Sabtu, 12 April 2014

Cerita pendek ini aku mulai dengan imajinasiku tentang buku puisi. Lalu aku menulisnya dengan letupan-letupan fakta penuh prosa pula. Bagiku ini tetaplah imajinasi. Mesti berisi puisi-puisi hidup.

Aku tidak ingat siapa pacarkecilku hari ini. Yang setiap bangun pagi karena Azan Subuh lalu mendekapku dengan mesra: basuhlah mukamu dengan air suci. Kini aku begitu dibawa oleh kata yang ditulis oleh penyair Joko Pinurbo di buku alit ini. Wah, ini buku menjadi buku puisi yang akan aku simpan baik-baik. Diam-diam aku terbawa emosi, suasana, dan jeritan-jeritan kata dalam puisi-puisinya.

Saat itu hujan membasahi Jakarta. Kamu tahu, aku duduk di dekat jendela-jendela penuh buku-buku di toko buku sekitar Senen, Jakarta. Di situlah aku bertemu dengan pacarkecilku. Di hujan yang sebentar itu Jokpin aku baca lama-lama sampai aku lupa harus membeli buku pesanan temanku. Aku memang bukan penyair. Tadi dua puluh menit sebelum aku berada di jendela itu. Saat aku terhenti di sebuah warteg beberapa temanku berkata,

“Kamu tak mengerti puisi. Walau begitu coba baca saja,” begitu katanya.

Kata seorang pengarang, penyair selalu berkiprah dengan kata penuh permenungan**.

Aku memang jarang sekali mengkoleksi buku-buku berbau puisi. Temanku pernah membelikanku puisi Kuntowijoyo dan Bakdi Soemanto. Tetap itu tak membuatku tertarik menjadi penyair. Ah, hidup mungkin mesti berpuisi. Maka aku begitu terharu biru membaca (diam-diam) dalam hati  puisi pacarkecilku yang berkata,

“pacarkecilku bangun di subuh hari ketika Azan datang//membangunkan mimpi. Pacarkecilku berlari ke halaman,//menadah hujan dengan botol mainan, menyimpannya//di kulkas sepanjang hari, dan malam harinya ia lihat di botol itu gumpalan cahaya warna-warni”(pacarkecilku, bait pertama)

Berat hatiku membacakan (masih) dalam hati kata ‘Azan datang’ disela-sela gerimis yang kunjung henti di klakson-klakson angkot. Kamu sering hadir di ranjangku. Lalu berbisik,

“Mas sudah subuh,” katamu penuh hening.

Seperti lantunan ayat-ayat tuhan dalam Qur’an, aku masih lelap lalu dengan sabar kamu membangunkanku. Aku pun membacakan puisi itu yang berlanjut dengan berbisik mirip berdo’a,  

“Pacarkecilku lelap tidurnya, botol pelangi dalam dekapnya.//ketika bangun ia berkata, “tadi kamu kemana?//Aku mencarimu di rerimbun taman bunga.”// aku terdiam.sepanjang malam aku hanya berjaga di samping tidurnya agar dapat melihat bagaimana azan pelan-pelan membuka matanya “(pacarkecilku, bait kedua)

Aku sudah lupa bagaimana kamu punya memori ingatan tentang subuh itu. Pacarkecilku aku ingin mengiris-iris ingatanku menjadi beberapa bagian. Lalu kita bangun sebuah rumah penuh akar. Di akar-akar itu menjelma gedung-gedung tinggi kota penuh badut-badut mengajak kita ke mana-mana. Di jantung kota dengan komedi putar  kita berdetak kembali menjalin cinta yang penuh polos kekanak-kanakan. Tak lupa membeli gulali dan cap cay. Nah, barangkali dari situ aku mudah-mudahan tak menangis melulu karena ketinggalan bus. Karena kamu selalu ada di sampingku menawarkan,

“Ini ada gulali, jangan menangis ya,” katamu dengan senyum lebar-lebar.

Air matakupun kuseka dengan  manisnya gulali dari kamu itu. Kamu masih ingatkah dengan memori itu. Kita hilang ingatan tentang  memori kekanak-kekanakan kita. Karena kita melulu emosi orang dewasa. Menamparmu, menghinamu, meledak-ledak dengan kata tak sopan.

Lalu kamu bilang juga. Katamu, aku selalu bersedih. Karena aku selalu ditinggal bus. Sebab aku selalu menunggu sepatu  yang dipakai kakakku berjualan di pasar malam. Aku sering bergantian memakai sepatu jembel itu. Kamu tahu, apa yang kamu ungkap saat aku menangis lagi,

“Ini ada gulali, jangan menangis ya,” katamu lagi dengan senyum lebar-lebar.

Padahal waktu itu kamu tahu aku tetap menangis. Karena aku tidak mau harus ketinggalan bus lagi karena sepatu itu. Aku ingin membeli sepatu. Lalu kamu memelukku. Hilang ketakutan dan kesedihanku. Lagi-lagi kantung-kantung bajumu penuh gulali. Dan kamu mesti ingat aku berkata padamu setelah dewasa kelak,

“pacarkecilku tak akan mengerti;pelangi dalam botol cintanya// bakal berganti menjadi kuntum-kuntuk mawar-melati//yang akan ia taburkan diatas jasadku, nanti.”(pacarkecilku, bait ketiga)

Pacarkecilku barangkali disaku celanaku kali ini ada pistol untuk membunuh ingatanku tentang dirimu yang tak juga kunjung datang di halte ini. Halte tempat aku menangis dan kamu menawarkan kembali gulalimu itu. Jelas aku terkapar dalam kesendirian yang heboh dengan dencit-dencit suara pengemis meminta uang dariku. Aku kasih semaunya. Aku akhirnya tak sanggup naik taksi. Terpaksa aku naik becak  yang kata penulis puisi ini, kamu tahu  pacarkecilku, katanya aku  mesti menuju ke sebuah kuburan. Lawatan kesedihan dan orkestra penuh bunga-bunga.
Pacarkecilku apakah kamu ada disitu. Aku tak sanggup membayar becak yang mengantarkanku ke kuburan itu. datanglah. Datanglah dengan taburan bunga-bunga dari botol mainan kecil itu. Agar aku tak lesu harus bagaimana menghadapi persolaan ini. Agar aku kembali hebat. Persis seperti pacarkecilku.

Barangkali aku tiba juga dipintu rumah kita yang  putih lancip-lancip pagarnya. Aku buka sepatuku lalu mengetuk pintu, ternyata pacarkecilku membuka pintu dengan senyum penuh kantung airmata di sela-sela mata polosnya itu. dalam banjir airmata,  kamu berkata,

“Maafkan aku mas,” katamu nyaris terdengar lirih.

Aku pun memelukmu dengan membawakan oleh-oleh berupa buku–buku. tanpa membawa bunga.

Kamu datang membasuhku dengan tawa, kesedihan, lalu aku memelukmu lagi dengan erat-erat kata maaf  polos itu. Aku marah lalu membeli buku ini untukmu. Semoga kita baik-baik saja, lalu saat tidur nanti, aku diam-diam membacakan, membisikan puisi ini ke kamu,

“Sebelum tidur ia selalu berdoa: bangunkan aku jam tiga pagi, .”( Bangunkan Aku Jam Tiga Pagi, bait pertama)” kataku pelan-pelan mirip berdo’a.

Kamu datang keranjangku. Membawa gulali lalu cerita banyak-banyak. Aku mendengarkan itu. kita bertengkar tadi pagi, malam kita kembali polos. Makanya tuhan selalu mengingatkan kita saat malam berdo’alah. Maka aku berdo’a dengan melanjutkan membaca puisi itu dengan (masih) diam-diam,

“jam tiga pagi mimpi mungkin sudah kembali ke nol lagi//ia ingin dengar bagiamana ranjang menyanyikan tubuhnya// dan tubuh menyanyikan sakitnya//” (Bangunkan Aku Jam Tiga Pagi, bait kedua)

Begitu barangkali aku ingin menjerit-jerit menyesali perbuatan kita yang bertengkar karena dewasa. Kembalilah. Kembalilah pacarkecilku dalam dekapanku. Di ranjang ini aku menemukan kembali sosok malaikat berwajah cantik menemaniku dalam desah-desah mimpi. Barangkali itu bukan mimpi. 

*Judul buku puisi Joko Pinurbo yang diterbitkan oleh Indonesiatera (2002)
**Cek kata pengantar oleh Ignas Kleden dalam Catatan Pinggir 2 (Grafiti, 2003)

Posted on Sabtu, April 12, 2014 by Rianto

No comments

Selasa, 08 April 2014


Sebelum kamu duduk pagi ini meninggalkan lari malam yang ramaikan mimpimu. Kamu harus tahu dulu, sudahkah membasuh kakimu yang halus itu dengan rasa gembira, riang, penuh kegirangan. Kamu juga sudah mengerti kegirangan ada disetiap tubuh-tubuh pagi yang pergi meninggalkan coreng, gelap-gelap hidup. 

Katamu kalau kita membeli surat kabar ada sisi yang mesti aku perhatikan selain kata dan iklan. Mesti kamu bilang seperti itu, aku lupa pagi ini tak ada koran. Jadi kamu boleh juga duduk santai sambil ngobrol pelan dengan aku yang sudah membawa buku ini sejak subuh tadi. Barangkali kamu suka dan kita tumbuhkembangkan hari-hari penuh kegirangan.

Sebab kamu sendiri yang bilang kepingin tertawa terus. Menertawakan siapa saja dari penguasa sampai hal remeh temeh. Aku minta maaf. ini buku selalu mengundang malas untuk menyampul. Sebab aku tak pandai hal kecil itu. Tapi aku selalu membeli buku agar kelak kamu tahu aku girang bisa menambah koleksi perpustakaan imajinasi ini, disini, dikamu, di hatimu dan di impianmu juga.

Sumarthana mengatakan naluri pencarian kegirangan sudah sejak bayi kita miliki. Persis yang kamu bilang kita selalu ingin seperti bayi. Polos dan selalu girang. Itulah maksud dari hidup. Dalam buku inipun,  Karikatur-karikatur (1970-1981) gubahan Pramono menjadi bahan obrolan kita pagi ini. Agar tak usai pagi ini lewat begitu saja. 

Sumarthana bilang dalam sekapur sirih,

“Mereka yang bisa mencari kegirangan biasanya tak berminat untuk mencari definisi tentang apa yang disebut ‘lucu’. Agaknya bagian yang tersulit untuk dirumuskan adalah hal-hal yang menyangkut perbedaan-perbedaan pengalaman pribadi tentang apa-apa yang menyebabkan seorang tertawa. Pengalaman tentang kelucuan pada dasarnya merupakan pengalaman personal”

Kegirangan menjadi begitu personal bagi kita sebagai manusia yang senang tawa. Sebab itu aku jadi teringat saat kita berdua, berlima, atau bersepuluh melingkar duduk-duduk berbicara hal-hal remah temah lalu muncul ungkapan-ungkapan yang entah mengapa kita semua tertawa begitu saja. Melucu butuh mengingat barangkali.

Sebab itu buku Pramono ini yang berisi karikatur-karikatur yang diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan menjadi ingatan untuk kita hidangkan pagi ini agar kamu punya alasan mengapa dalam membaca surat kabar aku begitu tertarik dengan karikatur. Kita punya karikaturis hebat macam GM. Sudarta dengan Oom Pasikom, Dwi Koen dengan Panji Koming, Kini aku punya buku Pramono dengan karikatur-karikaturnya yang membuat kita tertawa.

Filsafat Lucu Pramono yang disukai oleh Sumarthana salah satunya adalah Sinkretisme Helm. Ah, gila helm pernah menjadi polemik di kota-kota macam Jakarta. Helm menjadi bahan tertawaan pada saat itu yang mau menggeser budaya topi. Budaya helm sebagai budaya modernis dan budaya topi sebagai budaya murahan, tradisionil. Sumarthana mengatakan, 

“Pramono merekam apa yang mungkin terjadi di jalanan dengan orang-orang yang pada akhir tahun 1971 diharuskan memaki helm. Terjadilah semacam sinkretisme  budaya topi yang lucu. Dari segi peraturan helm khususnya dipakai di jalan raya yaitu melindungi kepala dari kemungkinan benturan fungsional. Namun topi dalam arti tradisonal mempunyai banyak arti. Baik sebagai simbol, sebagai identitas, bahkan  sebagai bagian dari status tertentu. Sebab itu  ketika ada keributan soal helm di akhir tahun 1971, maka terjadilah keaneh-keanehan yang merangsang tawa. Secara amat komikal hal itu telah membuat banyak frustasi dikalangan masyarakat yang masih hidup dalam rangkulan inti budaya pribumi. Seolah-olah juga terdapat kesan semacam protes terhadap helm yang hendak dipaksakan saat itu” 

Dari hal yang lucu kita dapat bicara tentang sejarah. Kamu juga pasti setuju kalau komikus juga sebagai dosen sejarah yang mampu menerangkan jejak-jejak peristiwa yang terjadi di dunia dan kita. Bgeitulah aku sedari sekarang ingin sekali mengkoleksi buku-buku berbau kartun-kartun agar tak melulu merasa hebat, sombong membaca buku sejarah babon agar ngerti, eling tentang sejarah. 

Kamu mesti mengingatkanku juga bahwa sejarah mesti digubah dan diobrolkan secara lucu oleh karikatur-karikatur. Duh, apalagi kita hidup di zaman serba cepat yang memakan tawa sebagai generasi tak pernah tertawa. Semua serba melulu serius. Mesti kamu pernah bilang hidup memang serius. Sebab apa kita tidak tertawa. Dilarang-melarang tertawa. 

Sudahkah kamu mandi hari ini? Aku menunggu di depan rumahmu sedari tadi sambil membalik-balik buku Pramono ini. Begitu lucu, begitu mengundang tawa. Semoga dengan buku itu menjadikan tangan kita selalu mendekam, melipat silang persis seperti berdoa: kita butuh tawa dan kata. Aku selalu berdoa itu untukmu.



Selamat pagi….


Posted on Selasa, April 08, 2014 by Rianto

No comments


Narasi sejarah kita tentang guru yang berpolitik anti-kolonial sangatlah sedikit dibicarakan di ruang kelas. Barangkali buku paket pelajaran di sekolah kita tak memuat bab guru berpolitik. Kita akhirnya sadar, buku paket pelajaran keluaran pemerintah hanya berisi ringkasan-ringkasan sejarah seadanya yang menumpuk di tas dan dibawa sehari-hari oleh anak sekolah. Jadi, setiap hari mereka membawa, membaca, menghapalkan buku berisi sejarah yang kering dan diulang-ulang. Negara sengaja meringkas, membekukan, dan menyebarkan pengetahuan seadanya itu di buku pelajaran.

Pendidikan yang seadanya merupakan cerminan dari kebijakan negara dalam menentukan kualitas murid, yang selalu diharapkan menjadi penentu masa depan Indonesia. Negara terbukti belum mampu mengenalkan murid dengan sejarahnya, mengajari mereka ilmu-ilmu yang memiliki dasar sejarahnya. Andai di dunia pendidikan ada bab guru berpolitik untuk diajarkan ke murid-murid, setidaknya akan ada perubahan yang membawa optimisme. Sebab, sejarah diperlukan dalam menentukan nasib pendidikan Indonesia di masa sekarang dan masa yang akan datang.

Guru pun minim akan literasi.  Guru-guru jarang membaca buku. Maka, tidak aneh jika guru-guru hari ini jarang mendengar ide-ide radikal pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara, Tan Malaka, Muhammad Syafei, dan Mohamad Hatta. Akibatnya, guru-guru enggan berpolitik. Padahal di masa-masa revolusi, guru adalah  seorang  intelektual yang berpolitik. 

Di manakah bab sejarah guru dan politik? Apakah dihapus oleh rezim Orde Baru yang bertujuan untuk membuat guru patuh dan mendukung sepenuhnya pembangunan. Caranya yakni dibuatkan organisasi tunggal, diminta mendukung partai pemerintah, mengajar dengan pesan-pesan pemerintah. Hilangnya bab itu mengakibatkan sejarah pendidikan dijauhkan dari politik, dibungkam agar tidak mengganggu stabilitas politik sekaligus mensukseskan pembangunan.

Setelah puluhan tahun, akhirnya kita lupa pada keteladanan guru-guru yang berpolitik sejak masa kolonialisme. Murid-murid, mahasiswa-mahasiwa, guru-guru seakan-akan tidak berusaha mengingat sejarah yang sejatinya adalah bab fundamental. Pendidikan yang melupakan sejarah sama artinya pendidikan yang cacat. Kita seharusnya segera sadar dan berusaha mendasarkan pendidikan terkini ke sejarah yang menggugah.

Ki Hadjar Dewantara, Tan Malaka,  Muhammad Syafei, Hatta merupakan guru-guru politik yang aktif mendirikan sekolah. Dari risalah, brosur, buku  yang memuat tulisan-tulisan mereka tersimpan ide nyata bahwa guru harus berpolitik.  Ki Hadjar Dewantara merupakan guru yang berpolitik. Ia mendirikan Taman Siswa yang dasar politiknya jelas yakni melawan politik pendidikan Belanda. Sebab, sistim pendidikan Belanda mengecewakan dan sudah kehilangan rasa kerakyatannya. Guru di sekolah bentukan Belanda menghilangkan tabiat kerakyatan. Sebab, murid-murid keluaran sekolah Belanda merasa lebih tinggi derajatnya daripada saudara-saudaranya  yang tak pandai berbahasa Belanda.

Tan Malaka juga merupakan guru yang berpolitik. Ia  mendirikan sekolah kader berupa SI School tahun 1921. Mereka tahu, sekolah menjadi arena guru menebarkan ide-ide pembebasan. Melalui sekolah, guru mengajarkan ilmu pedagogik berupa ilmu berhitung, menulis, serta bahasa yang dikemas dan diolah di sekolah kerakyatan  untuk menghadapi zaman kapitalisme. Murid diasah jiwanya melalui bermain dan mengikuti perkumpulan-perkumpulan, organisasi-organisasi politik. Kelak mereka terbiasa menjadi pemimpin yang tidak jauh dari rakyatnya. Menurut Tan Malaka, kemerdekaan rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Kini, alih-alih narasi ide guru berpolitik haram hukumnya. Akhirnya, ruang kelas menjadi ruang mengisi pilihan ganda. Ruang kelas sepi akan retorika perdebatan politik. Guru menganggap persoalan sekolah adalah persoalan metode mengajar saja. Sehingga, guru sulit berfungsi sebagai penyulut kesadaran sejarah. Pendidikan semakin menyempit, bab dan bahasannya terbatas. Pendidikan yang menutup diri dari sejarah dan politik akan menjadi pendidikan yang tidak berlentera.  

Lody Paat dalam tulisannya Melahirkan Guru Intelektual Transformatif (2011) mengurai masalah terkini yang menjangkit guru yakni tidak mau melawan kekuasaan. Contohnya ada di model pelaksanaan LPTK. Ini bisa dilihat dengan mata kuliah yang didapatkan mahasiswa calon guru. Mahasiswa calon guru kita masih dipenuhi dengan materi ilmu pendidikan usang (alat pendidikan, kewibawaan, dan kedewasaan), psikologi pendidikan (behavioristik dan kognitif), dan strategi belajar mengajar.

Pengetahuan itu masih mendominasi ruang kelas. Inilah yang membentuk guru kita mempertahankan status quo bahwa sekolah hanya tempat  aplikasi metode belajar-mengajar saja. Guru-guru kita tidak terasah untuk mengurai kekuasaan. Persis kritik yang  dilontarkan Ki Hadjar Dewantara, guru sebagai mesin. Kritik Tan Malaka menyebutkan penyakit guru ialah mabuk metode. Bahkan, Winarno Surakhmad menyebutkan guru sebagai operator. Apakah guru-guru pada masa sekarang ingin berubah?

Guru-guru kita jarang mengikuti diskusi-diskusi politik pendidikan. Guru-guru kita lebih senang memadati diskusi sosialisasi kurikulum baru. Guru-guru kita lebih senang memadati diskusi mengenai metode mengajar yang efektif. Hari ini wacana guru kita masih mendominasi pengejaran penghidupan berupa sertifikasi. Hari ini wacana guru masih berisi ambisi menjadi PNS.


Pada titahnya guru adalah kunci pembuka gerbang perlawanan pembodohan, kelaliman, dan jurang perbudakan. Jika guru  bungkam, tidak berpolitik, maka murid juga buta politik. Aneh rasanya jika kita tak mendengar suara lantang guru yang kritis. Kalau begitu dalam hening kita patut bertanya, wacana siapakah ini? Rakyat ataukah penguasa?   

*Tulisan ini masuk di rubrik Mimbar Mahasiswa koran Solopos

Posted on Selasa, April 08, 2014 by Rianto

No comments

Senin, 07 April 2014



Tadi siang saat loper koran datang, ia membawa majalah tempo. Langsung saja aku buka lembar demi lembar  mengamini do’a menjadi manusia baca. Temanku tergoda dengan paragraf terakhir tulisan Goenawan Mohammad dalam capingnya yang berjudul Malin.  Ah, Goenawan Mohammad dalam tulisannya itu menggoda imajinasiku. Imajinasi untuk lupa dan mengingat.  Seperti puisi Chairi Anwar yang ia kutip untuk mengajak,

“Mari melupa”
           
  Barangkali aku ingin menjadi manusia yang super lupa. Lupa untuk mengingat ke masa depan. Nah, jadi lupa kan aku mau cerita ini buku. Kamu tahu, kita sering berbicara, mengobrol, bergurau di disudut-sudut Jakarta. Kamu sendiri sedari tadi pagi, siang, dan malam melangkahkan kaki di Jakarta? Apa kamu lupa, kamu adalah bagian dari Jakarta. Ayolah, aku ingin mendengar kisahmu.

Baiklah aku yang bakal bercerita lagi. Rosihan Anwar menjadi pendongeng Jakarta. Lewat bukunya Kisah-Kisah Jakarta Setelah Proklamasi  (1977) terbitan Pustaka Jaya menjadi sarapan kata yang menarik hari ini. Nah, ini buku mengantarkanku untuk  masuk di poros mahasiswa rabu lalu. Aku bersyukur tukang buku memberikan do’a melalui buku ini hingga aku membuat dan berbagi tulisan.

Rosihan Anwar bilang,

“Semoga dengan membaca kisah-kisah ini generasi muda dan generasi-generasi yang akan datang memperoleh kesan betapa pentingnya dan menentukan peranan kota Jakarta dalam revolusi kemerdekaan bangsa Indonesia”

Wah jakarta begitu penting di mata Rosihan Anwar. Berbagi kenang-kenangan berupa kata dan tulisan seperti ini membutku cemburu  kata-kata. Rosihan Anwar sebagai Wartawan mampu berkisah, mendongeng  Jakarta. Hebat, ia mengurai kisah-kisah Jakarta melalui pengalaman-pengalamannya sendiri dan beberapa laporan-laporan dari media massa kala itu.

Aku membayangkan gerak tubuh interaksi dari Rosihan Anwar yang bertemu orang-orang hebat macam Soekarno, Hatta, Amir Syarifuddin telah membentuk kisah nostalgianya itu. Kala itu ia bertemu dengan Amir Syarifuddin yang diangkat oleh Soekarno sebagai Menteri Penerangan. Ia baru bebas. Saat itu ia ditangkap oleh Jepang. Lalu Rosihan Anwar berkisah,

“Saya menyambut kedatangan Amir Syarifuddin di Stasiun Jatinegara. Petang harinya saya datang ke rumahnya di Jalan Merbabu. Saya mau menulis tentang dirinya. Ia masih lelah tampaknya. Badannya kurus, karena bertahun-tahun mendekam dalam penjara. Dia tidak banyak bercerita tentang pengalamannya”

Di mata Rosihan Anwar banyak kisah-kisah tentang Jakarta sekitar masa antara Agustus 1945 dan Januari 1946. Kisahnya bertemu dengan seniman-seniman Jakarta macam Cornel Simanjuntak, Kusbini, Ibu Sud, H.B.Jassin, Amir Hamzah juga membuatku iri.  Rosihan Anwar merasa terpincut si dunia kesusastraan. Dari situ mereka membentuk Sastrawan Angkatan Baru.Pada saat itu bercerita mengenai Chairil Anwar yang membacakan sajaknya.

 “biar peluru menembus kulitku…”

Dari Gang Kingkit, kisah-kisah Jakarta bergerak melaju dengan kisah-kisah seru.

“Ketika saya baru pindah ke gang kingkit”, menurutnya, “Pada suatu pagi kira-kira pukul 11 saya lihat pemuda-pemuda mengelompok di Rijswik.”

Ternyata ada dua orang Jepang berpakaian preman di kejar-kejar oleh pemuda. Dengan mengunakan bambu runcing pemuda itu berhasil menusuk pantat mereka.

“Kalau malam hari kami tidak keluar lagi dari Gang Kingkit. Kami duduk bersama-sama membicarakan berita-berita yang masing-masing kami peroleh di siang hari. Kami tahu pertempuran berlangsung di Senen, Tanah Abang, Manggarai, Jatinegara, Sawah  Besar. Kami juga meninjau juga perkembangan politik di dalam negeri”  

Di zaman siap-siap itu, Rosihan Anwar menjadi saksi sejarah yang mencatat Jakarta sebagai kota penting dalam pengamanan Proklamasi. Terkadang sebagai Wartawan ia pun menulis puisi sebagai ungkapan kejadian yang ia alami. Contohnya puisi berjudul Kini Abad Rakyat Jelata yang dimuat di harian Merdeka. Dengan jeritan zaman sekarang//Terhambur dari mulut dunia//bagai ledakan bertalu-talu//kuasa seputar alam samudera//Bergema jaya dalam kalbu//

Rosihan Anwar menjadi wartawan, penulis yang penting bagi kita. Kamu, kalau suatu saat nanti ke toko buku lagi, ngobrol dengan tukang buku, lalu tangan-tangan halusmu bertemu dengan buku-buku Rosihan Anwar lainnya, tolong kamu  kabari aku. SMS atau mention aku di twitter. Duh, aku ingin membaca buku-buku gubahannya yang lain.

Dari situ aku bakal kembali menuliskan dan berkisah ke kamu. Aku beruntung mendapat asupan gizi kata dari kisah-kisah hebat yang ditulisnya. Sehingga kita mejadi manusia Jakarta yang mengungkapkan kecintaan dengan kata-kata. Aku pun ingin memelukmu dengan kata dan kisah. Aku yakin, selalu ada do’a dalam buku disetiap kata-kata yang kita bagi dan bacakan.

Selamat malam sayang..



 






Posted on Senin, April 07, 2014 by Rianto

No comments

Sabtu, 05 April 2014



Sudah lama pengen cerita ini buku. Nah, kebetulan ini buku ketemu pas ke Blok M  lagi. Buku karikatur hebat gubahan G.M. Sudahrta: Oom Pasikom. Sabtu lalu, entah lupa tanggal berapa ketemu lagi ama Oom Pasikom di harian Kompas. Si Oom berlagak menyanyi dan juga meledek para pejabat yang ambil cuti. Aku kenal Oom Pasikom sejak bergelut di ruang 305 yang hebat langganan koran : Tempo, Kompas, ama Sindo. Nah, kalau liat esai atau kolom opini kompas pasti ada karikaturnya.

                Aku bersyukur punya mata begitu tertarik dengan karikatur. Barangkali juga kini aku berdoa ingin dijadikan orang yang gandrung memandang karikatur sebagai ilmu. Makanya, mataku kini begitu jelalatan kalau lliat buku beraroma kartun. Uh, dasar matakeranjangkartun.

Dalam buku karikatur Indonesia (1967-1986) G.M. Sudarta merangkum karikatur-karikaturnya menjadi perjalanan sejarah Indonesia berasal juga dari goresan karikatur. Aduh, aku begitu iri dengan G.M. Sudarta bisa bercerita mengenai sejarah Indonesia melalui kartun.

                Buku karikatur terbitan PT Gramedia ini pertama kali muncul 1980. Ini buku jadi lebih tua 10 tahun lebih dari usia aku sendiri. Nah, kiranya buku ini berisi kartun-kartun yang ada beberapa bahasa yang digunakan adalah bahasa Soewandi.

Daniel Dhakidae begitu asik menyambut ini buku. Menurut Daniel,

“Mungkin adalah unik bahwa karya perdana Yayasan Swadaya adalah terbitnya sebuah buku tentang kartun dan karikatur tentang suatu proses sejarah Indonesia dalam kurun waktu  lima belas tahun terakhir ini,”

TH. Sumartana memberikan kata pengantar yang begitu panjang mengenai perjalanan 13 tahun kartunis G.M. Sudarta mewarnai Indonesia. Sumartana merasa tergelitik dengan kartun-kartun gubahan GM Sudarta. Ia pun bilang,

“Nampak tokoh-tokoh kartun G.M. Sudarta mencari ruang yang lucu , aman dan kena dengan suasana yang semuanya semakin sukar di dapat”

Karikatur selalu muncul untuk menawarkan gagasan suasana. Aku begitu terbawa suasana pengandaian seorang karikaturis keluar dari situasi untuk melayangkan gagasan berupa suasana yang terjadi. Suasana kemanusiaan! Persis tidak ada kesukaran yang yang tak bisa ditampung  oleh kepalanya yang botak, begitu kata Sumartana.

Kamu pasti tahu karikatur itu bisa membawa imajinasi kita melayang. Karena itu saat kamu bobo nanti aku ingin sekali membacakan kisah-kisah dari karikatur G.M. Sudarta ini. Agar sebelum tidur kita bisa menertawakan kehidupan ini. Mesti masalah yang digubah adalah masalah serius. Ah, kalau ada karikatur kita hidup tak melulu serius. Kata dan Kartun menjelma tawa untuk kita. Kamu bisa tertawa sesukamu.

Tunggu dulu, kamu jangan cepat lelap. Aku ada buku lagi yang ada di tasku ini. Kalau ini kamu bisa bercerita kelak kepada anak-anakmu bahwa Oom Pasikom juga bagian dari pendongeng reformasi. Buku berjudul Reformasi (2000) ini berisi kumpulan karikatur G.M Sudahrta. Dari sini aku ditobatkan bahwa sejarah tak melulu dari teks-teks buku tebal. Kadang karikatur seperti ini menjadi puyer kata-kata yang tersembunyi dari goresan kartun-kartun lucu. Nah, kamu lihat deh di halaman  6  bisa menggambarkan politik kita hari ini. Semua ngaku sok reformis!

Wah, G.M Sudarta memberi penjelasan bagi kamu, sejak tumbangnya orde baru sampai lahirnya reformasi bisa dilihat dari kenakalan Oom Pasikom ini. Loh, kamu kok mau tidur. Baiklah, sebelum itu aku ingin mengecup keningmu sambil bercerita esoknya: semoga kita dilahirkan di negeri kartun, diajak berjalan-jalan, berimajinasi melalui kartun.

 Oom Pasikom sudah menunggu kita untuk merajut hari esok dengan kelucuan-kelucuan. Aku ingin kamu menjadi pihak yang bakal menceritakan kembali kisah-kisah itu. Dan aku berdo’a kamu selalu menjadi lugu dan tersenyum. Karena kita sadar kehidupan begitu hebat  memakan tawa kita.

 Selamat tidur sayang.


Posted on Sabtu, April 05, 2014 by Rianto

No comments

Suara tulus dari rakyat ditentukan oleh demokrasi lima menit yakni pencoblosan. Pinta rakyat pada saat itu hanya mengharap pemimpin yang selalu eling, selalu ingat pada nasibnya kelak. Rakyat rasanya sudah bosan dingatkan dengan gombalan berupa  janji-janji politik. Janji yang dimuat di koran, di baliho, di telivisi-telivisi. Seolah-olah para caleg bermain politik ingatan agar rakyat tak lupa mencoblos.

Di demokrasi lima menit ini rakyat bicara dalam hening sesungguhnya pemilu yang mereka ingat adalah demokrasi euforia. Sebuah perayaan riuh caleg mengundang rakyat untuk berkumpul, rembug ke lapangan. Tak lupa rakyat diingatkan memakai kaos bergambar partai. Lalu menjadi pandu tepuk tangan dan beribu kerongkongan teriak slogan-logan klise sambil diiringi suara biduan dangdut.

Kita lupa dengan sejarah politik berkesadaran mengapa kita mesti berkumpul. Rosihan Anwar dalam buku Kisah-Kisah Jakarta Setelah Proklamasi menggambarkan riuh beribu kerongkongan sadar hadir di lapangan Ikada (Monas) untuk menjaga keutuhan proklamasi.  Soekarno keluar ikut rembug dan berteriak, “Kami dari pemerintahan akan tetap menanggung jawab terhadap rakyat walaupun andaikata rakyat nanti akan merobek-robek dada kami.” 

Kini saat rakyat berkumpul di depan gedung DPR pemimpin dan wakil rakyat enggan keluar untuk menemui rakyat. Saat ada rakyat yang mau dipancung mereka menutup mata. Saat banyak anak-anak sekolah pergi untuk belajar mereka harus menyeberangi jembatan rusak lalu mereka yang dipilih oleh bapak dan ibunya tetap diam. Rakyat butuh dibangun kepercayaan melalui tindakan bukan melalui slogan-slogan klise. Kita hilang ingatan akan politik yang sehat.

Inilah yang dimaksud dengan Alfian (1986) sebagai pembangunan politik yang hidup. Demokrasi yang dimaknai dengan responsip terhadap berbagai aspirasi yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Bagi kita pembangunan politik kedepannya mesti diiringi dengan ingatan-ingatan akan aspirasi rakyat saat pemilu.

Sebab itu pemilu butuh tanggung jawab barangkali. Agar tak usai demokrasi lima menit ini kita mendoa’kan mereka agar eling di kursinya kelak. Kita mesti ingat wajah-wajah lucu dari para caleg ini. Agar kita tak terjebak dengan histeria pemilu. Yakni rasa ketidaksadaran mengapa dulu memilih dan memuja mereka. Lalu rakyat pun tak ingat dan bertanya-tanya mengapa mereka ditendang tidak boleh ikut partisipasi dalam pembangunan. Semoga tak seperti itu. 

  
Tulisan ini masuk di Poros Mahasiswa koran Sindo 4 April 2014

Posted on Sabtu, April 05, 2014 by Rianto

No comments