Mengapa disaat kita melihat karya seni di sebuah galeri, museum ataupun pameran tunggal, dibutuhkan visual yang membuka mata hati untuk merenungi sejenak makna karya itu? Jawabannya memang dibutuhkan relung-relung waktu untuk sejenak menikmati, tidak  dengan cepat langsung lalu-lalang meninggalkan karya seni. Cobalah nikmati dengan renung dalam makna karya yang sedang kita lihat tersebut dengan visualisasi biasa atau dengan imajinasi dengan perlahan-lahan menimbulkan pertanyaan biasa namun kritis, apa pesan yang hendak disampaikan oleh sang seniman?

 Tidak ada media yang menarik untuk melontarkan pesan berupa kritik sosial kecuali dengan karya seni, seperti gambar-gambar, mural, atau media apa saja yang dibuat dengan kayakinan seni yang membawa kita pada sebuah keyakinan pula bahwa kritik sosial bisa dibikin dengan gaya simple namun bisa mengunggah imajinasi kita dalam kukungan ketidakadilan.

Sempat tahun lalu kalau tidak salah saya melihat pameran yang diadakan oleh mahasiswa seni rupa UNJ. Saya tertarik dengan karya yang terpampang sederhana berupa billboard yang tergambar "Si Budi" yang asik bermain kelereng. Tapi si Budi ditampilkan dengan gaya posmo dimana Budi kini bermain kelereng di Laptop alias Online.
"ini budi, budi sedang bermain kelereng secara Online", billboard itu berbicara.

Atau ada juga karya yang menggambarkan pertarungan klasik antar pendukung Persija dan Persib". Dengan Tank-tank yang dibuat seperti mainan tersebut berisi simbol The Jakmania ataupun Viking sebagai tanda baca mengurai persoalan kekerasan yang sering terjadi kala kedua suporter ini bertemu. Persis permasalahan itupun sampai sekarang masih mengembang, terkini yaitu kasus pelemparan bus pemain persib yang hendak bertanding di Stadion Gelora Bung Karno ataupun aksi sweeping plat no B di Bandung.

Mengunjungi galeri seperti ini bersiaplah kita bakal dijewer dengan persoalan yang kini menjangkiti kita sebagai manusia. Cantiknya, kita dijewer dengan visualisasi yang menggugah pikiran, perasaan seni kita untuk melihat kembali indahnya kehidupan itu sendiri untuk dimaknai dengan jalan peradaban.