Sabtu, 28 Juni 2014


renoir-the-pont-neuf-paris

-tiada nyanyi seduka Jakarta- (Ajip Rosidi)
-tetapi Jakarta juga tempat para pengungsi dari desa-desa, seperti misalnya Wasil yang menghabiskan hidupnya tanpa harapan  (Wasil); tempat perempuan malam paling-paling masih berharap  dapat “Cari Muatan” sebelum sungguh-sungguh kami punah/muka perong gigi ompong tubuh Reot-. (Tanggapan dari A Teuuw)

            Jakarta tak lebih sebuah orkestra duka.Dalam kota manusia kehilangaan semuanya, bahkan dirinya sendiri, begitu  kembali Teeuw berkomentar mengenai puisi-puisi tentang Jakarta gubahan Ajip Rosidi. Bermula dari kata, kita bergerak dari puisi menjelajahi imajinasi ruang Jakarta yang begitu bopeng, berduka. Melihat dengan kacamataku dengan kacamatamu.

            Saat siang, Jakarta menjelma ruang yang begitu ramai akan berbagai aktivitas manusia kota. Berkendara menuju kemacetan, berjubal-jubalan di kereta, beratus-ratus orang mengantri bus di terminal. Persis nyanyi  puisi  Lagu Jakarta gubahan Ajip yang berkata, “tiada nyanyi seduka Jakarta” tergores di sini.  Namun  nyanyi duka Jakarta seakan sunyi senyap, tertidur dengan sisa-sisa aktivitas pemandangan Jakarta saat malam yang tak henti dikumandangkan  ritus do’a dalam kota: konsumsi.

            Mari kita melintas di Jalan Raya Bogor menuju ke arah Cililitan lewat tengah malam. Dari jalan itu kota Jakarta punya wajah tersendiri. Malam sunyi Jakarta yang ditemani dencit suara oseng-oseng pengorengan tukang nasi goreng menjadi denyut nadi kota tak menyerah pada malam. Begitupula gerobak-gerobak kebab atau pun martabak dengan lampu-lampu neon putihnya menantang siluet terang bulan jalan sebuah trotoar Jakarta. Melewati  Mal Cijantung  deretan-deretan tenda putih bergambar udang, ikan, cumi, terpampang menawarkan lapar perut kita akan citra rasa laut.

Bau osengan bumbu nasi goreng di trotoar-trotoar, bau amis dari tenda makan yang menawarkan aneka makanan laut, kembali di jalan itu  hidung kita ditawari lagi oleh bau duren di sebuah warung pinggir trotoar  menambah malam Jakarta tak mati. Orang-orang tetap memakirkan motornya di trotoar, berhenti sejenak mengendus bau duren, menawar, lalu  duduk bersila membelah duren malam-malam bersama teman, istri, maupun kerabatnya. Atau di bawa pulang. Jakarta terus menawarkan ruang konsumsi.

Keajaiban Pasar Tumpah
Lalu laju sepeda motorku beradu pelan dengan mobil losbak bernomor  B 1926 Tag keluar dari Pasar Induk Keramat Jati. Diikuti mobil-mobil losbak lainnya mirip pelari estafet.  Membawa macam-macam sayur mayur yang tentu tidak ditanam di tanah-tanah  beton Jakarta.

Oh gila, di pingir-pinggir jalan menuju PGC orang-orang tumpah melawan kantuk. Melawan sunyi malam Jakarta dengan membereskan dagangan mereka berupa kangkung, wortel, kubis, cabe, serta bau bawang yang menyengat hidung di trotoar jalan yang di pagi hari justru tumpah oleh kendaraan-kendaraan bermotor.  

Dari kaca spion motor, aku melihat seorang laki-laki akrobatik membawa berkarung-karung sayur mayur macam cabe, wortel, kubis di motor kecilnya yang badannya hampir ditutupi oleh karung itu. Laju motornya yang pelan membuat ia masih sanggup membawa itu karung. Semacam akrobatik yang jarang ditampilkan oleh pesulap kita di televisi.

Di sinilah ingatanku tertuju pada Avianti Armand yang pernah menulis penuh renungan, kehidupan pasar tumpah Jakarta yang begitu hidup karena dimeriahkan oleh mereka yang bergembira di pasar tumpah. Pasar yang berisi limpahan kekayaan alam desa berupa cabe, wortel, kubis itu. Melalui kaca jendela taksi ia pun menggambarkan dengan,

..Di sini terasa sekali bagaimana yang lemah mengatasi problem keterbatasan ruang dalam kota dan melawan sektor modern yang dikuasai modal besar dan tata kota.. (hal 36)

“Orang-orang ini,” kata Avianti Armand,  “punya moda bertahan sendiri yang bisa dinilai anarkis. Mereka bergerak seperti air, mengisi setiap celah dan ruang-ruang kosong yang mungkin, bahkan yang kita pikir tidak mungkin”

Pasar tumpahlah yang menyebabkan Jakarta mirip kampung dalam kota. Jakarta mirip kampung yang sedang merayakan panen di malam hari. Namun Jakarta selalu panen raya di malam hari di trotoar-trotoarnya, memanfaatkan bahu jalan yang lenggang dan sepi. Tak tergantung pada musim.

Jakarta merupakan kampung yang kaya akan limpahan sayur-mayur, cabai, wortel, kubis  karena ada tangan-tangan peduli petani desa yang sudi menanam dengan hati. Begitupula ikan-ikan segar yang diperdagangkan di malam-malam Jakarta di trotoar-trotoar. Tak terburu-buru, menjadi do’a dan ritus pedagang ikan di pisau-pisau yang tajam membelah isi perut tongkol. Dibelah-belah menjadi bagian kecil. Yang esoknya mungkin menghiasi di piring-piring warteg, rumah makan padang  untuk manusia kota.

 Jakarta seharusnya menjadi ruang kontemplasi. Jakarta pun berisi manusia kota yang selalu berikrar pada kata ‘cepat’. Goenawan Mohamad sampai menghantam logika ‘cepat’ itu dalam tulisannya di catatan pinggir “pelan”, di mana manusia kota mungkin tidak mempunyai macam tradisi ritus mendengar dencit suara kodok dan kicau burung yang cerewet. Tak ada yang disisakan yang menjadikan Jakarta sebagai tempat merenung dan kontemplasi. Hingga munculah bermacam-macam restoran atau rumah makan yang menjamur menawarkan konsep  desa dan kampung. Jakarta pun tampil dalam arsitekturnya yang kitch. Yakni arsitektur yang merupa logika palsu rasa kangen kita akan desa, akan kampung. Namun tetap lucu, arsitektur kota kita terus menawarkan ruang-ruang desa itu dalam balutan modernitas macam Mal.

Arsitektur Empatis

Jakarta menjadi arsitektur yang diibaratkan ruang tanpa ibadah karena menjadi tempat ribuan makian lepas. Klakson-klakson.  Tidak ada do’a pelan untuk menghayati kehidupan Jakarta. Padahal ada ruang yang mesti kita rayakan, yakni  pasar tumpah yang  dihidupi oleh do’a petani kampung dan desa dalam sebuah limpahan sayur mayur, buah-buahan, serta ikan laut dari nelayan-nelayan. Di pasar tumpah, ada do’a dari ibu-ibu yang sudi keluar malam ataupun subuh untuk membeli bahan-bahan makanan untuk orang-orang di rumahnya.

 Di trotoar-trotoar dan di jalan-jalan malamlah atau di sebuah rel kereta panjang tak  berpalang pintu karena  saat malam kereta jarang lewat kita bisa berkontemplasi. Menyadari diri sebagai makhluk kampung kota. Tanpa perlu memencet klakson, melihat dan menghayati Jakarta yang sunyi dengan kehidupan malam para migran yang terlupakan seperti tukang nasi goreng, kebab, martabak, ataupun warung-warung pinggir jalan telah mengenyangkan ribuan perut monster manusia kota yang terkoyak lapar.

Tiduran (1956)  oleh Surono
Lalu pasar-pasar tumpah yang menghidupi Jakarta berupa kekayaan alam kampung, desa,  memasuki jantung-jantung kota tak disadari telah menghidupi Jakarta di pagi sampai sore dengan konsumsi yang barangkali tidak terpikirkan oleh kita menjadi renungan arsitektur kota.  Mereka menempati celah-celah ruang yang lenggang di trotoar, di gang-gang, dan bahu jalan.

Barangkali sayur-mayur itu menjadi komoditi buat ratusan gerobak-gerobak mie ayam yang mangkal  menghiasi  di sudut-sudut kota Jakarta. Gerobak yang mencoba berdiri gagah-gagahan melawan Mal yang berdiri disampingnya.  Ratusan mangkuk yang menyediakan mie dengan potongan-potongan daging ayam dan sayur mayur yang dibeli oleh pedagang mie ayam di pasar tumpah. Mirip air mereka mengisi celah-celah ruang kosong untuk berdagang. Bahkan di kolong jembatan sekalipun.

Di sinilah kita begitu terharu. pemanfaatan ruang yang begitu sesak Jakarta menjadi area yang begitu menghidupkan banyak perut orang-orang kota. Inikah yang dimaksud dengan perlunya arsitektur empatis.  Adi Purnomo seorang ‘Nabi Arsitektur’ yang dilupakan, nyaris namanya sunyi dihiruk pikuk arsitektur negerinya sendiri, pernah menulis tentang arsitektur empatis ini di bukunya “Relativitas” (2005).

“Pendekatan arsitektur empatis,” kata Adi purnomo, “tidak hanya berfokus pada isu perbedaan kelas yang berpeluang membentuk kecemburuan sosial saja.

Di sinilah pemanpaatan trotoar, kolong jembatan, bahu  jalan yang menjadi nafas empatis detak jantung Jakarta.  Para pedagang-pedagang yang mengandalkan gerobak di sudut trotoar dan gang Jakarta macam nasi goreng, mie ayam, martabak, sampai tukang sayur di pasar tumpah menyisakan imajinasi arsitektur empatis sebagai arsitektur kota yang dihidupi dari berbagai macam kelas-kelas sosial.

Di sinilah lagi kata Adi Purnomo, arsitektur diharapkan menyehatkan diri sendiri dan lingkungan serta menghindarkan ‘stroke’ komplikasi sosial. Semoga tinggal di Jakarta menyisakan sebuah catatan kaki renungan akan arsitektur kota. Untuk menjadikan kota sebagai kampung kita. Membawa adem. Membawa sejuk. Semoga saja.



Rujukan Esai,
Adi Purnomo, Relativitas: arsitek di ruang angan dan kenyataan (2005) Borneo Publications
Ajip Rosidi, Terkenang Topeng Cirebon (1993) Pustaka Jaya.
Avianti Armand, Arsitektur Yang Lain: Sebuah Kritik Arsitektur (2011) Gramedia

Goenawan Mohammad, Catatan Pinggir Majalah Tempo (2013)

Posted on Sabtu, Juni 28, 2014 by Rianto

No comments

Minggu, 22 Juni 2014

              Saat itu pelangi ada di atas  kota ini.  Pelangi begitu malu-malu muncul, hadir diam-diam di langit Jakarta sore itu. Jakarta tampil asik dengan menghadirkan pelangi di mata dan imajinasiku. Suara knalpot mesin-mesin dan mangkuk-mangkuk tukang bakso malang dengan kuahnya yang menguap-nguap menemani Jakarta yang kurang mesra sehabis hujan. Aku memperhatikan dari lantai tiga suasana itu. Kamu tahu, aku jadi teringat buku Fuad Hassan Pentas Kota Raya (1995) terbitan Pustaka Jaya.  Jakarta tampil heboh dengan esai-esai menariknya di buku itu.

            Jakarta ingin aku nikmati melalui esai-esai. Jakarta mungkin saja tampil dengan gagah  melalui tampang kota yang menjulang tinggi bangunan-bangunanya. Disitu tampil pula kesejukan mata hati kita melihat Jakarta dari sisi humaniora. Fuad Hassan menampilkan Jakarta kita menjadi kota yang begitu asik ditelusuri orang-orangnya, kebuadayan, dan juga imajinasi tentang ide-ide.

            Dalam prakata, Fuad Hassan menulis, “buku ini tidak memuat hal-ihwal yang luar biasa, sebaliknya, isinya diangkat dari pengalaman dan kenyataan yang biasa belaka; untuk menemukannya tidak diperlukan kejelian, cukup sekedar kepedulian”. Hidup di kota kita tak pernah jeli. Sepatu, baju, payung, rompi, hal-hal yang melekat pada diri kita tak membuat kita tambah jeli dalam pikiran liar konsumerisme. Astaga, dalam hidup di kota betul apa yang dikatakan Fuad Hassan kita mesti  menumbuhkan kepedulian.

            Barangkali kamu sendiri pernah memperhatikan kota ini penuh pedagang-pedagang dengan mata hati penuh peduli tampil menghias Jakarta. Barangkali kita pun pernah berlama-lama di sebuah warung sekedar membeli mie ayam, bakso dan  menyeruput es kelapa ataupun  teh botol sosro. Fuad Hassan dalam salah satu esainya yang berjudul Pertemuan  Menjelang Asar  dengan haru aku membaca pertemuan antara tukang sol dan pedagang es.  Dalam pekikan lagu lama “sol..patuu….sol patu….”  Yang akan punah ditelan kota. Fuad Hassan menulis,

            “Terik matahari siang itu luar biasa; topi anyaman pandan hanya cukup melindungi kepalanya; sandal jepit tua alas kakinya. Keseluruhan penampilannya mengesankan keletihan; entah berapa jauh jalan yang telah ditempuhnya hari ini. Ia berjalan dengan kepala menunduk, seperti segan memandnag ke depan. Suaranya semakin menjauh meski tetap nyaring; sol patuu…sol patu…”

            Alamak, kamu tahu aku sering mencari tulisan-tulisan asik yang menulis tentang Jakarta. Aku ingin mengenal kotamu itu dalam literasi. Aku mungkin tak kece mengenal Jakarta hanya lewat kata-kata. Bukankah kamu tahu, kita juga pernah menikmati Jakarta melalui buku begitu mempesonakan kita  sebagai makhluk berbuku. Tak salah kalau buku ini akan menemani tidurmu. Agar kelak kamu bernimpi tentang Jakarta yang begitu anggun akan orang-orangnya.

            
Kita bisa menikmati kota dengan berlagak metropolis. Fuad Hassan dalam salah satu esainya menulis:
            ….bagi mereka yang hanya ingin kencan dengan mitranya, atau sekedar mengobrol sambil buang waktu tersedia coffe shop, disini orang bisa menikmati kopi espresso dan setangkup hamburger sama halnya di warteg orang bisa menikmati secangkir kopi  tubruk dan sepotong pisang goreng (tentu dengan harga yang berbeda)…

            Sayang aku tak pernah mengajak kamu ditempat yang metropolis itu.  mengundangmu berlagak menjadi manusia kota nan mewah. Sayang aku begitu naif hanya pernah mengajak kamu menikmati senja kota tak berpelangi ditengah hujan-hujan dan malam kembali lagi dengan desir suara knalpot yang barangkali mengganggumu di kala pulang.  Aku sungguh minta maaf. Aku menjadi manusia yang super picisan mengganggumu lewat dongeng murahan yang aku ceritakan kembali dalam tulisan-tulisan ini. Aku hanya berharap saat kamu tidur nanti, kamu mengingat aku sebagai tukang cerita, bukan penipu yang berubah menjadi pesulap menawarimu dengan kisah kemewah-mewahan ala Alice in Wonderland.  Sungguh murahan!

            Selamat tidur sayang…..



           

            

Posted on Minggu, Juni 22, 2014 by Rianto

No comments

Minggu, 15 Juni 2014

Televisi mengumbar terus aroma politik. Televisi masih menjadi media ampuh iklan politik untuk berkomunikasi, menyampaikan, dan mempengaruhi rakyat untuk memilih. Ibarat konsumen, kita coba ditarik oleh iklan politik demi kekuasaan. Kekuasaan mengundang tokoh dan tema hadir di televisi.

Neil Postman  (1985) dalam  bukunya yang terkenal “Menghibur Diri Sampai Mati” terdapat resep manjur untuk mengerti televisi sebagai medium politik dan kekuasaan. Neil Postman mengingatkan kita sebagai konsumen  mesti mewaspadai media televisi. Televisi adalah medium metafor kekuasaam. Dari televisi kita  melihat, mendengar, dan memperhatikan calon pemimpin kita kedepan dalam mencipta drama politik.

Di televisilah kita melihat kepemimpinan, keteguhan terbalut juga harapan dan  kesedihan  memaknai bangsa dalam debat-debat politik yang disiarkan hampir saban hari. Televisi terus bergerak dengan kemampuannya yang cepat menyaingi media cetak seperti koran dan majalah. Televisi masih menjadi media nomor satu yang dipercaya dalam kampanye menarik massa. Aneh  rasamya calon pemimpin kita tidak tampil dalam layar televisi.

Kita pun duduk, termenung, menghayati  kampanye politik dalam debat-debat politik. Mereka mengkampanyekan produk politik dalam  label visi-misi masing-masing. Ada debat yang lucu, menggairahkan pikiran. Ada juga debat kusir yang mengerenyitkan dahi kita. Di dalam televisi, politik masih dianggap sebagai kemampuan retorika. Kita pun mengerti politik masih tampil dalam gaya Yunani Antik nan elegan dalam debat-debat hebat. Kini televisi menampilkan secara prime time dan tanpa ampun menggoda kita untuk duduk lama-lama di depan televisi.

Yb Mangunwijaya (1996)  berkotbah : “Dunia modern dan pasca modern , sains, dan teknologi serta segala yang diminta, dan tidak boleh  dilupakan mukadimah UUD 1945 serta GBHN tentang  manusia Indonesia seutuhnya, justru meminta orang-orang yang kritis, eksploratif dan kreatif”. Disinilah kunci memahami televisi sebagai produk modern menjadi medium  melek politik yang  mampu merintis republik yang manusiawi. Bukan menjadikan televisi sebagai dagelan politik yang mengumbar nafsu kekuasaan dalam debat-debat.


 Kita terharu dengan lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan dalam televisi di kala subuh. Di pagi hari sampai malam kita pun berduka menjadi makhluk politik yang digiring dalam iklan politik televisi. Kita masih belum mampu menjadikan televisi sebagai predator  imajinasi politik yang manusiawi. Menjadikan televisi sebagai medium imajinasi politik yang mengindonesiakan.  Kampanye cerdas belum tampil minimax dalam televisi. Mesti begitu kampanye cerdas masih membutuhkan televisi.

* Tulisan ini pernah masuk di rubrik poros mahasiswa koran sindo (tanpa edit)

Posted on Minggu, Juni 15, 2014 by Rianto

No comments