12 gunung itu.

“Saya sadar diri,” ungkapnya, ia pun melanjutkan “Oke mbak boleh naik gunung, dengan catatan tidak memaksakan diri” ungkap Mbak Tiara meniru ucapan instrukturnya.

Menariknya, walau tidak sampai puncak kala itu, kalau tidak salah ia hanya sampai pos 1, Mba Tiara merasa senang, karena telah membuktikan dunia luar bisa ia takhlukan dengan kemauan yang tinggi meski lupus menghingapinya. Ia pun mengenang kisahnya itu dengan;

“Pertama kali mendaki, saya tidak punya target (harus sampai puncak atau tidak). Dan saat turun, saya jatuh cinta untuk naik gunung lagi.” 

Persis seperti yang diungkapkan oleh  Cory Richard, "Mendaki itu MIRIP CINTA. Keduanya sulit dijelaskan; kita bertahan dari rasa sakit demi sukacita yang hadir MENEMUKAN DIRI SENDIRI dan alam semesta". Di saat Mba Tiara naik gunung, saat itu pulalah cintanya terhadap mendaki gunung, semangat cintanya untuk terus mensosialisasikan mengenai lupus terus ia kumandangkan sampai puncak, menggema, suaranya menanjak terus tanpa lelah untuk orang-orang yang ia sayangi di sekitarnya. Dan usaha itu  sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata itu sendiri. 

Salam Peradaban.

Posted on Senin, April 08, 2013 by Rianto

1 comment

Rabu, 03 April 2013


Hembusan angin yang sayup-sayup telah menyapu debu-debu, membawa terbang seonggok kertas-kertas serta plastik yang dibiarkan teronggok usang di sebuah jalan protokol kota. Ria-riuh kota di siang hari telah takluk, menjelma menjadi keabadian malam yang tak kunjung kantuk, lalu suasana itu akan menyebar dan membangunkan ke seluruh mata-mata yang terjaga seperti anjing-anjing jalanan, kucing-kucing jalanan yang berebut makan dengan  kecoa-kecoa yang tak pernah busuk.

Mata awas mereka yang terlampau lapar akan malam tak akan padam sampai subuh nanti, saat toa-toa masjid bergemuruh, begitu pula akan menghampiri bola mata besar si lelaki gemuk kepala pelontos yang sedari tadi duduk-duduk seperti sedang  menunggu di sebuah halte dekat  jejeran toko-toko.
 
Halte  itu yang agak terang karena sebuah lampu gas pijar yang terangnya meletup-letup, menerangi semampunya, mencoba mencakar gelap-gulita sebab lampu penerang toko-toko yang berjejer itu sengaja dimatikan oleh penjaga-penjaga toko sekitar jam 10 malam tadi

Di halte itu, di bawah kaki si lelaki gemuk kepala pelontos, ada gorong-gorong selokan kota yang kering tak berair. April ini memang pertanda musim memasuki musim kemarau.

Menjadikan jerit-jerit tikus yang berebut keluar mencari makan terlihat mondar-mandir tidak karuan dengan gerak sebebas-bebasnya, tanpa air, jalan gorong-gorong menjadi lenggang, hanya beberapa sampah kering saja yang terpendam menjadi lumpur kering, menghalang-halangi gerak si tikus.
 
Tingkahnya membunuh sepi kota tengah malam yang merangkai dalam irama debu-debu jalanan yang bercampur dengan polusi sudah tak lagi kasat mata, malah malam menjadi waktu yang pas untuk debu-debu itu, membeku di tiang-tiang halte, di tempat-tempat duduk, sialnya si lelaki gemuk kepala pelontos itu harus berusan dengan debu yang sedang bermetamorfosa, menyenderkan badan gemuknya menggencet debu-debu kota, alam baru di mulai, kotornya kota tak pernah tunduk pada waktu. Kota selalu muncul dengan wajah kotor!

Alhasil  menjadikan kemeja putih si lelaki gemuk kepala pelontos menjadi kotor. Pecah si debu-debu itu, menghambur seperti bola-bola air yang pecah mencari tempat untuk menempel, bermetamorfosa, atau mungkin seperti amuba, membelah diri, memecah diri untuk terus hidup.

Kotornya kemeja putih si lelaki gemuk kepala pelontos  tak sekotor si tikus yang keluar menjerit dari gorong-gorong, menyelinap masuk di tumpukan sampah-sampah, yang baunya bisa mematahkan indera penciuman. Mungkin pula  serigala sekalipun. Oleh karena itu kota tidak pernah kedatangan serigala-serigala, tak pernah ada cerita kota diserang oleh gerombolan-gerombolan serigala. Hanya saja manusia-manusia kota makin hari makin melebihi si serigala. Bahkan ia muncul di malam hari di bar-bar, di pasar-pasar, di mobil-mobil mewah, berjubah, berpakaian putih-putih, ada juga yang berbulu domba dan bergigi emas.

Tak mau kalah dengan orkestra malam si tikus, pelacur malam menjerit merdu menjadi vokal malam di ketiak emperan toko cina di seberang si lelaki gemuk kepala pelontos yang berdiri di halte dekat bioskop kota yang lapuk plang-plangnya. 

Jika dibandingkan, jerit-jerit pelacur itu tak selantang toa-toa masjid yang memanggil umat di subuh nanti. 

Hingga suara itu samar-samar ia tangkap. 

“Ya merdu”, ungkapnya. 

Sehingga si lelaki gemuk kepala pelontos seperti nyaris tak bisa membedakan mana yang lebih merdu, antara suara toa masjid atau suara merdu jerit-jerit tikus yang disambut jerit-jerit pelacur malam yang menurutnya, tentunya  semua bunyi itu membentuk irama malam yang sepenuhnya mendewasakan imajinasi kota.

Apa benar si pelacur dan tikus kalah lantang? Kalau begitu, kita belum mengerti malam”, menurut pikiran lelaki gemuk kepala pelontos.

Jerit-jerit pelacur lantang bak lonceng sapi-sapi pengangkut rumput, jika ia lewat di jalan protokol yang sepi, jalan berupa bak jalan desa yang lenggang, sepi. Pasti warna itu menjadi musabab kota yang telah larut bosan dengan suara-suara siang dari pengemudi jalan-jalan protokol, pejalan kaki di trotoar, gesek ban-ban angkot ataupun bus dan truk. Mereka yang bekerja di pagi, siang, atau sore hari, malamnya mereka akan mulai menjejali, membeli jeritan si pelacur. Ramai, meski ditutup-tutupi.
 
Di sebuah trotoar yang agak sepi, masih berlangsung di seberang sana jerit-jerit merdu si pelacur malam, lelaki gemuk itu membuka lembaran koran mengingat sebuah alamat, berjalan menjauh dari bioskop lapuk tua, mengikuti jalan gorong-gorong.

Di samping gorong-gorong deretan toko-toko yang menutup diri, justru menjadi pembuka lapangnya ranjang-ranjang gratis untuk kaki dan badan untuk direbahkan, banyak gelandangan mulai meringkuk, menjelma mirip seperti tikus-tikus got.Bau. Tapi menurut si lelaki kepala plontos;

Harum. ” 

Lelaki gemuk itu berjalan sambil menghirup wangi si gelandangan. Kalau cara berfikir orang bilang gelandangan itu bau, pasti ia belum pernah tidur di jalan, belum pernah bercandra dengan malam sepnuhnya..

Si gelandangan pun  tidak akan merasakan harum itu, musabab malam  adalah waktunya bagi sesosok bidadari surga yang akan memeluk orang-orang yang selalu berdo’a dalam kesusahan diri, rejeki itu tak berlangsung lama hanya  sampai subuh saja, sampai toa-toa masjid akan membangunkannya dari pelukan sang bidadari malam yang harum itu. Ia memang tidak pernah nampak, tidak pula ingin dilihat. Tak ada rasa itu.
 
Bidadari itu akan mengembangkan imajinasinya, “Hidup di kota memang menyakitkan tapi mengapa engkau balik lagi? Atau kalian rindu dengan pelukanku yang menyenangkan bukan?”. 

Mimpi si gelandangan melayang-layang di atas awan kota ini, pagi tak pernah membangunkanya. Bukan pula toa masjid. 

Bukan! 

Malah saat bermimpi, mereka melawan nasib dari jerit-jerit pemilik toko yang menghantuinya. 
Tandai detak jantungnya tak akan muncul diam-diam untuk menutup malam, mendengar langkah orang-orang yang mencari surga menuju paginya, subuhnya, akan membangunkan si gelandangan.  Saat itu pulalah mereka akan diusir!
 
Lelaki gemuk kepala pelontos itu berhenti di sebuah jalan trotoar yang agak rusak, mencari sela-sela pohon untuk menutupi kemaluanya. Setelah selesai, ia baru sadar, ada sebuah koran sore, yang ia lepit pula di ketiak asin si lelaki gemuk itu sedari tadi. Selalu membayang-bayang lelucon di otak, menembus pikiran tak tentunya malam itu. Senyumnya mengembang menjadi jutan-jutaan kembang api yang meledak-ledak merubah gelap jalan kelabunya menjadi cerah-cerah langit senyumnya. 

“Yunani tak punya kambing. Yunani hanya punya salju”, katanya dalam pikiran senangnya. Senyum-senyum dibuatnya sambil memandang sebuah gambar.

Senyum-senyum girangnya itu bukan kepalang senyum biasa. 

Imajinasi  “Kambing berkacamata hitam, bersayap daun pisangnampak diotaknya, membuat reaksi imajinasi, menarik jutaan sel-sel urat tawanya telah melampaui tawa penonton sirkus. Menertawakan pemain sirkus, badut-badut, atraksi-atraksi palsu, begitu pula si lelaki gemuk kepala pelontos yang menertawakan orang-orang Yunani yang tak punya kambing. Apalagi “Kambing berkacamata hitam, bersayap daun pisang” hasil imajinasi liarnya itu. 

Saat Iimajinasinya melayang seiring kegirangannya itu, meringankan langkah-langkahnya.
Saat itu pula ia melanjutkan jalannya dari waktu sehabis kencing sembarangan, selongsong bedil terdengar dari udara begitu pula diselingi cahaya terang keputih-putihan muncul dari jalan protokol yang sepi itu.

“Door!!”, suara tembakan bedil itu terdengar keras.

Sehabis itu kembang api meledak-ledak di langit-langit membuat si lelaki gemuk itu keheran-heranan. Belum selesai bola matanya pada kembang api itu di langit-langit kotanya, malamnya, sesosok kambing-kambing berkacamata hitam, bersayap daun pisang terbang-terbangan berjalan beriringan.

Kambing-kambing bersayap imajinasinya itu seakan-akan menabrak matanya. 

Seketika gorong-gorong jalan setapaknya itu berasap warna-warni. Musik-musik berirama, kembali ia melepit koran sore itu. Berjalan santai sambil membetulkan celannya yang sering kedodoran. Ia malah tidak mempedulikan kambing bersayap itu, tak pernah ia berjalan seceria ini.

Aku tahu ini akan terjadi, imajinasiku sudah terkabul di malam ini?” ia tak keheranan.

“Aku tahu ini adalah pasar malam imajinasi, tentu tuhan yang membuatnya” katanya.

Pemain musik jalanan, berdendang. 

Pemain biola, menebar senyumnya saat lelaki gemuk kepala plontos lewat.

Anak-anak ceria bermain apa saja.
 
Badut-badut kelakar dan bermain bola-bola.

Mereka semua bertopi. Semua ceria, larut dalam pesta malam. 

Tetap pada jalurnya  menikmati alunan musik biola itu. Perempuan ceria, dengan bibir tipis dan pipi yang bulat kemerah-merahan si penjual permen menghampiri si lelaki gemuk kepala plontos, sambil tersenyum ia memberikan permen-permen itu.

“Apa kau lihat kambing-kambing bersayap, dimana aku bisa menemui pemiliknya?” tanya si lelaki gemuk kepala plontos.

“Ya aku tahu, ia yang memulai malam ini, pemilik bedil itu. Lurus saja terus, jangan pernah berbelok, sampai kau bertemu dengan si pembuat topi putih. Terima kasih atas pesta malam ini, permen ini untukmu” jawab Perempuan penjual permen.
 
Si Topi Putih?”.

“Ya, si Pemilik bedil itu, yang memulai pesta ini”

Si lelaki gemuk kepala pelontos itu senyumnya meroket-roket, menandakan pesan yang belum tertulis namun sudah mulai terbaca, kekuatan imajinasi siapa ini sebenarnya…

Saking senangnya, ia berlari di gorong-gorong itu, ledakan terompet-terompet, biola, asap-asap warna-warni menjemput kebahagiannya. 

Korannya terjatuh! 

Tergeletak. 

Tersorot oleh lampu-lampu gas pijar, terlihat sebuah gambar seekor kambing.

Oh tidak… 

Sejak tadi di halte, ternyata ia sedang menatap gambar itu.  Ia senang imajinasi gambarnya masuk di sebuah koran dari tuhan itu, koran Si Topi Putih.  Tertulis jelas dengan huruf sambung yang cantik.

“Mengambarlah untuk tuhanmu, tuhan imajinasi, tertanda  Si Topi Putih” 

Sebagai ganjarannya Si Topi Putih mengabulkan imajinasinya itu. Tuhan bisa menghidupkan imajinasi.

Tiba-tiba sebuah rel kereta Term uap muncul dari jalan-jalan protokol, dan si lelaki gemuk kepala pelontos itu sedang berkejar-kejaran dengan Kerete term uap itu. Lihat ia terbang bersama kambing-kambing berkacamata hitam dan bersayap daun pisang itu. Dan ia tersenyum padamu.  Ia teriak kegirangan…

“Hi…hhaa….” Gayanya seperti django, ia pun berteriak pada semua pengunjung pesta malam

“Besok malam aku akan mengambar kereta trem bawah laut”

“Inilah caraku melawan Soviet dan Amerika”

Si perempuan penjual permen mengangkat tangannya dan melemparkan permennya untuk si lelaki gemuk kepala pelontos. 

Apakah kalian menyadarinya?  Mengambarlah untuk tuhan, maka ia akan dihidupkan oleh si topi Putih. Sekarang, gambar apa yang terbayang di imajinasi dan hatimu? 

Senjata?

Maka kita akan berperang untuk esoknya.

Bersiaplah, tidak ada pesta esok malam. 

 

Posted on Rabu, April 03, 2013 by Rianto

3 comments