Jumat, 19 Juli 2013


memberi minum sapi gunung

Melaksanakan PKL III ke Desa Sembalun Lawang, menurut saya perjalanan yang paling asik. Naik bis Marissa Holiday berjam-jam, bahkan berhari-hari dari Jakarta, lewat Bali, baru sampai pulau lombok bikin kepala puyeng plus panas dingin. Mungkin karena naik kapal fery dua kali. Kepala saya judi puyeng tujung keliling. 

Asiknya, saat sudah menginjak Kota Mataram, yang disebut sebagai kota Seribu Mesjid, disinilah titik dimana destinasi yang tidak biasa dimulai. 

Panitia menyewa bus kecil, ya mirip-mirip dengan  metrominilah, dari Kota Mataram kita menuju Desa Sembalun Lawang. Lumayan perjalanan ditempuh bis empat sampai lima jam. Sebab jalan gak selalu mulus, jalan bisa saja terjal dan berbatu. 
warga menonton shooting

Menariknya bus yang kita sewa menyempatkan diri untuk beristirahat di satu titik yang menarik. Woow..!! Kalian bisa melihat lanskap Desa Sembalun dan sekitarnya dari ketinggian ini. Hehe..

Saat saya tanya supir bus, kenapa kita berhenti disini, Ia pun menjawab "Kalau ada pengunjung kita memang menempatkan pengunjung disini untuk sekedar foto-foto, dan pemandangan disini memang menarik untuk dilihat."

Ternyata mereka tahu betul keinginan pengunjung yang ingin memanjakan diri foto-foto. Lumayan bisa pamer buat jadi foto profil  Facebook.

Di sana kita habiskan waktu untuk wawancara dengan warga. Hehe.. walau sering juga laki-laki kebanyakan (termasuk saya), abis capek wawancara membolos untuk main bola. soalnya asik banget maen bola di bawah kaki gunung Rinjani. Awalnya kita bermain bola dengan teman-teman sendiri, eh kelama-lamaan kita ditantang melawan skuad asli dari sembalun. Mereka ramah, asiknya kami dapat lawan yang sepadan, walau dari segi stamina, kita kalah telak.

Di desa ini ada Kawasan Tradisional Sembalun. Disini kita bisa melihat rumah-rumah adat. Kebetulan pada saat itu ada shooting film "Perempuan Sasak Terakhir", sempat saya ditawarin maen (hehe jadi penjahat). Pas tahu saya bukan asli situ alias mahasiswa yang lagi PKL, gak jadi deh, haha.. namanya juga belum milik!

Dan menurut saya jangan lupa untuk melihat sapi gunung kalau kelak mengunjungi Desa Sembalun Lawang ini. Destinasi naik bukit menuruni lembah melihat pengembala sapi gunung sembalun. 

pengembala dan sapi-sapi
Wah..!! ini asik!.. sebab untuk sampai ketempat tujuan, kita harus menaiki bukit menuruni lembah, sampai akhirnya kita akan melihat stepa alias padang rumput.

Sapi-sapi gunung disini tidak hanya puluhan loh, tapi ratusan. Makanya selain lihat lautan rumput kita juga bisa lihat lautan (S)api. Sapi disini suka banget yang namanya "garam" mereka bakal ngikutin kita kalau tercium bau garam. Jadi pengembala sapi ini cukup bawa air garam untuk menggiring mereka.

Sapi-sapi ini sangat takut sama petir, makanya saat hujan sang pengembala bakal melihat kondisi si sapi. Karena bisa saja mereka jatuh tersungkur di jurang karena panik yang bisa puluhan mereka bertumpuk tidak bisa berjalan akhirnya bisa menjadi bangkai.
kala sore, main bola di rumput beneran!

Menurut Rosyidin Sembahulun, Desa Sembalun Lawang dahulu terkenal dengan pertanian bawang putihnya. Makanya banyak sekali mereka yang berangkat Haji kala itu karena harga bawang putih yang meroket. Sayangnya saya tidak dapat info yang detail, karena perlu waktu untuk melakukan penelitian fenomena sosial ini.










Yuk berkunjung ke Desa Sembalun Lawang, Kecamatan Lombok Timur! 
(Sumber Foto : Habibi dan Basyir, 2011)




lanskap 




Posted on Jumat, Juli 19, 2013 by Rianto

No comments

Kamis, 18 Juli 2013



Poeze menjelaskan tujuan Tan Malaka menulis
brosur S.I Semarang and Onderwijs

"Akuilah dengan hati yang putih bersih, bahwa kamu sanggup dan mesti belajar dari orang Barat. Tapi kamu jangan jadi peniru Barat. Melainkan seorang murid dari Timur yang cerdas, suka memenuhi kemauan alam dan seterusnya dapat melebihi kepintaran guru-gurunya di Barat” (Tan Malaka)

Tiga Januari 2012 lalu saat penulis menjadi moderator pada kuliah umum yang diadakan Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM) UNJ sempat berkunjung ke Hotel Saloom, Senen, Jakarta, janjian bertemu dengan Poeze.  

Awalnya rencana diskusi itu tidak diagendakan oleh Poeze. Karena Poeze sendiri sedang sibuk melaunching bukunya yang terbaru mengenai pemberontakan Madiun.  


Panitia meminta Poeze untuk mengisi kuliah umum untuk menjelaskan sepak terjang Tan Malaka dalam dunia pendidikan di Kampus UNJ. Pustaka Kaji yang menerbitkan ulang buku “Serikat Islam Semarang dan Onderwijs”, bekerja sama dengan Poeze untuk memberikan kata pengantar.
 

Jimmy F Paat, aktivis pendidikan mengikuti diskusi
Dalam diskusi, Poeze menyatakan bahwa pemikiran pendidikan Tan Malaka dibentuk karena pengaruh dari sekolah guru di Haarlem, pengalaman dalam praktik di Deli dan Semarang, dan mungkin diskusi mengenai teori-teori pendidikan Belanda telah membentuk pemikirannya.


Di Haarlem, Tan Malaka merupakan sosok pribadi dari hindia belanda yang maju. Diakui guru-guru disana Tan Malaka sanggup mengikuti pelajaran ilmu pasti yang rata-rata guru belanda mengejek murid dari hindia belanda kebanyakan tak mampu menguasainya.


Ketika ia mendapatkan kesempatan mengajar di Deli, ia sangat senang untuk mempraktikkan keilmuannya. Ia mengajarkan anak-anak kuli kontrak. Pun Tan Malaka mendesak para pembesar untuk menggelontorkan dana bagi pendidikan mereka, agar dapat menekan efisiensi. Namun usahanya gagal dan ditolak.


Hingga akhirnya ia berkesempatan untuk mendirikan sekolah di Semarang. Di sana ia membuat brosur kecil mengenai pengembangan pemikirannya dalam pendidikan. 

Lody F Paat, dari Koalisi Pendidikan dan aktivis pendidikan di UNJ menyatakan, "Risalah ini sangat penting  untuk dijadikan referensi agar mengetahui sejarah pendidikan. Usaha Tan Malaka pun melampaui apa yang pernah dilakukan oleh Paulo Freire."

Poeze menjawab pertanyaan dari peserta diskusi




Menurut Tan Malaka, ada tiga tujuan mendirikan sekolah pada saat itu. Pertama memberi senjata cukup buat pencarian kehidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa belanda, jawa, melayu dsb), kedua memberi haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup, dengan jalan pergaulan (vereniging). Ketiga menunjukan kewajiban kelak, terhadap pada berjuta-juta kaum kromo.


Dengan adanya haluan/onderwijs  tegaslah sudah maksud mendirikan sekolah tersebut. Maksudnya adalah mencari suata macam didikan yang bisa mendatangkan faedah bagi rakyat. Menariknya ketika sekolah kekurangan guru, Tan Malaka menciptakan kursus guru di sekolah tersebut. Ia menekankan perkara guru itu penting sekali. Jangan guru keluaran kweekschool, yang tak berani memihak. Kalaupun memihak itu karena gajinya saja, bukan karena haluannya.


Jiwa pedagog Tan Malaka pun terlihat pada penyusunan Madilog. Buku itu disusun dengan menujukan semangat keilmiahan Tan Malaka. 

Ia menyusun buku itu agar mudah dimengerti, seperti halnya guru, ia ingin tulisannya dimengerti dan mudah dicerna”, kata Poeze

Sebagai penggagas awal republik ini ia dianggap sebagai Bapak Republik. Impiannya tersebut bisa dilihat dari gagasan tulisannya “De Naar Republik Indonesia”.  Namun, Tan Malaka telat mengetahui jalannya proklamasi. 

Dan ini tragis”,  menurut Poeze.

Posted on Kamis, Juli 18, 2013 by Rianto

No comments

Rabu, 10 Juli 2013




Tiga lelaki tua itu sedang berdiskusi mengenai keindahan lukisan Raden Saleh. Perdebatannya mengenai pencahayaan yang digunakan Raden Saleh dalam goresan lukisan yang menggambarkan seorang kompeni belanda menaiki kuda melintasi jalan puncak megamendung telah menarik ketiga lelaki tersebut saling berargumen. 

Sebab Raden Saleh memikirkan teknik "pencahayaan" yang menghidupkan lukisannya. Lukisan-lukisan Raden Saleh itu pernah dipamerkan di  Galeri Nasional Jakarta Juni 2012 tahun lalu. Sang Maestro lukisan modern ini dimata saya bukan hanya sebagai perintis awal seni lukis modern Indonesia. 

Ia juga seorang guru. Coba kita lihat beberapa karya sketsa/lukisannya yang dipakai untuk belajar di sekolah-sekolah didikannya. Berupa gubuk-gubuk yang berdiri seiring dengan pohon di belakang halaman ataupun depan halaman menandakan lukisan ini terasa keindonesiaannya, mengembalikan ingatan kita tentang "desa", tentang tanah airnya. 


Kita ketahui bahwa hasil karya seorang seniman bukan hanya keluar dari imajinasinya saja tapi berasal dari hirupan kehidupan masyarakat disekitarnya. Entah saya berfikir lukisan itu seperti menjadi ingatan tentang tanah airnya, tentang masyarakatnya.

Di Abad 19 garis-garis ilustrasi dari lukisannya dibuat. Perkembangan sekolah untuk pribumi yang menawarkan pelajaran "menggambar" sangatlah minim.  Karel Frederik Holle-lah (1829-1896) yang menjadikan Raden Saleh ilustrator untuk membuat  "teekenvoorboolden" yaitu contoh ilustrasi untuk mempermudah pengajaran menggambar untuk dikembangkan dan dicetak.Oleh karena itu Raden Saleh ditugaskan merancang 46 gambar berupa litografi yang terdiri dari dua versi yakni hitam putih dan berwarna.

Sayangnya sumber sejarah menyebutkan dari 120 litografi yang dicetak kini hanya tinggal 26 buah saja. Serta tersimpan di koleksi Vari Perpustakaan Nasional Jakarta. Juga diketahui belum ada inisiatif serupa untuk membuat litografi sebagai bahan pembelajaran menggambar kala itu kecuali Filipina

Di bawah ini beberapa karya dari Raden Saleh yang lainnya. Mari maknai gambar tersebut dengan teks ingatan kampung halaman serta jejak-jejaknya mu sendiri.


perbedaan cetakan berwarna dan hitam putih 























Posted on Rabu, Juli 10, 2013 by Rianto

No comments

Sabtu, 06 Juli 2013

Mengapa disaat kita melihat karya seni di sebuah galeri, museum ataupun pameran tunggal, dibutuhkan visual yang membuka mata hati untuk merenungi sejenak makna karya itu? Jawabannya memang dibutuhkan relung-relung waktu untuk sejenak menikmati, tidak  dengan cepat langsung lalu-lalang meninggalkan karya seni. Cobalah nikmati dengan renung dalam makna karya yang sedang kita lihat tersebut dengan visualisasi biasa atau dengan imajinasi dengan perlahan-lahan menimbulkan pertanyaan biasa namun kritis, apa pesan yang hendak disampaikan oleh sang seniman?

 Tidak ada media yang menarik untuk melontarkan pesan berupa kritik sosial kecuali dengan karya seni, seperti gambar-gambar, mural, atau media apa saja yang dibuat dengan kayakinan seni yang membawa kita pada sebuah keyakinan pula bahwa kritik sosial bisa dibikin dengan gaya simple namun bisa mengunggah imajinasi kita dalam kukungan ketidakadilan.

Sempat tahun lalu kalau tidak salah saya melihat pameran yang diadakan oleh mahasiswa seni rupa UNJ. Saya tertarik dengan karya yang terpampang sederhana berupa billboard yang tergambar "Si Budi" yang asik bermain kelereng. Tapi si Budi ditampilkan dengan gaya posmo dimana Budi kini bermain kelereng di Laptop alias Online.
"ini budi, budi sedang bermain kelereng secara Online", billboard itu berbicara.

Atau ada juga karya yang menggambarkan pertarungan klasik antar pendukung Persija dan Persib". Dengan Tank-tank yang dibuat seperti mainan tersebut berisi simbol The Jakmania ataupun Viking sebagai tanda baca mengurai persoalan kekerasan yang sering terjadi kala kedua suporter ini bertemu. Persis permasalahan itupun sampai sekarang masih mengembang, terkini yaitu kasus pelemparan bus pemain persib yang hendak bertanding di Stadion Gelora Bung Karno ataupun aksi sweeping plat no B di Bandung.

Mengunjungi galeri seperti ini bersiaplah kita bakal dijewer dengan persoalan yang kini menjangkiti kita sebagai manusia. Cantiknya, kita dijewer dengan visualisasi yang menggugah pikiran, perasaan seni kita untuk melihat kembali indahnya kehidupan itu sendiri untuk dimaknai dengan jalan peradaban.









Posted on Sabtu, Juli 06, 2013 by Rianto

No comments