Sabtu, 15 November 2014

View_of_Delft_-_Jan_Vermeer_van_Delft
BAGI PAMAN ASIA imaji tentang kehadiran seorang malaikat dengan taburan bunga-bunga di kepalanya yang botak itu saat ia membaca majalah kesehatan di pagi hari membuat wajahnya tak terlihat sedap. Aku pastikan bukan majalah itu penyebab mukanya tak terlihat sedap. Tetapi berkat koran hari ini membicarakan berita-berita parlemen berdebat tentang anggaran perang. Ditambah iklan-iklan tentang shampoo dan pasta gigi menghias potret wanita cantik dengan klise memuja akan kepalsuan. 

Apalagi  roti panggang dengan potongan daging tipis tak berbau asap mulai mendingin. Tak dimakannya akibat saos pedas  kesukaanya habis. 

Bagi Paman Asia membuka buku itu sudah cukup untuk membuat imajinasi biasa-biasanya saat pensil ditangannya menjelma monster yang akan menyebulkan kata-kata ajaib. Betul Paman Asia adalah pensiunan dosen di sebuah universitas.  Hidupnya cukup. Hari-harinya kini hanya untuk menulis artikel tentang lingkungan. Sekali-kali dia juga mengisi rubrik ekonomi di sebuah koran lokal.

Paman Asia punya rumah dengan pagar lancip putih. Itu rumah kecil kesukaanya. Bibinya yang pemarah, dua tahun lalu meninggal.Membuat rumah itu menjadi sepi dan dalam situsi tak jelas. Menuruti kata bibinya yang akan djual oleh pemborong perusahaan perumahan swasta atau tetap dipertahankannya. Nampaknya Paman Asia sedang mengusahakan agar rumah itu tidak jatuh pada pemborong swasta.

Imajinasinya langka dan sederhana. Kalau  ia harus meninggalkan rumah itu, kata Paman Asia. Barangkali Paman Asia akan meninggalkan kebiasaan lamanya untuk pergi ke sungai yang menghias desa ini. Suara air sungai menghantam batu-batuan yang cerewet, sangat disukainya. Sungai kesukaanya itu tempat di mana Paman Asia  menghabiskan waktu untuk memancing troul. Ikan besar yang hidup di perairan sungai. Lagi-lagi ia harus merasa kesal kalau mengingat rumah itu akan dijual oleh bibinya itu yang cerewet. Paman Asia akan kehilangan rumah. Kehilangan sungainya. Ah, itu berarti Paman Asia bakal kehilangan ikan troul juga.

“Lekas kamu jual rumah itu,” begitu kata bibi Paman Asia mengingat ucapan bibinya itu yang tak menyukai daging setengah matang. Apalagi daging itu berbau kecap dan bawang merah. Bibinya akan meledak-ledak akibat bau itu mengganggu hidungnya. Yang padahal bau-bauan akan susah masuk di hidungnya yang pesek.

 Paman Asia menutup buku. Paman Asia pun mengunci pintu rumah depan lalu menutup garasi tak bermobilnya. Lagi-lagi rumah bergarasi menjadi ciri paling esensi menjadi manusia kota. Dengan rumah bergarasi, desa sudah mirip kota.  Paman Asia menjual mobilnya untuk biaya pemakanan bibinya itu. Paman Asia tidak akan kehilangan mobil itu kalau mau menyerahkan sertifikat tanah rumah kepada pemborong rumah swasta itu. Lagi pula ia tidak suka mengendarai mobil.

Tetangganya yang berada di depannya sedang berlari-lari kecil dengan anjingnya. Tetangganya itu kalau melihatnya sedang duduk-duduk di bangku atau sedang menutup garasi, ia selalu berkata,

“Halo, pemburu mana ikan troulmu,” kata tetangganya itu.

“Mudah-mudahan aku akan mengantarkannya malam ini dengan dua botol bir,” balas Paman Asia cepat.

            Bagi pensiunan  dosen sepertinya menjauh dari kota menuju desa adalah impian besar menghabisi ambisi imajinasi masa kecilnya. Bukan, bukan, aku salah. Paman Asia selalu berfikir memang menjadikan desa ini sebagai tempat peristirahatan masa pensiunannya.  Paman Asia bisa saja bersurat dengan anak-anaknya yang dikota untuk tinggal di desa selama-lamanya. Menjauh tua dari kota menikmati hari mudanya kembali di desa. Anak Paman Asia selalu menolak untuk tinggal di desa. Di mana radio-radio dan koran adalah hiburan satu-satunya. Mereka sering mengeluh karena jauh untuk mengunjungi drive thru. Membeli kentang goreng ataupun burger besar. 

****
            Paman Asia berjalan menuju sungai untuk memancing. Dia merasa muda kembali kalau di desa untuk memancing ikan troul. Tapi tulang pinggang dan kakinya tak bisa bohong, Paman Asia selalu kesemutan. 

            Paman Asia istirahat menunggu di sebuah jalan lebar dekat patung tentara. Jalan yang terbuat dari batu bata yan adem. Landmark desa yang masih membutuhkan monumen yang menjadi penghias.  Menjadi pemantik ingatan.

“Monumen dibangun untuk mengingat.” Begitu kata Paman Asia.

Paman Asia  berjalan mengelilingi dengan pelan monumen patung tentara itu.  Melihat-lihat. Sekaligus mengingat-ingat.

Seorang lelaki pensiunan dosen bertemu dengan patung gagah macam tentara membuat jantungnya melayang. Berdebar-debar mengapa patung segagah itu tak lapuk oleh usia. Malaikat imajinisi di kepala botaknya menghampirinya meniup ruh berupa kata yang tertata di kepalanya menarik untuk menyusun sebuah kalimat-kalimat yang membayang ikan troul.

“Aku ingin pergi memancing,” pikir Paman Asia. 

Paman Asia pun mencari sandaran untuk bisa duduk-duduk di sebuah bangku taman sambil memijit kakinya yang kesemutan. Cerewet burung gereja dan daun-daun yang gugur saling bersautan. Daun gugur akibat suara burung yang cerewet. Daun yang gugur saling tegur-sapa dengan suara burung yang cerewet. Lalu kata Paman Asia, daun-daun yang gugur menjawab dengan tulus hati menjawab,  

“Jatuh untuk menyuburkan tanah”

 Tidak ada kisah yang indah selain Burung  dan Daun yang gugur.

Paman Asia mendengar kisah itu dari istrinya. Ingatan itu tentunya bukan ingatan kenangan saja. Tapi memori manusia memang selalu menyediakan kenangan. Di sinilah hal-hal yang dulu tak pernah terjamah di masa kecilnya dilumat, dihabiskan dengan hebat-hebatnya. Dan yang gugur persis seperti manusia. Pagi ini opera trik sulap sebuah parlemen rebutan akan anggaran perang. Manusia tak lebih berguna ketimbang sebuah daun yang gugur. 

Berdiri lama-lama di monumen patung-patung. Lama-lama mendengarkan radio, mendengar musik. Ataupun menghabisakn berjam-jam waktu senggang hanya untuk memuaskan hati Paman Asia untuk memancing ikan troul. Itu adalah kenikmatan sendiri baginya.

Tetangganya yang selalu mengucapkan: “Halo pemburu mana ikanmu,?” lewat kembali dengan anjingnya yang selalu mengikutinya dari belakang. 

Katanya, Herman si pengantar susu menunggu di depan rumahnya. Sekaligus untuk mengobrolkan pembelian rumah itu. Paman Asia tidak bisa membayangkan nantinya  harus tinggal di sebuah perumahan yang berpagar gagah dengan satpam dan papan konyol yang selalu tertulis, “Anda memasuki Perumahan Boulevard” jika ia menjual rumahnya itu. Taktik orang kota yang egois. 

Ah tidak, kamu tahu Paman Asia akan memikirkan itu masak-masak. Sebab ia pun ingin mempertahankan sungai kenangan yang banyak sekali akan ikan  troulnya. Sebab apa ia mesti pindah ke perumahan yang menjemukan itu. Lalu bagaimana lagi, anak-anaknya ingin tinggal bersama Paman Asia. Dan permintaan anak adalah sesuci-sucinya kepolosan manusia. Paman Asia akan mengunjungi anaknya di kota. Ah, itu hal yang menjengkelkan, kecuali duduk-duduk di sebuah Taman Kota yang penuh dengan daun dan burung yang cerewet.
****

Posted on Sabtu, November 15, 2014 by Rianto

No comments

Kamis, 13 November 2014

Haji mengantarkan kita pada tokoh, kisah dan makna. Kita teringat Haji Danarto (1984) dalam bukunya Orang Jawa Naik Haji memuat kisah perjalanan haji penuh renungan. Seniman Danarto berkisah dengan apik perjalanan haji yang bermodalkan do’a sapu jagat. Seniman Danarto saat di dalam pesawat mengingat haji-haji yang khusyu salat di dalam pesawat yang kekurangan air dan penuh sampah. 
     
           Taufik Ismail mengenang haji adalah sebuah perjalanan air mata. Perjalanan haji menghasilkan kisah dan puisi. Taufik Ismail mengenang haji dengan puisi “Ziarah ke Kubur Sendiri”. Mari simak do’a dari penggalan puisi yang bergema, //Terdengarkah olehmu do’a terakhir itu//Diucapkan menjelang matahari terbenam//Dibacakan oleh dua juta jamaah//Diratapkan oleh mayat-mayat ini//Dua juta mayat yang tegak, yang duduk, yang tiarap//Apalagi beda antara do’a dan ratap//. Puisi menjelma kisah haji yang bermakna. Manusia berhaji dan berpuisi. Memekik renungan perjalanan haji melalui puisi penuh zikir.

            Di masa silam kita dapat menemukan haji yang rajin menulis kisah-kisah perjalanan hajinya. Kisah haji yang disusun Henri Chambert-Loir (2013) yang termuat dalam tiga jilid bukunya Naik Haji di Masa Silam menjadi renungan haji yang memukau. Dalam penelusuran sejarah naik haji itu ditemukan kisah orang sunda naik haji.  

            Salah satunya Raden Demang Panji Nagara pernah melakukan perjalanan haji pada tahun 1852. Raden Demang Panji Nagara merupakan seorang bangsawan berasal dari Sumedang. Ia berangkat bersama 24 orang  melalui desa Tomo lalu menumpang sebuah kapal Arab menjalankan ibadah haji. Dalam buku Ensiklopedi Sunda (2000) tercatat Haji Purwa pernah melakukan perjalanan haji pada tahun 1337. Konon Haji Purwa adalah haji pertama yang melakukan perjalanan haji.  

                        Di masa silam perjalanan haji menuai renungan. Perjalanan haji pun memantik untuk menulis kritik haji sebagai pembelajaran. Kita terkenang akan Boekoe Woelang Hadji karya Raden Moehammad Hoesen (1873). Wulang yang berarti pengajaran ini memang dimaksudkan sebagai buku pelajaran bagi yang berniat naik haji waktu itu. Suryadi (2013) mengatakan Boekoe Woelang Hadji yang disusun oleh sorang pemimpin pribumi di Karesidenan Priangan  ini melihat fenomena haji dengan sangat kritis. Menurut Raden Moehammad Hoesen yang menulis kritiknya melalui syair itu mengatakan bahwa tak ada gunanya beribadah haji itu apabila orang yang melakukannya menyia-nyiakan keluarganya, di kampungnya meninggalkan mereka dalam ketiadaan  jaminan uang dan kebutuhan hidup.

            Kita bisa menduga haji di masa silam dilakukan oleh para priyayi, para menak, yang ditandai dengan melek huruf dan mampu menulis. Perjalanan haji fenomenal dari orang sunda pernah dilakukan bupati R.A.A Wiranatakoesoema.  Ia menulis kisah perjalanan hajinya yang paling bersifat pribadi dan terperinci. Dari kisah bupati naik haji itu kita dapat menduga dapat menelusuri sejarah tanah sunda modern. Biola menjadi kata kunci modernitas.

            Musik menjadi pengingat memori dalam perjalanan haji mengenang tanah kelahiran. Wiranatakoesoema bermain musik dengan menggesek biola. Wiranatakoesoema menulis, “tatkala saya membunyikan lagu-lagu Sunda, maka terbayanglah pada kenang-kenangan saya, diri saya sebagai seorang anak kecil di kabupaten di tengah orang yang saya cintai”.Wiranatakoesoema terkenang akan eropa saat menggesek biola membunyikan lagu-lagu eropa. Saat itulah Wiranatakoesoema merasa, “terkenanglah saya akan masa dipindahkan dari dunia bumiputra ke dunia eropa, dan akan perbantahan yang hebat dalam hati saya antara kedua  pemandangan kehidupan itu. 


            Kisah-kisah haji memuncak pada keyakinan kita bahwa menulis kisah perjalanan haji menjadi do’a dan kenangan. Haji memuat kisah, tokoh, peristiwa, mitos, menjadikan kisah perjalanan haji merupakan khasanah kebudayaan tulis yang sangat berharga. Kita pun dapat mengenang dan mengambil hikmah para haji yang menulis kisahnya di masa silam. Dari sana cerita menjadi do’a.  Menjadi petunjuk hidup mengenang tokoh haji orang sunda yang menulis. Persis apa yang diungkap Ajip Rosidi dalam buku Apa Siapa Orang Sunda, ia mengingatkan,“Di kalangan orang Sunda sendiri tak ada tradisi menulis dan menyusun dokumentasi, sehingga tak heran kalau  generasi belakangan merasa “pareumeun obor’, kehilangan petunjuk tentang hubungan dengan nenek moyang dan saudara-saudara sendiri.Semoga kita tak pernah kehilangan obor itu. Tabik!
           

Posted on Kamis, November 13, 2014 by Rianto

No comments

Kamis, 25 September 2014

Debu dan deru knalpot metro mini menggumam di macet siang itu. Pasar Senen begitu lelah dan gerah dengan kerumunan orang-orang kota di sebuah lampu merah yang ramai.  Pengamen kecil dengan  suaranya yang serak bernyanyi bak Jojo keong racun.  

            “Baru kenal kok ngajak tidur, “ begitu dia menyanyi.

            Di sebuah toko Triarga, belakang bioskop yang bobrok itulah aku bertemu dengan ribuan buku dengan banyak pengarang. Penjelajahan penuh gairah bertemu dengan buku, tokoh, wacana,  kata.  Bertemu dengan catatan seorang pemuda yang menghembuskan nafas terakhir akibat motor yang berlari kencang menabrak dirinya 31 Maret 1973.  Meninggalkan 17 jilid buku catatan di mejanya. Goenawan Mohamad dalam catatan pinggir, “ Catatan“,  menulis, 

            ...Ahmad Wahib  pada umur 31 tahun, meninggalkan 17 jilid itu sebagai  sesuatu yang belum selesai. Tapi apa arti selesai sebenarnya? Ketika kemudian catatan itu kita baca, kita tahu Wahib membuka jalan  ke sebuah hamparan yang luas, penuh lurah, liang gua, juga belukar keras, di mana Tuhan, Quran, dan iman dipersoalkan..

            Di manakah catatan itu yang diterbitkan sebagai buku? Oh, barangkali catatan yang tertumpuk debu itu yang terselip di ribuan buku di toko berlantai tiga itu hanya aku ketahui sebagai catatan yang pernah kawanku yang kini menjadi dosen di jurusan Sosiologi UNJ berkomentar, “Nanti gak mau sholat lu,“ begitu komentarnya jika kita membaca catatan Wahib.  Kita tertawa dengan lega.

            Mungkin pemuda yang tak dikenal itu bagiku ingin sekali kepolosan dalam hatinya sebagai  yang biasa. Wahib dalam catatanya ini menarik kita ajukan hipotesa bahwa Wahib pun adalah makhluk kebudayaan.  Bergeliat dengan katakanlah Wahib tak melulu berbicara ayat suci. Aku memandang Wahib dengan tanpa ayat apapun. Mesti Tuhan yang dipertanyakan merupakan inti dari pergolakan pemikiran Ahmad Wahib.

            Buku catatan Ahwad Wahib itu aku dapatkan di toko buku Triarga, Senen di belakang bioskop yang bobrok.

            Bagiku Ahwad Wahib menarik dikaji secara kebudayaan. Ah, aku mesti mengutip apa yang di katakan Raymond Williams sebagai kebudayaan sehari-hari. Bukankah catatan harian Ahmad Wahib terdapat kata kunci kebudayaan yang menarik kita ajukan sebagai tesis bahwa  Wahib orang biasa yang suka dengan budaya sehari-hari yang remeh temeh. 

Dalam catatan bertanggal 17 Agustus Ahmad Wahib menulis, 

…Kekasih engkaulah matahari yang tak perrnah terbenam. Engkaulah yang mengajari pelita bercahaya... kata-kata yang padat berisi ini ku dengar dalam filem Romeo and Juliet yang kutonton tadi malam. Tuhan menganugerahkan cinta antar dua remaja, dan Shakespeare menggali anugerah cinta itu… 

       Wahib menyatakan seniman selalu berbicara pada  keadaan yang paling hakiki. Cinta sebagai yang hakiki yang sedikit nan lucu Wahib nyatakan dalam catatan yang terselip pendek, rapi dan licin.  Oleh karena itu, “Seseorang manusia seniman” kata Wahib,  “ adalah orang yang paling potensial bertemu dengan Tuhan”

            Catatan-catatan kebudayaan tentang seni, musik, film, kota, warung bahkan cinta barangkali luput dari cerita Wahib yang melulu dipandang secara sebagai pemuda yang kritis atas agama. 

            Sebelumnya tanggal 2 Juni 1969, Wahib menulis catatatan usai menonton sebuah ballet  yang mempesonakan.  “The  First Chamber of Dance Quartet,” kata Wahib, “ adalah bentuk  tarian ballet asli yang pertama kali saya tonton  kemarin di THR dua setengah jam." Dari tarian ballet itu nalar wahib mengelana pada tokoh, tema, cinta dan ingatan akan seorang  yang ia cintai.

            Januari lalu, di galeri cipta tiga Taman Ismail Marzuki,  Romo Mudji mengadakan pameran sketsa warnanya. Kisah Borobudur yang ia maknai secara budaya dalam sketsa-sketsa tersimpan makna, tak beku, batu, bisu.  Barangkali Ahmad Wahib pun demikian, dalam catatannya Borobudur  10 November 1969 ia menulis, 

…Mengagumkan. Suatu kedahsyatan tangan manusia dan kedalaman pertemuan dengan Tuhan tertulis dengan jelas dalam suatu bangunan mahabesar  dengan stupa-stupa, relief-relief dan mahkota puncaknya. Candi ini, terlepas dari riwayat pembuatannya yang mungkin menelan ribuan korban dengan penindasan rakyat, merupakan monumen yang baik sekali untuk mempelajari sebagian dari sejarah masa lalu...

             Ingatan akan arsitektur  barangkali merupakn cermin hidup kita.  Persisi seperti Romo Mangun ungkap dalam bukunya Wastu Citra mengingatkan kita tentang mentalitas arsitektur yang mencerminkan etos hidup. Oh, kita hidup seperti burung manyar yang menenun sebuah asitektur  agar bermakna!

            Pasar yang tak henti berdialog dengan gema hidup pun menjadi catatan Wahib yang menarik. Wahib justru sadar membaca buku saja tak cukup. Kaki kesti melangkah ke sebuah pasar. Menurut Wahib pikiran-pikiran perlu dipersegar dengan kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
“Karena itu tadi pagi,“ kata Wahib,  “Aku berjalan kaki sepanjang kurang lebih tiga kilometer, masuk ke pasar lihat orang jual semprong dan sebagainya."

            Lalu aku terharu  pada catatan hidup yang gersang  9 Oktober 1972,  Wahib di sebuah warung  mengingat rumah . Rumah menjadi tempat yang Wahib rindukan. Ia menulis setelah berbuka puasa di sebuah warung. Justru pengalaman rohani terjadi di warung. 

...sukar menduga, apakah ini akan  merupakan penagalamna rohani yang berarti.  Semua ini tergantung pada upaya batinku sendiri untuk memanfaatkan  makna yang dalam pada sebuah lintasan hidup..

Posted on Kamis, September 25, 2014 by Rianto

No comments

Rabu, 24 September 2014

                 Imajinasi akan pasir-pasir suci nan haru tak lain adalah mengenang Haji. Taufiq Ismail mengatakan perjalanan haji sebagai perjalanan penuh air mata. Haji Danarto mengajakku melintas kota, mitos, do’a,  makian, serta haru dalam haji.  Lalu apa yang membedakan Haji Danarto dengan haji lainnya? Ini menarik. Danarto menuliskan kisahnya dalam buku alit Orang Jawa Naik Haji. Taufiq Ismail berkomentar,

"Danarto yang kapas itu. Luluh dan lumat di hamparan terik padang pasir Arafah, tersaruk-saruk di mas’a dan tersungkur sujud, menangis, di atas pualam Masjidil Haram“

            Perjalanan haji  memuat kisah dan makna. Haji Danarto konon berkisah tentang do’a sapu jagat yang mengantarkan jemaah-jemah tenang menenun haji dengan bermodal do’a pendek itu. Tuhan menciptakan bahasa, berujung do’a yang memudahkan umatnya. Kini do'a singkat penuh haru itu menjadi pengantar haji yang tak bisa membaca dan menulis.

            Danarto menulis, “ Jika ternyata anda buta huruf, ya kitab suci itu dipegang-pegang saja cukup. Lalu dibalik-balik, kayaknya bisa membaca, gitu,“ mengutip pembimbing hajinya saat di asrama Pondok Gede.

            Perjalanan haji membawa ketakutan. Haji Danarto takut, hajinya tidak membawa berkah. Danarto pernah ditanya oleh temannya, masa kok sehabis ke paris langsung naik haji, dari mana uangnya? Haji adalah adegan  menjaga diri dari tubuh yaag ringkih akan dosa. Danarto pun berdo’a  

 “Wahai mataku, mulutku, dan telingaku, tertutuplah kamu dari hal-hal di luar ibadat," ujar saya kepada anggota-anggota badan saya.

            Haji semacam keluh yang tak terobati. Keluh dan keluh berujung cerita menarik yang diungkap Haji Danarto. Menurutku, seniman Danarto ini berkisah hal-hal remeh temah tentang haji menjadi kisah haji yang lucu nan kritik. Sepasang kakek-nenek yang  selalu ribut di dalam pesawat yang jarang air untuk berwudhu dan salat. Haji begitu menguji hambanya!

            Imaji-imaji tentang  manusia dan arsitektur terbalut makna nan hakiki tentang ruang. Barangkali manusia memuji tuhan dengan gayanya yang kolosal: butuh arsitektur sebagai pengingat.  Masjid Nabawi begitu menjadi magnet kita yang berhaji. D sanalah ada  sejarah mitos berbalut do’a nan haru hadir  memuji tuhan. 

......Bersolat disamping makam Nabi, hati jadi begitu berbahagia, kata sementara jemaah. Dan dari sinilah perjuangan untuk mendapatkan tempat yang terbaik bermula...(hal 17)

           Oh ada kisah copet  juga dikisahkan Haji Danarto.  Siwalan, begitu Danarto ketika kesal melihat keadaan berhaji. Henri Chambert-Loir mengisahkan buku ini menjadi refensi menarik dalam menalaah kisah haji.  Bagiku buku Danarto ini menjadi kisah orang dan kota. Gambarkan kota dan manusia di tanah suci  tahun 85-an  ini tentang hal-hal yang ringan. Aku merasa membaca buku ini kisah seniman berhaji dengan gaya bertutur. 

            Aku merasa berhaji bersama Danarto. Bertemu  Kota Mina yang jorok namun tetap dicintai. Percekcokan antar Arab-dan Arab. Tidur dengan blower yang mengundang sakit. Melempar jumrah dengan jam tangan. Ah, kisah haji  bernama manusia yang tetap dalam khasanah yang hakiki:  memohon  mati di tanah suci.
           

Posted on Rabu, September 24, 2014 by Rianto

No comments

Jumat, 12 September 2014

Kucing-kucing bertebaran di lorong. Anjing-anjing berjingkat santai melintas sebuah toko. Sepeda bersender begitu saja di dekat toko. Dari sana terlihat James Robert yang pernah menjadi lawan tinju Hemingway berada dekat toko itu. Dengan kecepatan keong ia mendorong sepedanya yang bobrok.

            Pertemuan Michael Pearson dengan “Iron baby”-panggilan James Robert- itu terdapat kisah mengenai Hemingway. Biografi Hemingway dapat saja ditemukan disudut toko-toko buku loakan. Namun, dalam diri “Si Bocah Besi” ada kesaksian ; Hemingway gemar bertinju dan terkadang mewasiti sebuah pertandingan tinju. 

            Michael Pearson menunjukan obsesi yang kuat. Mempertemukan kisah, buku, mitos, sejarah Hemingway dari penelusurannya yang remeh-temeh: menjejakan kaki di tempat-tempat imajiner di mana Hemingway hidup.

            Pengarang hidup di suatu tempat. Pearson begitu percaya dengan  ingatan bocahnya akan karya-karya Hemingway yang pernah dibacanya bertautan dengan tempat pengarang itu tinggal. Kita bisa membayangkan rumah seorang pengarang macam Hemingway. Kita bisa berimajinasi membayangkan sebuah karya muncul di rumah seorang pengarang.

            Rumah menjelma kisah yang tertulis. Inilah obsesi pembaca macam Michael Pearson menelusuri rumah Hemingway yang konon memasukinya mesti membayar 5 dolar. Kita bisa membayangkan tinggi Hemingway yang mesti membungkuk akibat pintu rumahnya yang pendek.

            Membaca karya sastra menjadi semacam ritual mengingat dan mengenang imajinasi si pengarang. Kita percaya membaca karya sastra berarti bertemu dengan pengarang.

            Pertemuan Pearson sebagai pembaca karya Hemingway dengan orang-orang yang pernah dekat dengan Hemingway itu telah menjelma ritual membaca yang imajiner. Menjadi imaji bunga-bunga orkestra yang impresi. Begitu kuat kita terima sebagai dorongan memori.  Kita menduga pertemuan semacam itu yang didasari dengan obsesi dan kemampuan jurnalistik  mempersembahkan potongan-potongan kecil pengarang yang hidup dari ingatan-ingatan orang.

            Obsesi

            Kini obsesi mengetahui kehidupan seorang pengarang bisa terlihat dengan mudah di layar kaca. Kopi yang setengah panas dan sepotong gorengan yang sudah lembab menemani imajinasi kita yang mudah menemukan kicauan twitter seorang pengarang. Inilah obsesi membaca yang tergantikan dengan bahasa digital. Yang sampai-sampai pengarang macam Ahmad Tohari ngomel-ngomel di koran. Konon bahasa kita diganti oleh bahasa digital!

            Obsesi mengenai kata dan peristiwa yang tertulis dalam karya sastra memerlukan tubuh yang gerak. Di sebuah toko buku bekas De’lawas Tanjung Duren, Jakarta  misalnya saya menemukan orang-orang yang  begitu gemar mencari buku-buku yang  tertumpuk. Mencari pengarang yag terselip dalam debu. Dengan penerangan yang kurang membuat saya sendiri agak kesulitan melihat buku-buku dan nama pengarangnya.

            Lalu ada beberapa anak sekolah berseragam masuk toko buku bekas itu dengan gairah yang sulit diukur secara matematika. Mereka masuk dengan pertanyaaan sederhana, “mencari buku paket sekolah.” Sedangkan teman lainnya bertebaran mencari komik.  Dan beberapa lainnya mengotak-atik tumpukan  novel Agatha Cristie.

            Lalu mengapa peristiwa berlama-lama dalam sebuah toko buku  hanya untuk menemukan pengarang di sekian tumpukan ribuan buku dapat menimbulkan gairah? Sebuah pertemuan pembaca dan pengarang di sebuah toko bekas seperti itu semacam ritual yang menggairahkan. Mungkin itu yang disebut dengan obsesi.

            Pernah suatu sore sambil memakan jagung rebus di emperan samping Stasiun Senen dan beradu dengan  suara metro mini bercampur dentuman knalpot bajaj yang melengking, esais Bandung Mawardi berkisah tentang pertemuannya dengan Leila S Chudori pengarang novel Pulang.  Bandung merupakan pembaca karya-karya Leila.  Dari membaca itu dia diantarkan  bertemu dengan Leila. Lalu mereka mengobrol kata dan peristiwa di sebuah restauran mewah yang membuat Bandung Mawardi gerogi. Ini menjadi kisah pertemuan pembaca dengan pengarangnya.

            Budi Darma pernah menjawab dengan lugas akan ciptaan imajinasi peristiwa, kisah, tokoh dalam karya sastranya. Misal nama Olenka yang ia temukan ditumpukan buku telpon. Kita bakal bertemu dengan kesaksian Budi Darma yang begitu percaya “Obsesi” menjadi macam  mesiu pengarang yang penting di bukunya “Kritikus Adinan”.  Obsesi yang selalu bertepuk tangan dengan liar. Dalam sebuah wawancara dengan Zen Hae,  Budi Darma mesti membuka buku telpon yang tebal di dalamnya terselip nama Olenka dari ribuan nama lainnya yang mungkin saja menggodanya untuk dijadikan tokoh dalam karangan-karangannya.

            Pertemuan    

            Pembaca karya sastra selalu mempunyai titik temu. Gabriel Marquez begitu terharu bertemu dengan Hemingway hanya dengan lambaian tangan. Gabriel Marquez mengenang, “Saya mengenalnya segera setelah melihat dia melintas bersama istrinya Mary Welsh di Boulevard St. Michael di Paris pada suatu hari di musim semi yang hujan pada 1957. Dia berjalan di sisi lain jalan menuju Taman Lukemburg. Dia mengenakan celana koboy yang tampak kuat, kemeja wol dan topi pemain bola. Satu hal yang tak menampakan bukan miliknya adalah sepasang kacamata berbingkai logam. Kaca mata ini kecil sekali dan membuatnya seperti seorang yang  belum saatnya menjadi kakek.”

            Gabriel Marquez bingung. Pertemuanya dengan sang maestro hanya berakhir dengan jawaban kecil dari sang Mahaguru, “Adiooos, amigo!”

            Marquez percaya membaca novel-novel karya orang lain hanya untuk membayangkan bagaimana mereka menulis. Pernyataan Marquez pun diamini dengan kisah perjalanan Pearson yang menelusuri gang, rumah, kota kecil, meja yang berserakan, berdasarkan ingatan-ingatan orang di sekitar pengarang Hemingway.  Terkadang di sana ada kesaksian peristiwa, tokoh, mirip dengan kehidupan gerak tubuh si pengarang itu sendiri.

            Kita sebagai pembaca karya sastra, bersiaplah dengan pertemuan-pertemauan dengan pengarang. Menjadi manusia kota seperti Jakarta menjadi tempat yang menggairahkan bertemu dengan buku, kata, peristiwa, tokoh dan tentunya pengarang itu sendiri. Membawa buku menjdi do’a yang terselip dengan kisah yang terduga: sebuah pertemuan dengan pengarang.

             Sebagai Manusia kota kita tentunya tidak begitu bergairah jika suatu sore kita duduk-duduk  di bangku rumah dengan teman lama  di kampung. Lalu berkisah kepada teman: “hanya dosen dan setumpuk tugas saja yang aku temui di Jakarta.” Oh, kita patut bersedih sambil mendengar lagu picisan.

            
*Tulisan ini merupakan esai yang dimuat dibuletin sastra STOMATA

Posted on Jumat, September 12, 2014 by Rianto

No comments

Sabtu, 30 Agustus 2014

Indonesia begitu seksi untuk dicatat dan diterjemahkan kebudayaanya. Kolonialisme menghasilkan Snouck Hurgronje  yang rajin mencatat dan menjadikan kebudayan kita dipelajari, dituliskan, dan tentunya dilaporkan ke pangkuan Ratu Belanda. Di sana ada semacam dugaan, sejarah, pernikahan, mitos, islam, sampai urusan seks menjadi agenda penting untuk dicatat dan diketahui. 

             Sampai urusan humor yang mengundang tawa dalam imajinasi masyarakat kita yang hindia itu, Snocuk catat dan laporkan.

            Dari catatan-catatan remeh temeh Snouck itu menjadi inspirasi seorang Lina Maria Coster-Wisjwan membuat disertasi tentang sejarah lucu kita. Urusan humor menjadi pemantik studi kebudayaan kita yang lagi-lagi barangkali lupa untuk disentuh.

             Pustaka Jaya menerbitkan buku “Si Kabayan”ini di tahun 2008.  Buku ini merupakan penelitian Lina Maria Coster. Jauh dari pertanggungjawaban sidang penelitian yang dilakukan oleh Maria  pada tahun 1929. Koesalah  Soebago Toer-lah yang berjasa menerjemahkan karya ini. Pun demikian penerjemahan ini mengundang kesulitan dan beberapa istilah folklor macam Uilespigel, Kamperui dan Unibos tanpa penjelasan lebih lanjut.

            Di buku inilah kita bisa melihat unsur lucu erotis dalam masyarakat kita yang hindia tercatat. Snouck menyamakan kisah lucu si Kabayan memiliki persamaan dengan kisah lucu di eropa. Snouck secara khusus menulis dalam bukunya The Atjhers, mengatakan

“Yang tidak kurang populer dari orang cebol yang cerdik, dalam cerita rakyat Indoensia adalah orang yang dilihat sepintas lalu saja memiliki ciri-ciri persamaan yang tak diragukan dengan cerita ;lucu eropa, juga dengan Joha Arab-Turki dari Chodja Nasreddin; mengherankan bahwa sejauh saya ketahui belum ada seorang pun yang mencurahkan perhatian pada tipe yang mencolok ini” 

            Lina Maria Coster-Wijsman menghimpun 70 dongeng yang dihimpun dan disejajarkan dengan kisah lucu  lainnya. Dongeng si Kabayan konon yang berkembang secara lisan pun tercatat di jurnal-jurnal.

            Unsur lucu erotis inilah yang tercatat terkadang menjadi kelakar rakyat yang kasar dalam pandangan eropa. Walaupun erotis dan kasar, Maria mengagap kisah lucu si Kabayan menjadi cerita Sunda yang kaya. Maria mengatakan, 

“Saya merasa, alangkah baiknya kalau hal-hal yang belum dikenal ini dapat dijangkau  oleh umum untuk dibaca, baik demi penelitian perbandingan dongeng, maupun demi pengetahuan  mengenai humor rakyat Sunda.” 

            Lalu mengapa Si Kabayan?  Lina Maria Coster-Wijsman mengangap  bahwa tidak ada ditempat lain di kepulauan ini di mana terdapat cerita-cerita lucu yang sekaya pada orang Sunda. Si Kabayan pantas menjadi titik tolak untuk  meninjau  literatur lucu Indoensia.

            Dari penelusuran Lina Maria Coster-Wijsman kita dapat melihat unsur erotis lucu  Si Kabayan terbalut dalam kisah-kisahnya yang sering tampil dalam wajah dukun, maling, suami, menantu, maupun tetangga usil. Unsur lucu erotis dari dongeng si Kabayan menjadi dugaan kuat bahwa bicara seks dalam tradisi lisan terjalin secara lucu dan kelakar. Seks menjadi ringan dan humoris. 

            Aku tutup tulisan ini dengan mari kita simak bersama dongeng ini,



Kabayan baru kawin , dan karena belum tahu, ia pergi ke halaman untuk berteriak , di mana letak vagina. Istrinya Bilang: di sana, di rumah.  Kabayan pun masuk rumah . Dija pikir yang dimaksud istrinya adalah tabung trasi. 

Hidup memang penuh  anekdot!
               


Posted on Sabtu, Agustus 30, 2014 by Rianto

No comments

Kamis, 28 Agustus 2014

            Boboko adalah kerajinan anyaman baru digarap oleh mayoritas penduduk desa Trajaya Majalengka. Ketelitian menganyam, kesabaran dan tetes keringat para pengrajinnya kadang “tidak memadai “ hasil dagangannya untuk sekolah masa depan anak-anak mereka.

Trajaya tidak hanya membuahkan kerajinan anyaman bambu penduduknya dimata “peneliti-peneliti muda LKM UNJ” tetapi sudut mata peduli mereka sebagai generasi muda pendidik-pendidik menorehkan tulisan-tulisan renung mendalam mengenai putus sekolah anak-anak Trajaya, mengenai SMA sebagai kemewahan karena biaya sekolah tinggi dan karena dana bantuan pendidikan BOS hanya sampai SMP. 

Tidak hanya itu “Hidup bersama” (live in) para anggota LKM UNJ ini melalui narasi hati peduli tulisan-tulisan mereka ini telah memenuhi kelangkaan narasi inspiratif pendidikan, merenungi “kemiskinan kultural dan struktural” terutama soal  waris mewarisi seni merajin boboko ke yang muda yang disedot keasikan SMS dan motor lalu lalang hingga ruh seni merajut kerajinan rakyat Trajaya ini berlangsung untuk menghidupi nafkah mereka.

Cara berkisah dari Rianto, yang menyorot bagaiman pendidikan kesadaran untuk menulis merupakan sekolah menamai kenyataan dalam aksara menjadi kunci konsienstisasi gambar manusia indonesia macam apa kedepan ini yang mau dirajut dengan pendidikan ?

Cara berkisah Restu yang menghayati dengan mata hati proses menganyam boboko tidak mungkin tertuang bila ia sendiri tidak masuk ke hati orang-orang  Trajaya.  Demikian pula Agus Puromo punya kisah perjuangan diatas aspal dan tanah berbatu demi cinta dan tanggung jawab untuk anak istri dari pekerja angkot. 

Suryaningtyas menampilkan “ruang publik’ alun-alun rakyat Trajaya untuk aktivitas  ekonomia denyut nafas hidup masyarakat dengan potret  lengkap anak-anaknya, birokrasi, punggawa dan orang-orang kebanyakan yang memuliakan hidup dalam berkah-Nya yang disyukuri seperti mengingatkan novel Pramoedya Ananta Toer “Bukan Pasar Malam” namun ini pasar malam benar-benar di Trajaya: pasar malam penjualan boboko.

Pengrajin Tua yang menunggu sepi anyaman di senja tulisan Muhammad Khambali, membuat pembaca mau tidak mau berhenti sejenak untuk bertanya bagaimana pemasaran anyaman-anyaman boboko ini? Dimana janji-janji pemberdayaan kredit-kredit dan UKM dari pemerintah selama ini?

Dari Trajaya, tersurat nyata bahwa hasil penjualan boboko yang jauh-jauh dibawa untuk dijajakan di pasar malam, adalah pertama-tama tanda cinta si Ayah untuk biaya hidup dan pendidikan anak. Tengoklah tulisan Nada Muthia lebih-lebih baca yang tersirat pesan-pesan dibalik yang tersurat.

Sang kakek pembelah bambu sebagai bahan pokok boboko, ditulis penuh haru dan detail betapa bambu itu “segalanya” untuk nafkah perajin boboko oleh Rusmiati.  Kisah hidup  bambu, dengan wajah anyaman boboko raksasa untuk promosi pameran disunting sepenuh hati  oleh Indah Miranti. Namun ada boboko polos dan boboko “hitam”, atau “belang” yang butuh proses “ngewengku, nyokoan, ngiket” tampil unik oleh tangan penulis Tri Pria karena yang “hitam” bermuatan tradisi cipta boboko hitam di blok khusus Trajaya, yaitu blok sabtu yang  diwariskan perintisnya Tayobi.

Ketika Narasi saat ini mengenai keuletan, kerja keras seni pengrajin dalam bentuk tulisan dengan susastra hidup yang dihayati dengan hati semakin berkurang dari sudut pandang prosesnya dan tidak hanya komersialisasi jualan hasil-hasil kerajinan tangan, maka para pendidik muda ini tulisan-tulisan  memberi nafas baru bagaimana LKM sebagai laboratorium organik yang menghubungkan antara kerja, pendidikan, dan “transformasi” masyarakat dengan dahsyat mampu mencipta tradisi narasi edukatif, transformatif karena mereka berperjalanan dan masuk hidup ke jantung denyut nadi masyarakat Trajaya dengan bobokonya.

Tulisan-tulisan inspiratif  dengan contoh-contoh nyata tokoh-tokoh petani sekaligus pengrajin dan masyarakat kerja keras ini menjadi contoh nyata oase pencarian makna hidup adalah proses kerja untuk masa depan anak-anak melalui pendidikannnya. Kendala-kendala disitulah yang menjawab mengapa sekolah harus “menyatu” dan berdialog terus dengan “live in” masyarakat dan bukan belajar teks-teks buku tetapi belajar “teks-teks” dari kehidupan masyarakat itu sendiri. 

Bravo dan selamat untuk LKM UNJ semoga laboratorium organik pendidikan ini menjadi alternatif tradisi mendidik dan menyadarkan melalui kisah-kisah hidup nyata para pekerja keras dan seni yang sabar dari Trajaya.

Selamat membaca buku berharga ini!

Salam,
Mudji Sutrisno Sj
Budayawan

*Tulisan ini diambil dari kata pengantar buku "Menali Kehidupan Meraut Kesabaran" terbitan Pustaka Kaji (2014). Kumpulan tulisan jurnalisme bertutur karya mahaiswa yang tergabung dalam Lembaga Kajian Mahasiswa UNJ

Posted on Kamis, Agustus 28, 2014 by Rianto

No comments

SUDAH HAMPIR 150 TAHUN LALU NUSANTARA kedatangan seorang kakek. Kakek itu bukanlah orang kaya. Ia lahir pada 1823 di Usk. Monmouthshire, Inggris. Di usianya yang sudah tak muda ia melakukan perjalanan panjang. 

Sembilan tahun ia menghabiskan waktu di Nusantara. Berbekal sederhana, juga tidak perlu iring-iringan besar saat melakukan perjalanan seperti Raffles.

Kakinya pernah menapak di Borneo. Kala itu, lusinan Mias (orang hutan) banyak ia buru, begitu pula burung-burung dan tumbuhan banyak  dikoleksi.

Tetangganya sering memanggilnya untuk menembak Mias. Mias buruannya itu merusak kebun-kebun. Setelah mendapatkannya, ia akan mengulitinya. Dan dikirimnya ke Museum Inggris koleksinya itu. 

Ia terkejut saat pemuda Dayak memanjat pohon untuk mengangkat bangkai mias yang tersangkut di pohon-pohon besar. Mias itu tewas di pelurunya. Saat tertembak, “Dooorrr!” Mias itu kabur menaiki pohon-pohon besar. 
kisah yang dirangkum dalam jurnalisme bertutur

Lekas Kakek itu meminta bantuan.

 “Bagaimana mungkin, pemuda itu mampu memanjat pohon hanya dengan batang-batang bambu, dan seutas tali dari kulit pohon untuk mengambil bangkai Mias,” kenangnya di salah satu surat panjangnya.

Kakek itu pun pernah menapakan kakinya di pulau Jawa, melalui pelabuhan di Soerabaya. Turun dari kapal, ia tak sabar melanjutkan perjalanannya untuk melintasi kota, desa, pedalaman, serta hutan-hutan. 

Naik kereta dilanjut dengan dokar, ia mengeluh, “perjalanan di Jawa sangat mahal,” ungkapnya.

 Menuju Modjokerto bertemu Mr Ball sahabatnya. Disana, hari-harinya  dihabiskan melihat pengantin sunat, berjalan-jalan melihat candi, dan berburu burung. Kakek itu pun menulis tentang keindahan arsitektur sisa-sisa keruntuhan Majapahit.

Pernah sepulangnya melintas hutan-hutan, saat kembali ke rumah. Baru turun dari dokarnya, Mr Ball mengabarkan ada anak-laki-laki tewas diterkam harimau. Kakek itu sangat menyesal saat tak mendapatkan tengkorak harimau yang mati itu, terkepung, mati di puluhan tombak penduduk. “Tidak utuh lagi, giginya pun diambil, dipakai untuk jimat,”  kembali ia mengenang di surat-suratnya. 

Kakek itu adalah Alfred Russel Wallace. Catatan perjalanannya menjadi kajian penting tentang Nusantara. Perlu tujuh tahun untuk merangkum catatan apik itu. “The Malay Archipilago” (Komunitas Bambu telah menerjemahkannya) adalah salah satu masterpiecenya. Kakek itu menulis apa saja, menebang pohon, berburu kupu-kupu, mengobrol mengenai lumut di Bogor dan Gunung Gede sangat bagus?

Tony Whitten menggambarkan, surat panjangnya itu seperti ditulis untuk kawan seminat, yang akan tergugah tidak hanya pada hewan dan tumbuhan juga pada kisah-kisah perjalanan di daratan, sungai, dan laut, seperti percakapan-percakapan yang terjadi antara Wallace dengan penduduk kampung  atau para raja, putra-putri bangsawan, dan sultan. Obrolan yang terjadi dengan Orang lain itu menambah asyik tulisannya.

Rumusnya memang sangat sederhana, rasa ingin tahu tentang dunia telah mewabah di Eropa kala itu. Adalah sebuah anugerah bagi pelaut, naturalis, pejalan kaki, travelers, bagi siapa saja yang hendak berkontemplasi untuk menemukan kehidupan lain dan menuliskan kisahnya. Bagaimana mereka-mereka mampu mengurai rasa tahu itu?

            Kita harus melakukan perjalanan,” tulis Heredotus jauh sebelum itu. Lebih asiknya kita harus ketempat Orang lain, dan memperlihatkan hasrat untuk bertemu dengan Orang lain. 

Adanya sebuah perjalanan menuntut seorang untuk mencatat, merekam apa saja. Ini bukanlah sebuah kisah perjalanan biasa, Kapuscinki seorang penulis, wartawan, menyebutnya seperti perjalanan seorang “wartawan”. Ia menulisnya,

“Ketika kita melakukan perjalanan, kita bisa merasakan bahwa sesuatu penting tengah terjadi, bahwa kita turut ambil bagian  dalam sesuatu yang penting terjadi, bahwa kita turut ambil bagian dalam sesuatu sebagai saksi mata sekaligus pelaku.”

Perjalanan itu ‘Menguji Nurani’, Kapuscinski menyebutnya. Melakukan perjalanan memungkinkan bertemu dengan Orang Lain, mengobrol, mendengar ceritanya. Kata hati mereka benar-benar menguji nurani.

Restu salah satu penulis buku  sedang belajar menganyam
Sebuah tantangan, melakukan perjalanan-perjalanan di negeri sendiri  pun dapat menguji nurani. Itulah yang menjadi kekuatan mimesis kami untuk melakukan sebuah perjalanan, mencatat kebudayaan Orang lain. Semangat untuk melakukan perjalanan, mencatat, dan bertemu Orang lain, berkisah melalui tulisan.
 
Lalu siapa Orang lain ini? Ya kami merekam kisah-kisah orang biasa, mencoba  menceritakan budayanya, kehidupannya, merajutnya dalam sebuah tulisan adalah hal yang menantang untuk kami coba.

Sebisa mungkin kami menulis perjalanan ini dengan sebuah gaya feature, kisah bertutur. Kerja kami memang mirip kerja seorang wartawan. Kami saling mengisi dan saling berbagi pengetahuan, “tidak ada guru disini” berbekal setumpuk tulisan-tulisan jurnalisme sastrawi yang meski kami baca. Berdiskusi mengenai metode pengamatan, sampai membut riset-riset kecil-kecilan, membuat kami juga seperti mengkopi kerja ilmuwan sosial. Membuat kami menyebutnya sebagai wartawan-wartawanan cum ilmuwan. Pun kami percaya menulis adalah sebuah kerja yang ditunjukan oleh wartawan maupun ilmuwan. 

Oleh karena itu kerja kami, hanya kerja sebagai traveler biasa yang pada dasarnya hanya ingin mengobrol dengan isi nurani yang kami temui dan bermesraan dengan pengetahuan dan kebudayaannya lalu berbagi cerita dengan menuliskan kisahnya. 

Tidak memakai analisis sosial dan metode penelitian yang rumit. Cukup berbekal mengobrol, mencatat, merekam percakapan berupa kegelisahan, kegembiraan Orang lain yang kami temui tersebut. Kami hanya berbekal angle tulisan yang dirumuskan saat diskusi di kampus sebelum pemberangkatan.

Bahkan kami ribut sampai memutar otak, beradu ide saat diskusi membahas angle tulisan menjadi hal yang lucu. Sebab bisa saja angle berbelok, tetapi tidak membuat kami pusing kepalang. Atau pun lontaran ide tulisan kami yang diyakini saat diskusi kecil-kecilan sebelum melakukan perjalanan, menjadi hal yang lebih menantang dan menyenangkan saat dijalani. 

Kami juga  tidak dikejar deadline yang ketat. Ini sebuah tantangan saat kegiatan menulis dipandang sebagai saling berbagi pengalaman. Menulis untuk siap tidak dibayar!

Kami tidak akan menyangka akan berdesak-desakan, di bus Widia jurusan Cikarang-Majalengka untuk sampai ke sana. Kami tidak akan menyangka kami harus bangun sebelum ayam, atau kami memang harus tidur ayam untuk dapat melihat pasar subuh boboko di alun-alaun Trajaya. 

Menarik, ada yang menceritakan kisah uniknya dengan terpingkal-pingkal saat seharian hanya sekedar mengejar angkot, apalagi penumpangnya hanya tumpukan-tumpukan bambu! Seharian mengobrol bersama ibu-ibu, para pengrajin boboko dan diajak untuk membuat kerajinan boboko. Itulah sebuah cerita yang dirasakan penulis sebagai penyambung lidah kisahnya, lalu menulis dialognya di teks-teks buku ini. 

Dialog dengan mereka seperti berkisah pada kehidupan yang sederhana. Mereka yang di desa selalu menjadi oase, terus merajut kehidupan, menganyam boboko, menali proses yang panjang, mengingatkan kita tentang kehidupan ini membutuhkan proses untuk dirajut dan seterusnya memangil-manggil untuk dimaknai.

Melakukan perjalanan ke Desa Trajaya adalah kesempatan langka bagi kami para mahasiswi-a yang selalu ditumpuki tugas kuliah. Merekam kegiatan anyam-menganyam, berbaur dan berbagi cerita, segalanya kembali pada kata kehidupan itu sendiri yang mengajak untuk dimaknai. Kegiatan ini lebih mendebar-debarkan ditengah mengerjakan tumpukan tugas kuliah.

Kami percaya dengan berbagi tulisan atau foto saja adalah sebuah harapan untuk berbagi kehidupan, berbagi kehadiran, begitu pula berbagi visual culture yang selalu memangil untuk berdialog. Oleh karena itu kami tidak hanya menyiapkan tulisan. Ada beberapa foto serta komik strip yang menghiasi di teks tulisan, yang dapat dilihat dan dimaknai secara budaya keberadaan orang-orangnya, pekerjaanya, ataupun hasil kerajinan tangannya. Kami percaya melalui perjalanan, berkisah tentang Orang lain adalah jalan kebudayaan.

Bukankah kerja kebudayaan ini sebuah usaha berjuang dan membangun tegur-sapa kebudayaan yang indah.Jika kebudayaan dipandang sebagai buah budi atau ciptaan manusia, maka akan bersifat luhur dan indah. Itulah buah dari kebudayaan. 

“Budi manusia itu aktif, tidak tinggal diam, tiap-tiap buah adalah hasil usaha atau akibat sesuatu proses,” tulis Ki Hadjar Dewantara memantapkan kredo kami.

Mungkin disaat itu pulalah keinginan kami melalui catatan dan foto ini ada yang akan mengingat dan memaknai sesuatu proses kebudayaanya, kampungnya, desanya, orang-orangnya. Dari situlah kami pun ingin dengan adanya buku ini bisa sejenak dinikmati untuk merefleksinya dengan perjalanan kalian sendiri.

Cara terbaik membaca sebuah kisah perjalanan adalah seperti Tony Whitten ungkapan saat membaca perjalanan Wallace, ialah alih-alih ‘memanfaatkan fantasi bersama Wallace’.

Melalui tulisan-tulisan yang ada di buku ini semoga pembaca menikmati adegan demi adegan, kata-perkatanya seperti merasakan perjalanan bersama kami dengan memfantasikan dialognya seperti bersama penulis.

 Akhirnya kami percaya, bahwa berkisah mengenai perjalanan, bertemu dengan orang lain ada celah-celah kebudayaan yang bisa dimaknai untuk merasakan keindonesiaan. Sebuah usaha untuk mencatat kebudayaan Indonesia.

Dengan bait lagu Tanah Airku, semoga menambah getar-getar keindonesiaan bagi siapa saja yang mengingat kehidupannya, prosesnya, kampungnya, desanya. Memaknai melalui perjalanan kisah kita sendiri. Menceritakannya, terus mendialogkannya.

“Tanah Airku tidak kulupakan, kan terkenang selama hidupku, biarpun saya pergi jauh, tidak kan hilang dari kalbu, tanahku yang ku cintai, engkau ku hargai. Walaupun banyak negeri kujalani, yang masyhur permai dikata orang, tetapi kampung dan rumahku, disanalah kumerasa senang, tanahku tak kulupakan, engkau ku banggakan”.

*Tulisan ini ada di buku "Menali Kehidupan Meraut Kesabaran"

Posted on Kamis, Agustus 28, 2014 by Rianto

No comments