Jumat, 28 Februari 2014







Malam ini sehabis main futsal aku mendengar di bawah orang-orang bergitaran memainkan lagu “Balapan Solo”. Solo, aku mengenang dan mencintainya dengan dalam. Solo Jebres adalah stasiun penuh kenangan bagiku. Jalan Literasi, bercanda dengan kawan. Aku menumbuhkan romantisme di Solo. Kereta, buku, orang-orang dan lainnya. Wah, aku galau!

Menulis solo, aku jadi ingat dengan buku hasil loakan di nggladak. Aku, Mas Fauzi, Setyaningsih, Mutimatun, Qibtiyah, Yun, Luthfi pernah berburu di loakan buku itu. Aku menemukan buku pelajaran anak-anak. Asik. Aku kembali jadi anak SD! Hehe, Buku berjudul Gesang Pencipta Lagu Bengawan Solo (1984) begitu asik aku baca.

Ny. S. Wardoyo Dkk, aku berucap syukur kepadamu. Melalui buku tipis ini aku seperti mengalun bernyanyi bersama kehidupan Gesang. Wah, aku jadi sedih! Ingat pas SMP aku kenal Gesang saat guruku mengenalkannya sebagai penyanyi hebat. Tapi aku gak punya buku untuk mengenal gesang lebih jauh. Buku ini menjadi membasuh hausku akan Gesang.

Dengan mantap, penyusun bilang, “Setiap putra Indoensia ingin berbakti pada Ibu Pertiwi, dengan kemampuan masing-masing,” begitu katanya.

Persis apa yang diungkap buku ini, Gesang adalah keturunan pengusaha batik terkenal di Solo. Gsang hidup dengan buruh-buruh yang bekerja dengan batik. Ah, aku jadi terharu. Gesang memilih mengabdi pada musik dibanding batik. Keputusan ayahnya untuk terus mengembangkan bakat Gesang adalah yang pertama aku angkat jempol. Seorang bapak yang begitu mengerti kemauan anaknya. Aku bersyukur jadi bisa menikmati karya-karya Gesang. Gesang ikut perkumpulan keroncong pimpinan Bapak Supardi Sastropradoyo. Oh, Pak Martodihardjo, engkau bapak yang mengizinkan jalan anaknya meanapaki jalannya masing-masing. 

Kehidupan Gesang yang begitu seerhana membuatku terenyuh. Menurutnya, “Hidup jangan merugikan orang lain. Tuhan Maha Penagsih dan Penyayang”. Ujian berat diberikan gesang saat ia harus bercerai dengan istrinya. Gesang miskin. Gesang hidup berpindah-pindah sampai-sampai dia harus hidup di rumah pembantunya yang dulu. 

  Apakah buku tipis yang bagus ini ada di perpustakaan-perpustakaan sekolah? Barangkali aku meragukan. Sekolah adalah tempat melupakan buku-buku. Gesang aku tidak tahu siapa gerangan yang bakal membaca kisahmu lagi…Hiks!

Posted on Jumat, Februari 28, 2014 by Rianto

No comments

Kamis, 27 Februari 2014



Saat saya tidur-tiduran membaca buku “Penghantar Seni Sastra” karangan R.Maat, teman saya memanggil untuk duduk, berkumpul dengan teman-teman yang lain di selasar depan. “Tamunya sudah datang,” katanya.

Pagi sebelumnya Bandung Mawardi memberitahuan kami peserta 14 hari Sinau, akan kedatangan tamu. Seorang maestro. Aku belum pernah mengenalnya.. Ini perjumpaan saya pertama kali  ngobrol, duduk bareng, mendengarkan cerita dari Mbah Prapto.

Hari itu, 2 Februari 2014 saya berada di bilik literasi.Terasa di rumah itu ada perjumpaan kata dan cerita dengan orang-orang hebat. Mbah Suprapto Suryodharmo, maestro gerak, tari. Oranag yang menurut Bandung Mawardi selalu membuat acara-acara dahsyat di Pasar, di Candi, di tengah masyarakat Indonesia juga dunia. Saya hanya bertemu Mbah Prapto di ulasan Bandung Mawardi tentang candi dan buku yang tertuang di blog dan juga Koran sindo  merekam jejak Mbah Prapto yang mengadakan acara spritualitas, pengajian melalui candi.

“Mbah Prapto, tidak pernah mendapatkan gelar Honoris Causa,” kata Bandung, “Tapi dia akan memberikan kita honor”, begitu katanya membuat kita yang ada di dalam diskusi tergelak tawa. Mbah Prapto pun menjawab, “Lucu ya,” sambil nyengir  lucu melihat Bandung yang ada di sampingnya.

Asap dari rokok gudang garam filter yang sedari tadi ia pantik, mengepul di bilik literasi. Lelaki berambut perak dikuncir belakang itu pun memulai pembicaraan dengan memberitahukan maksud kedatangannya di sini tepat di hari ulang tahunnya yang ke 69. Hari ulang tahun mbah Prapto dihabiskan sore itu bersama kami. Mbah prapto memberikan wejangan.

“Saya senang sekali,” katanya, “karena bisa membangun regenerator”

Menurut Mbah Prapto membangun regenerasi yang berkaitan dengan semangat hidup bisa dimulai dengan perjumpaan. Mengobrol bertemu Mas Kabut (Bandung Mawardi), bertemu dengan konco-konco adalah membangun regenerator, generasi baru.

Perjumpaan bertemu dengan Mbah Prapto adalah perjumpaan cerita akan perjalana-perjalananya kesukaannya terhadap, alam, terhadap gerak dan tari. Pun begitu juga dengan candi. Menurutnya, berbicara, bercerita sama dengan menulis. Cerita-cerita Mbah Prapto memang dilukiskan melalui cara ngobrol,  idenya tentang toilet merupakan candi, membuat saya berfikir keras mengartikannya.

Aku dan Mbah Prapto di UII
Bicara  candi kita ingat akan Tagore. Tagore Filsuf India kelahiran Calcutta ini, pernah melukiskan perjumpaannya dengan candi, dengan Borobudur tahun 1927. Delapan belas tahun sebelum kelahiran Mbah Prapto di Solo. Bandung Mawardi dalam tulisannya Ziarah Imajinasi Candi  mengutip lirik Tagore. Dengan menulis lirik tentang borbudur,  Tagore,seperti berdo’a,”Turun-temurun peziarah datang dalam pencarian suara abadi untuk//menyembahnya; patung-patung bernyanyi, melalui sebuah simfoni besar//isyarat tubuh, membawa nama-nama sederhana mereka, menggantinya untuk mereka://biarlah Budha menjadi pelindungku.

Mungkin saja do’a yang diucapkan Tagore melalui lirik-liriknya itu saat mengunjungi Borobudur, terbanglah puisi-puisinya yang bersayap itu dilangit Solo, terhirup oleh Mbah Prapto yang hidup dengan cerita-cerita candinya itu yang kita nikmatinya sekarang ini.

Jika Goenawan Mohammad (1968) mengatakan, “Tagore adalah seorang romantik,” begitu katanya,”penuh dengan kerinduan kepada alam yang pelan-pelan sedang direnggutkan oleh abad Modern dari hati manusia. Berarti perjumpaan dengan Mbah Prapto seperti perjumpaan mengobrol dengan Tagore. Sebab apa, Mbah prapto pun memuncak dengan filsafat alamnya dengan tafsiran tulisan-tulisan di candi yang ditemuinya disitulah bertemu dengan ritus kerinduan kita tentang alam, tentang rumah yang didalamnya menuliskan dengan gerak, dengan patung, dengan melukis kata dengan suasana kampung. Ia mencontohkan dengan bilik literasi ini. Bilik literasi ini mengingatkan memorinya tentang kampung.  

“Rumah,” menurutnya, “harus mendidik manusia”. Mbah Prapto senang dengan rumah yang ramah seperti bilik, buku yang tidak teratur, rumah yang berbuku. Kita sering  menemukan ruang dengan penuh meja dan kursi. Di bilik literasi ini ia seperti berjumpa dengan kepolosan regenerasi baru itu.

Bagi kita yang “jawa’, yang pernah berada di tanah Jawa. Kita akan tercabik dengan pernyataan Mbah Prapto tentang pendidikan mengatakan,”di jawa bukan pendidikan manusia, tetapi pendidikan kutukan”. Kita dikutuk oleh penguasa dengan pendidikan yang tak etis.

Kita dikutuk dengan raja-raja yang tidak cerewet dan menyuruh para resi yang hidup dikeraton yang bekerja untuk menuliskan kata-katanya. Sayangnya, para resi ini mempunyai kesadaran bahwa Raja adalah pusat dari kata-kata. Dari situlah Bandung Mawardi coba menelaah bahwa etos menulis memang sudah dijauhkan dari rumah, dari rakyat. Rakyat hanya memuja kata-kata raja dan diabadikan, disakralkan, dikultuskan dengan sesajen.

Para resi kita yang mempunyai pengetahuan menulis, filsafat, dan sastra yang tinggi itu terkadang merasa jauh dari rakyat. Oleh karena itu terkadang kerja menulis, menurut mbah Prapto, membuat kita mempunyai pandagan ke luar, yang secara real kita itu ada di dalam Seharusnya, kita menulis di dalam rumah! Itulah yang disebut dengan sudut pandang, point of  view.
 
Mirip yang diucapkan oleh rendra bahwa para intelektual (resi, mahasiswa, dosen, penulis), adalah mereka yang berumah di angin. Rumah yang berisi dengan kebebasan. Kebebasan menjadikan kita manusia. Dan manusia yang bebas adalah mereka yang berumah dan menulis di desa, di kampung. Ong Hok Ham mengutip dari pernyataan  Paul Mus bahwa sejarah bergerak dari desa, dari kampung. Tubuh orang  Indonesia (jawa) berkembang jika ia berumah di kampung. Seharusnya kita kembali ke rumah. Seharusnya…


Posted on Kamis, Februari 27, 2014 by Rianto

No comments

Selasa, 25 Februari 2014




Manusia hidup berawal dari ingatan. Maka dibuatlah monumen-monumen yang menjadi pondasi ingatan itu sendiri. Candi adalah ingatan.  Mbah Suparapto Suryodharmo ketika berkeliling di Candi Kimpulan, mengatakan Candi adalah Pustaka.  Candi menjadi kata-kata tafsir membaca kehidupan dahulu, melacak ritus kebudayaan melalui bangunan. Itulah Tema yang dikembangkan  Lemah Putih mengadakan sarasehan “Menggali Pustaka Candi” di Area Perpustakaan Universitas Islam Indonesia (2/12/14).

Perpustakaan diciptakan untuk merawat ingatan. Ingatan itu dirawat berawal dari perpustakaan batu. Sampai kini mengenal perpustaakan modern dengan  ac dan perangkat komputernnya . Kita sering tidak menyadari perpustakaan itu selalu dibawa oleh diri kita. Kita adlaah perpustakaan Elizabeth menghentak dengan ungkapannya, bahwa perpustakaan pertama berawal dari akal manusia. Akal menyimpan ingatan. Itulah mengapa hikayat, folklore, cerita rakyat tercipta dari ingatan-ingatan masa lalu lalu disampaikan secara lisan. 

Saat manusia mengandalkan akal dan mempertahankan tradisi lisan, pengenalan aksara menghentak dengan membentuk candi-candi berupa kata, lalu membentuk cerita-ceriat melalui kitab-kitab. Inilah peradaban menulis menemui titik cerah sebagai kebudayaan tertinggi. Manusia melalui akalnya merawat ingatan, menceritakan, lalu menuliskan cerita agar manusia menjadi juru tafsir bangunan itu sendiri. 

Elizabet memberikan contoh jitu dalam sarasehan tersebut. Elizabeth membacakan serat chentini berupa cerita Yudhistira dan Kali Jaga. Dari pembacaan teks-teks tertulis itulah kita mempunyai gagasan bahawa manusia melakukan perawatan ingatan melalui teks-teks tertulis agar mampu menerjemahkan teks-teks kehidupan masa lampau. Artinya manusia memungut kata-kata dari masa lalu bermodalkan ingatan lapangan itu sendiri menjadi cerita yang tertulis, diceritakan, dibacakan agar manusia bisa belajar dari masa lalu.

Dalam bukunya “Centhini Kekasih yang Tersembunyi”,  Elizabeth menggambarkan sang kekasih, Aku (chentini) seakan-akan menjadi kenangan bersama  dengaan seratus  dua puluh juta manusia jawa memberikan cerita-cerita berupa bangunan kata yang menghentak pikiran-pikiran kita untuk mengingat kembali masa lalu kita sebagai Jawa. Buku setebal 438 hlaman itu pun telah merajut kata, berupa ingatan kita tentang Yudhistira, kelembutan Kali Jaga.
  
Perpustakaan dan Pembekuan  

Sarasehan yang terjadi diperpustakaan  mengingatkan kita tentang bekunya buku-buku. Perpustakaan mengingatkan kita akan pembekuan buku-buku. Perpustakaan batu berupa candi-candi memanggil-manggil kita untuk menafsirkan ingatan lalu menuliskannya. Sedangkan kini kita menghadapi rezim perpustakaan kaca yang membekukan buku-buku. Perpustakan batu dan perpustkaan kaca membuat kita menjadi penonton. Disinikah kita tidak bisa mengandalkan ingatan belaka jika buku-buku dibekukan di perpustakaan kaca dengan begitu modern. Membaca buku harus menjadi anggota member, tidak boleh memakai sandal jepit dan tidak boleh berkaus oblong. Inikah perpustakaan kaca dalam ranah pendidikan kita sebagai drama‘jendela pengetahuan,” namun kita menemukan monolog pembekuan.

Disinilah Elizabeth D.Inandiak mengingatkan kita akan kejituan akal manusia dalam merekam cerita-cerita sebagai saksi lapangan mampu menceritakan kembali kisah masa lalu. Inilah yang terjadi dibarat, katanya. Barat kehilangan tradisi ingatan. Sehingga jarang sekali cerita-cerit dari ingatan masa lampau yang dapat dituliskan, diceritakan, lalu disebarkan melalui buku-buku. Indonesia masih beruntung dengan ingatan-ingatan itu masih ada.
duh, kasihan buku terkurung dan terpenjara, termuseumkan

Namun kita pun mesti sadar, perpustakaan kaca menjadi ancaman itu sendiri. perpustkaaan kaca menyimpan buku-buku berupa ingatan-ingatan itu menjadi batu  tak bernyawa. Perpustakaan menjadi penjara bagi buku-buku. Di Aula Perpustakaan Universitas Islam Indonesia, ada sebuah museum kecil, di sana ada kotak putih besar telah memenjarakan buku Hatta, “Pengantar Ke Djalan Ilmu dan Pengetahuan” membuat kita terennyuh. Seperti ituhkah perpustakaan kita menjadi penjara buku-buku. 

Sore sehabis acara sarsehan dan pertunjukan, aku pun mampir ke toko buku sosial agency di jalan kali urang, membeli beberapa buku. Ada nama-nama macam Marcos, Yos Sudarso,Victor Hugo yang ingin masuk ke memoriku, diingat, diceritakan, dituliskan. Persis yang diungkap Elizabeth, menceritakan ingatan berarti memaknai kehidupan. Buku boleh dibunuh, dibekukan dan dimusnahkan, tetapi manusia mempunyai akal yang tidak bisa ditundukkan.      


Posted on Selasa, Februari 25, 2014 by Rianto

1 comment

Senin, 24 Februari 2014




Hujan membasahi jalan Jakarta. Hujan menulis biografi harmoni kota ini dimanjakan juga oleh udara yang sejuk, yang adem. Mesti udara yang adem belum meredakan kepala yang pusing sehabis dari diskusi buku“Kekerasan Budaya Pasca 1965” karangan Wijaya Herlambang (Marjin Kiri,2013) mengenai penghancuran PKI melalui budaya. 

Untuk mengademkan pikiran, aku bersama Larissa Huda melangkah ke tempat sketsa Romo Mudji. Di pintu masuk pameran, mata dibasuh siraman sketsa berwarna Romo Mudji. Membuat mata kami segar mandi dengan stupa-stupa yang  mengundang imajinasi sebuah goresan perjalanan-perjalanan. 

Melihat sketsa Romo Mudji mengembalikan kita pada ritus purba nan hakiki. Manusia adalah makhluk religius. Rupa kita sebagai makhluk religius bisa ditelusuri melalui rupa arsitektur stupa-stupa, begitu kiranya. Dalam kuliah estetika ekstension course STF Dryarkara, Romo Mudji pernah mengatakan melalui perjalananlah sebuah ritus hayat-menghayati inti kehidupan itu dapat dimaknai. 

Sebab itulah, perjalanan adalah sebuah hirup makna. Hasilnya goresan sketsa Romo Mudji selalu penuh dengan makna perjalanan estetik berinti pada religiusitas itu sendiri. Maka dapat kita temui dialog inspirasi religius bertemu yang estetik rupa stupa-stupa. 

Kali ini berwarna, begitu kata Romo Mudji. Perjalanan-perjalanan penuh religiusitas bersama Seno Joko Suyanto di Kathmandu, Nepal memberi inspirasi warna pada sketsa-sketsanya.
“Jika kalian ke Kathmandu,” menurut Romo Mudji, “Inspirasi warna ritus suci merah, kuning, hijau yang tersiram di puncak-puncak stupa merupakan tanda ucap syukur atas hidup.”

Sketsa Romo  Mudji yang terbiasa dengan hitam putih kini menjelma warna menyibak rasa suasana religius. Warna dalam sketsa-sketsa ini persis dioleskan Romo Mudji sebagai tanda kita sebagai manusia yang merayakan yang hidup. Itulah sebuah perayaan hidup, meriahlah kita sebagai manusia yang merayakan wajah kehidupan itu sendiri.  

Dalam sketsa “Perayaan Kehidupan”, goresan warna-warna sketsa itu merupa stupa menjadi tegur sapa dari yang warna ke yang estetik, lalu menjelma menjadi yang religius. Menurutku, sketsa stupa-stupa itu bisa dikatakan sebagai bayang dari hidup yang dibalut dalam pengalaman dan perjalanan menjelma sketsa yang riuh, gaduh, senyap, lalu sunyi dari Romo Mudji mengingatkan pada kecintaannya terhadap Borobudur. 

Di sinilah aku disapa untuk  menyalami apa yang diucap Romo sebagai pemaknaan kembali dengan perjalanan itu sendiri. Stupa-stupa yang dikunjungi dan digoreskan oleh Romo merupakan pemaknaan kembali ritual hidup itu sendiri dalam mengenal kearsitekturan religius kita yakni simbol-simbol yang diwakili oleh Borobudur itu sendiri. 

“Kecintaan pada Borobudur” menurutnya,  “Telah membawaku tidak hanya upaya mengenalnya dalam perbandingan dengan candi-candi budhis di Ayuthaya Thailand dan Angkor Watt di Kamboja namun pula membuatku mengajar dan menulis mengenai Budhisme, bahkan ketika di Kamakura Jepang mendalami perkembangannya dalam Budhisme Zen setelah Budhisme dari India bergerak ke China lalu ke Jepang dalam perbandingan dengan yang di Asia Tenggara. Dari pandangan keluar tersembullah dorongan pandang ke dalam untuk menulis renung estetika religiusitas Borobudur.” 

Aku begitu terharu, atas pengalaman Romo Mudji dalam memaknai Borobudur. Kita sering melihat Borobudur sebagai situs mati. Tidak hidup. Romo Mudji mencoba menghidupkan Borobudur itu sebagai jalan religi. Jika hari ini kita melihat banyak anak-anak seragam lalu lalang  naik tangga lengkap dengan kameranya memotret diri dan Borobudur, ada pertanyaan polos yang mesti kita ajukan, apakah Borobudur itu hidup sebagai yang berbicara atau mati menumpuk di album-album dan instagram?

Borobudur mengajak dialog saudara-saudara. Romo Mudji mengatakan, “Ketika masih kanak”, begitu menurut Romo,  “Mendaki Borobudur adalah lomba cepat berlari ke atas lalu turun lagi”. Dalam lomba lari yang membuatnya abai itulah ia bersyukur ditemani oleh guru yang sudi berkisah mengenai candi dan perjalanan hidup Sidharta Gautama. 


Kita juga sering abai. Saat melakukan perjalanan-perjalanan seperti ke candi dan stupa.Kita sibuk dan asyik memotret diri dengan latar candai atau stupa. Bukan berjaan dengan hening dan tenang membaca kembali memori masa lalu melalui candi dan stupa.  Padahal disitulah rima religiusitas kita diasah kembali. 

Bukankah arsitektur berupa candi dan stupa itu bukan saja kita maknai sebagai ritus sejarah yang didalamnya bercerita kehebatan tentang raja-raja? Kita diajak menyelami kembali untuk merasakan jalan religisitas hening kita, melalui mereka yang membangun stupa dan candi itu untuk menyiram kembali kecintaan kita akan ritus negeri ini bagi siapa saja yang melihat, menyentuh, sekaligus memotretnya melalui sketsa maupun foto.



          Dalam sketsanya stupa-stupa rupa Romo Mudji mengatakan, “Warna kuning simbol yang membentuk bulat diatas stupa itu persis wajah religiusitas kita. Kadang besar, kadang kecil, bahkan redup sama sekali”

           Oleh karena itu perlulah kita guru-guru kebudayaaan yang mengenalkan kita tentang Borobudur yang hidup itu melalui cerita-cerita. Lalu guru kebudayaan seperti apa? Menurut Mudji Sutrisno dalam bukunya Ranah-Ranah Kebudayaan (Kanisius, 2009) ada sosok guru sejati yang mengajari keteladanan; pengorbanan satu kata dan perbuatan. Guru seperti ini mengajarkan bahwa hidup itu sebuah proses  jatuh bangun merajut, menenun ide dan membatik dengan tangan keringat dan kreativitas ide.

Seminari menegah Mertoyudan Magelang itulah Romo Mudji bertemu dengan guru kebudayaannya. Guru yang menurut Romo telah menyapa, guru yang mengajak mencintai dan mengenal Borobudur. Pijakan awal inilah yang menjadikan perjalanan untuk mengenal candi demi rasa ingin tahu memintal perjalanannya dari stupa ke stupa yang lain. 

“Inilah guru budaya yang mengajak dan menanamkan pada kami dalam tindak laku pepatah yang berbunyi: yang tidak mengenal akan tidak mampu menyayangi,”  begitu kata Romo.

Barangkali saja sketsa-sketsa romo Mudji ini telah mengundang kita juga untuk memaknai religiusitas dengan perjalanan kita sendiri. Dari sketsa berwarna itu telah menjelma kata yang menyapa kita untuk merayakan hidup.Selama kita merayakan hidup melalui religiusitas, manusia bukanlah makhluk picisan. Sapaan sketsa berwarna Romo Mudji ini seperti sudah menjelma puisi. Mungkin saja lebih dari itu. Mungkin saja….

Tulisan ini aku kirim ke buletin sastra STOMATA...


Posted on Senin, Februari 24, 2014 by Rianto

No comments