Sabtu, 30 Agustus 2014

Indonesia begitu seksi untuk dicatat dan diterjemahkan kebudayaanya. Kolonialisme menghasilkan Snouck Hurgronje  yang rajin mencatat dan menjadikan kebudayan kita dipelajari, dituliskan, dan tentunya dilaporkan ke pangkuan Ratu Belanda. Di sana ada semacam dugaan, sejarah, pernikahan, mitos, islam, sampai urusan seks menjadi agenda penting untuk dicatat dan diketahui. 

             Sampai urusan humor yang mengundang tawa dalam imajinasi masyarakat kita yang hindia itu, Snocuk catat dan laporkan.

            Dari catatan-catatan remeh temeh Snouck itu menjadi inspirasi seorang Lina Maria Coster-Wisjwan membuat disertasi tentang sejarah lucu kita. Urusan humor menjadi pemantik studi kebudayaan kita yang lagi-lagi barangkali lupa untuk disentuh.

             Pustaka Jaya menerbitkan buku “Si Kabayan”ini di tahun 2008.  Buku ini merupakan penelitian Lina Maria Coster. Jauh dari pertanggungjawaban sidang penelitian yang dilakukan oleh Maria  pada tahun 1929. Koesalah  Soebago Toer-lah yang berjasa menerjemahkan karya ini. Pun demikian penerjemahan ini mengundang kesulitan dan beberapa istilah folklor macam Uilespigel, Kamperui dan Unibos tanpa penjelasan lebih lanjut.

            Di buku inilah kita bisa melihat unsur lucu erotis dalam masyarakat kita yang hindia tercatat. Snouck menyamakan kisah lucu si Kabayan memiliki persamaan dengan kisah lucu di eropa. Snouck secara khusus menulis dalam bukunya The Atjhers, mengatakan

“Yang tidak kurang populer dari orang cebol yang cerdik, dalam cerita rakyat Indoensia adalah orang yang dilihat sepintas lalu saja memiliki ciri-ciri persamaan yang tak diragukan dengan cerita ;lucu eropa, juga dengan Joha Arab-Turki dari Chodja Nasreddin; mengherankan bahwa sejauh saya ketahui belum ada seorang pun yang mencurahkan perhatian pada tipe yang mencolok ini” 

            Lina Maria Coster-Wijsman menghimpun 70 dongeng yang dihimpun dan disejajarkan dengan kisah lucu  lainnya. Dongeng si Kabayan konon yang berkembang secara lisan pun tercatat di jurnal-jurnal.

            Unsur lucu erotis inilah yang tercatat terkadang menjadi kelakar rakyat yang kasar dalam pandangan eropa. Walaupun erotis dan kasar, Maria mengagap kisah lucu si Kabayan menjadi cerita Sunda yang kaya. Maria mengatakan, 

“Saya merasa, alangkah baiknya kalau hal-hal yang belum dikenal ini dapat dijangkau  oleh umum untuk dibaca, baik demi penelitian perbandingan dongeng, maupun demi pengetahuan  mengenai humor rakyat Sunda.” 

            Lalu mengapa Si Kabayan?  Lina Maria Coster-Wijsman mengangap  bahwa tidak ada ditempat lain di kepulauan ini di mana terdapat cerita-cerita lucu yang sekaya pada orang Sunda. Si Kabayan pantas menjadi titik tolak untuk  meninjau  literatur lucu Indoensia.

            Dari penelusuran Lina Maria Coster-Wijsman kita dapat melihat unsur erotis lucu  Si Kabayan terbalut dalam kisah-kisahnya yang sering tampil dalam wajah dukun, maling, suami, menantu, maupun tetangga usil. Unsur lucu erotis dari dongeng si Kabayan menjadi dugaan kuat bahwa bicara seks dalam tradisi lisan terjalin secara lucu dan kelakar. Seks menjadi ringan dan humoris. 

            Aku tutup tulisan ini dengan mari kita simak bersama dongeng ini,



Kabayan baru kawin , dan karena belum tahu, ia pergi ke halaman untuk berteriak , di mana letak vagina. Istrinya Bilang: di sana, di rumah.  Kabayan pun masuk rumah . Dija pikir yang dimaksud istrinya adalah tabung trasi. 

Hidup memang penuh  anekdot!
               


Posted on Sabtu, Agustus 30, 2014 by Rianto

No comments

Kamis, 28 Agustus 2014

            Boboko adalah kerajinan anyaman baru digarap oleh mayoritas penduduk desa Trajaya Majalengka. Ketelitian menganyam, kesabaran dan tetes keringat para pengrajinnya kadang “tidak memadai “ hasil dagangannya untuk sekolah masa depan anak-anak mereka.

Trajaya tidak hanya membuahkan kerajinan anyaman bambu penduduknya dimata “peneliti-peneliti muda LKM UNJ” tetapi sudut mata peduli mereka sebagai generasi muda pendidik-pendidik menorehkan tulisan-tulisan renung mendalam mengenai putus sekolah anak-anak Trajaya, mengenai SMA sebagai kemewahan karena biaya sekolah tinggi dan karena dana bantuan pendidikan BOS hanya sampai SMP. 

Tidak hanya itu “Hidup bersama” (live in) para anggota LKM UNJ ini melalui narasi hati peduli tulisan-tulisan mereka ini telah memenuhi kelangkaan narasi inspiratif pendidikan, merenungi “kemiskinan kultural dan struktural” terutama soal  waris mewarisi seni merajin boboko ke yang muda yang disedot keasikan SMS dan motor lalu lalang hingga ruh seni merajut kerajinan rakyat Trajaya ini berlangsung untuk menghidupi nafkah mereka.

Cara berkisah dari Rianto, yang menyorot bagaiman pendidikan kesadaran untuk menulis merupakan sekolah menamai kenyataan dalam aksara menjadi kunci konsienstisasi gambar manusia indonesia macam apa kedepan ini yang mau dirajut dengan pendidikan ?

Cara berkisah Restu yang menghayati dengan mata hati proses menganyam boboko tidak mungkin tertuang bila ia sendiri tidak masuk ke hati orang-orang  Trajaya.  Demikian pula Agus Puromo punya kisah perjuangan diatas aspal dan tanah berbatu demi cinta dan tanggung jawab untuk anak istri dari pekerja angkot. 

Suryaningtyas menampilkan “ruang publik’ alun-alun rakyat Trajaya untuk aktivitas  ekonomia denyut nafas hidup masyarakat dengan potret  lengkap anak-anaknya, birokrasi, punggawa dan orang-orang kebanyakan yang memuliakan hidup dalam berkah-Nya yang disyukuri seperti mengingatkan novel Pramoedya Ananta Toer “Bukan Pasar Malam” namun ini pasar malam benar-benar di Trajaya: pasar malam penjualan boboko.

Pengrajin Tua yang menunggu sepi anyaman di senja tulisan Muhammad Khambali, membuat pembaca mau tidak mau berhenti sejenak untuk bertanya bagaimana pemasaran anyaman-anyaman boboko ini? Dimana janji-janji pemberdayaan kredit-kredit dan UKM dari pemerintah selama ini?

Dari Trajaya, tersurat nyata bahwa hasil penjualan boboko yang jauh-jauh dibawa untuk dijajakan di pasar malam, adalah pertama-tama tanda cinta si Ayah untuk biaya hidup dan pendidikan anak. Tengoklah tulisan Nada Muthia lebih-lebih baca yang tersirat pesan-pesan dibalik yang tersurat.

Sang kakek pembelah bambu sebagai bahan pokok boboko, ditulis penuh haru dan detail betapa bambu itu “segalanya” untuk nafkah perajin boboko oleh Rusmiati.  Kisah hidup  bambu, dengan wajah anyaman boboko raksasa untuk promosi pameran disunting sepenuh hati  oleh Indah Miranti. Namun ada boboko polos dan boboko “hitam”, atau “belang” yang butuh proses “ngewengku, nyokoan, ngiket” tampil unik oleh tangan penulis Tri Pria karena yang “hitam” bermuatan tradisi cipta boboko hitam di blok khusus Trajaya, yaitu blok sabtu yang  diwariskan perintisnya Tayobi.

Ketika Narasi saat ini mengenai keuletan, kerja keras seni pengrajin dalam bentuk tulisan dengan susastra hidup yang dihayati dengan hati semakin berkurang dari sudut pandang prosesnya dan tidak hanya komersialisasi jualan hasil-hasil kerajinan tangan, maka para pendidik muda ini tulisan-tulisan  memberi nafas baru bagaimana LKM sebagai laboratorium organik yang menghubungkan antara kerja, pendidikan, dan “transformasi” masyarakat dengan dahsyat mampu mencipta tradisi narasi edukatif, transformatif karena mereka berperjalanan dan masuk hidup ke jantung denyut nadi masyarakat Trajaya dengan bobokonya.

Tulisan-tulisan inspiratif  dengan contoh-contoh nyata tokoh-tokoh petani sekaligus pengrajin dan masyarakat kerja keras ini menjadi contoh nyata oase pencarian makna hidup adalah proses kerja untuk masa depan anak-anak melalui pendidikannnya. Kendala-kendala disitulah yang menjawab mengapa sekolah harus “menyatu” dan berdialog terus dengan “live in” masyarakat dan bukan belajar teks-teks buku tetapi belajar “teks-teks” dari kehidupan masyarakat itu sendiri. 

Bravo dan selamat untuk LKM UNJ semoga laboratorium organik pendidikan ini menjadi alternatif tradisi mendidik dan menyadarkan melalui kisah-kisah hidup nyata para pekerja keras dan seni yang sabar dari Trajaya.

Selamat membaca buku berharga ini!

Salam,
Mudji Sutrisno Sj
Budayawan

*Tulisan ini diambil dari kata pengantar buku "Menali Kehidupan Meraut Kesabaran" terbitan Pustaka Kaji (2014). Kumpulan tulisan jurnalisme bertutur karya mahaiswa yang tergabung dalam Lembaga Kajian Mahasiswa UNJ

Posted on Kamis, Agustus 28, 2014 by Rianto

No comments

SUDAH HAMPIR 150 TAHUN LALU NUSANTARA kedatangan seorang kakek. Kakek itu bukanlah orang kaya. Ia lahir pada 1823 di Usk. Monmouthshire, Inggris. Di usianya yang sudah tak muda ia melakukan perjalanan panjang. 

Sembilan tahun ia menghabiskan waktu di Nusantara. Berbekal sederhana, juga tidak perlu iring-iringan besar saat melakukan perjalanan seperti Raffles.

Kakinya pernah menapak di Borneo. Kala itu, lusinan Mias (orang hutan) banyak ia buru, begitu pula burung-burung dan tumbuhan banyak  dikoleksi.

Tetangganya sering memanggilnya untuk menembak Mias. Mias buruannya itu merusak kebun-kebun. Setelah mendapatkannya, ia akan mengulitinya. Dan dikirimnya ke Museum Inggris koleksinya itu. 

Ia terkejut saat pemuda Dayak memanjat pohon untuk mengangkat bangkai mias yang tersangkut di pohon-pohon besar. Mias itu tewas di pelurunya. Saat tertembak, “Dooorrr!” Mias itu kabur menaiki pohon-pohon besar. 
kisah yang dirangkum dalam jurnalisme bertutur

Lekas Kakek itu meminta bantuan.

 “Bagaimana mungkin, pemuda itu mampu memanjat pohon hanya dengan batang-batang bambu, dan seutas tali dari kulit pohon untuk mengambil bangkai Mias,” kenangnya di salah satu surat panjangnya.

Kakek itu pun pernah menapakan kakinya di pulau Jawa, melalui pelabuhan di Soerabaya. Turun dari kapal, ia tak sabar melanjutkan perjalanannya untuk melintasi kota, desa, pedalaman, serta hutan-hutan. 

Naik kereta dilanjut dengan dokar, ia mengeluh, “perjalanan di Jawa sangat mahal,” ungkapnya.

 Menuju Modjokerto bertemu Mr Ball sahabatnya. Disana, hari-harinya  dihabiskan melihat pengantin sunat, berjalan-jalan melihat candi, dan berburu burung. Kakek itu pun menulis tentang keindahan arsitektur sisa-sisa keruntuhan Majapahit.

Pernah sepulangnya melintas hutan-hutan, saat kembali ke rumah. Baru turun dari dokarnya, Mr Ball mengabarkan ada anak-laki-laki tewas diterkam harimau. Kakek itu sangat menyesal saat tak mendapatkan tengkorak harimau yang mati itu, terkepung, mati di puluhan tombak penduduk. “Tidak utuh lagi, giginya pun diambil, dipakai untuk jimat,”  kembali ia mengenang di surat-suratnya. 

Kakek itu adalah Alfred Russel Wallace. Catatan perjalanannya menjadi kajian penting tentang Nusantara. Perlu tujuh tahun untuk merangkum catatan apik itu. “The Malay Archipilago” (Komunitas Bambu telah menerjemahkannya) adalah salah satu masterpiecenya. Kakek itu menulis apa saja, menebang pohon, berburu kupu-kupu, mengobrol mengenai lumut di Bogor dan Gunung Gede sangat bagus?

Tony Whitten menggambarkan, surat panjangnya itu seperti ditulis untuk kawan seminat, yang akan tergugah tidak hanya pada hewan dan tumbuhan juga pada kisah-kisah perjalanan di daratan, sungai, dan laut, seperti percakapan-percakapan yang terjadi antara Wallace dengan penduduk kampung  atau para raja, putra-putri bangsawan, dan sultan. Obrolan yang terjadi dengan Orang lain itu menambah asyik tulisannya.

Rumusnya memang sangat sederhana, rasa ingin tahu tentang dunia telah mewabah di Eropa kala itu. Adalah sebuah anugerah bagi pelaut, naturalis, pejalan kaki, travelers, bagi siapa saja yang hendak berkontemplasi untuk menemukan kehidupan lain dan menuliskan kisahnya. Bagaimana mereka-mereka mampu mengurai rasa tahu itu?

            Kita harus melakukan perjalanan,” tulis Heredotus jauh sebelum itu. Lebih asiknya kita harus ketempat Orang lain, dan memperlihatkan hasrat untuk bertemu dengan Orang lain. 

Adanya sebuah perjalanan menuntut seorang untuk mencatat, merekam apa saja. Ini bukanlah sebuah kisah perjalanan biasa, Kapuscinki seorang penulis, wartawan, menyebutnya seperti perjalanan seorang “wartawan”. Ia menulisnya,

“Ketika kita melakukan perjalanan, kita bisa merasakan bahwa sesuatu penting tengah terjadi, bahwa kita turut ambil bagian  dalam sesuatu yang penting terjadi, bahwa kita turut ambil bagian dalam sesuatu sebagai saksi mata sekaligus pelaku.”

Perjalanan itu ‘Menguji Nurani’, Kapuscinski menyebutnya. Melakukan perjalanan memungkinkan bertemu dengan Orang Lain, mengobrol, mendengar ceritanya. Kata hati mereka benar-benar menguji nurani.

Restu salah satu penulis buku  sedang belajar menganyam
Sebuah tantangan, melakukan perjalanan-perjalanan di negeri sendiri  pun dapat menguji nurani. Itulah yang menjadi kekuatan mimesis kami untuk melakukan sebuah perjalanan, mencatat kebudayaan Orang lain. Semangat untuk melakukan perjalanan, mencatat, dan bertemu Orang lain, berkisah melalui tulisan.
 
Lalu siapa Orang lain ini? Ya kami merekam kisah-kisah orang biasa, mencoba  menceritakan budayanya, kehidupannya, merajutnya dalam sebuah tulisan adalah hal yang menantang untuk kami coba.

Sebisa mungkin kami menulis perjalanan ini dengan sebuah gaya feature, kisah bertutur. Kerja kami memang mirip kerja seorang wartawan. Kami saling mengisi dan saling berbagi pengetahuan, “tidak ada guru disini” berbekal setumpuk tulisan-tulisan jurnalisme sastrawi yang meski kami baca. Berdiskusi mengenai metode pengamatan, sampai membut riset-riset kecil-kecilan, membuat kami juga seperti mengkopi kerja ilmuwan sosial. Membuat kami menyebutnya sebagai wartawan-wartawanan cum ilmuwan. Pun kami percaya menulis adalah sebuah kerja yang ditunjukan oleh wartawan maupun ilmuwan. 

Oleh karena itu kerja kami, hanya kerja sebagai traveler biasa yang pada dasarnya hanya ingin mengobrol dengan isi nurani yang kami temui dan bermesraan dengan pengetahuan dan kebudayaannya lalu berbagi cerita dengan menuliskan kisahnya. 

Tidak memakai analisis sosial dan metode penelitian yang rumit. Cukup berbekal mengobrol, mencatat, merekam percakapan berupa kegelisahan, kegembiraan Orang lain yang kami temui tersebut. Kami hanya berbekal angle tulisan yang dirumuskan saat diskusi di kampus sebelum pemberangkatan.

Bahkan kami ribut sampai memutar otak, beradu ide saat diskusi membahas angle tulisan menjadi hal yang lucu. Sebab bisa saja angle berbelok, tetapi tidak membuat kami pusing kepalang. Atau pun lontaran ide tulisan kami yang diyakini saat diskusi kecil-kecilan sebelum melakukan perjalanan, menjadi hal yang lebih menantang dan menyenangkan saat dijalani. 

Kami juga  tidak dikejar deadline yang ketat. Ini sebuah tantangan saat kegiatan menulis dipandang sebagai saling berbagi pengalaman. Menulis untuk siap tidak dibayar!

Kami tidak akan menyangka akan berdesak-desakan, di bus Widia jurusan Cikarang-Majalengka untuk sampai ke sana. Kami tidak akan menyangka kami harus bangun sebelum ayam, atau kami memang harus tidur ayam untuk dapat melihat pasar subuh boboko di alun-alaun Trajaya. 

Menarik, ada yang menceritakan kisah uniknya dengan terpingkal-pingkal saat seharian hanya sekedar mengejar angkot, apalagi penumpangnya hanya tumpukan-tumpukan bambu! Seharian mengobrol bersama ibu-ibu, para pengrajin boboko dan diajak untuk membuat kerajinan boboko. Itulah sebuah cerita yang dirasakan penulis sebagai penyambung lidah kisahnya, lalu menulis dialognya di teks-teks buku ini. 

Dialog dengan mereka seperti berkisah pada kehidupan yang sederhana. Mereka yang di desa selalu menjadi oase, terus merajut kehidupan, menganyam boboko, menali proses yang panjang, mengingatkan kita tentang kehidupan ini membutuhkan proses untuk dirajut dan seterusnya memangil-manggil untuk dimaknai.

Melakukan perjalanan ke Desa Trajaya adalah kesempatan langka bagi kami para mahasiswi-a yang selalu ditumpuki tugas kuliah. Merekam kegiatan anyam-menganyam, berbaur dan berbagi cerita, segalanya kembali pada kata kehidupan itu sendiri yang mengajak untuk dimaknai. Kegiatan ini lebih mendebar-debarkan ditengah mengerjakan tumpukan tugas kuliah.

Kami percaya dengan berbagi tulisan atau foto saja adalah sebuah harapan untuk berbagi kehidupan, berbagi kehadiran, begitu pula berbagi visual culture yang selalu memangil untuk berdialog. Oleh karena itu kami tidak hanya menyiapkan tulisan. Ada beberapa foto serta komik strip yang menghiasi di teks tulisan, yang dapat dilihat dan dimaknai secara budaya keberadaan orang-orangnya, pekerjaanya, ataupun hasil kerajinan tangannya. Kami percaya melalui perjalanan, berkisah tentang Orang lain adalah jalan kebudayaan.

Bukankah kerja kebudayaan ini sebuah usaha berjuang dan membangun tegur-sapa kebudayaan yang indah.Jika kebudayaan dipandang sebagai buah budi atau ciptaan manusia, maka akan bersifat luhur dan indah. Itulah buah dari kebudayaan. 

“Budi manusia itu aktif, tidak tinggal diam, tiap-tiap buah adalah hasil usaha atau akibat sesuatu proses,” tulis Ki Hadjar Dewantara memantapkan kredo kami.

Mungkin disaat itu pulalah keinginan kami melalui catatan dan foto ini ada yang akan mengingat dan memaknai sesuatu proses kebudayaanya, kampungnya, desanya, orang-orangnya. Dari situlah kami pun ingin dengan adanya buku ini bisa sejenak dinikmati untuk merefleksinya dengan perjalanan kalian sendiri.

Cara terbaik membaca sebuah kisah perjalanan adalah seperti Tony Whitten ungkapan saat membaca perjalanan Wallace, ialah alih-alih ‘memanfaatkan fantasi bersama Wallace’.

Melalui tulisan-tulisan yang ada di buku ini semoga pembaca menikmati adegan demi adegan, kata-perkatanya seperti merasakan perjalanan bersama kami dengan memfantasikan dialognya seperti bersama penulis.

 Akhirnya kami percaya, bahwa berkisah mengenai perjalanan, bertemu dengan orang lain ada celah-celah kebudayaan yang bisa dimaknai untuk merasakan keindonesiaan. Sebuah usaha untuk mencatat kebudayaan Indonesia.

Dengan bait lagu Tanah Airku, semoga menambah getar-getar keindonesiaan bagi siapa saja yang mengingat kehidupannya, prosesnya, kampungnya, desanya. Memaknai melalui perjalanan kisah kita sendiri. Menceritakannya, terus mendialogkannya.

“Tanah Airku tidak kulupakan, kan terkenang selama hidupku, biarpun saya pergi jauh, tidak kan hilang dari kalbu, tanahku yang ku cintai, engkau ku hargai. Walaupun banyak negeri kujalani, yang masyhur permai dikata orang, tetapi kampung dan rumahku, disanalah kumerasa senang, tanahku tak kulupakan, engkau ku banggakan”.

*Tulisan ini ada di buku "Menali Kehidupan Meraut Kesabaran"

Posted on Kamis, Agustus 28, 2014 by Rianto

No comments

Jumat, 22 Agustus 2014

Konon kolonialisme mewariskan foto-foto. Lensa kamera menjepret sketsa orang yang terjajah. Foto adalah mimesis akan keindahan dan dilema. Tillema seorang kromoblanda konon yang menggunting, membeli foto, menyajikan gambaran hindia untuk koran-koran. Menjualnya dengan tidak gratis.


             Terkadang Tillema berjalan dengan kameranya. Mengabadikan kolonialisme dengan foto. Bahkan Tillema dikenal sebagai kromoblanda yang mengabadikan tentang sejarah tinja di hindia. Inikah wajah kita yang diabadikan melalui foto yang bahkan terasa pribadi dan sensitif.

            Sejak kapan dimulainya foto untuk mengabadikan wajah kebudayaan kita? Tahun 1935 Tillema kembali merayakan keabadian lensa kameranya yang memberikan gambaran tentang suku-suku Apo Kaya di Borneo Tengah. Di saat itu pula alat tenun dan kainnya menjadi oleh-oleh untuk Koloniaal Institut di Amsterdam.




            Seperti apa yang digambarkan Rudolf Mirazek dalam bukunya The Engginers of Happy Land, Tillema atas dalih ‘kepentingan ilmiah’ memotret kebudayaan tenun.Tillema begitu bergembira. Tak ada yang membahagiakan hatinya saat negatif dicuci. Tillema menulis,

                “Kebahagian saya…. Setelah…. Ketegangan hampir setahun… untuk melihat negatifnya dicuci, dan, sesaat kemudian melihat, di layar, wanita-wanita kecil.. tekun menjalankan pekerjaaanya”

            Disanalah foto menjadi rima yang kuat menjadi kata kunci membaca kebudayaan. Foto bagian mata yang mengabadikan peristiwa dan tema yang mengundang pemaknaan akan sketsa humani. Disinilah dalih berbagi foto saja  sebagai bagian berbagi cerita dan kisah yang tak berkata namun kuat disajikan lewat gambar-gambar. 

            Saat aku mendapatkan buku “Indonesia Dalam 250 Foto” yang diterbitkan sebagai perayaan sepuluh tahun Harian Kompas seperti melepas syukur akan foto-foto tentang wajah kita sendiri. Ya buku itu tercetak oleh KOMPAS sendiri tahun 1975.  Lebih tua 26 tahun dari usiaku. Terkisah dalam buku itu foto-foto yang pernah tersaji dalam harian KOMPAS. 

            Ada wajah wanita di Bajawa flores. Ada gadis minang yang  manis. Ada wajah senyum perempuan pencari kayu bakar di Semarang Jawa Tengah yang hendak menaiki tangga. Itu semua adalah bagian wajah pruralisme kita yang tersedia dalam buku ini. Dalam surat kabar kita adalah bagian yang berbeda  dalam ika. Seakan-akan kau menemukan wajahku sendiri dibalik foto-foto itu. Wajah foto yang mesti didapat dengan upaya, 

                “Kadang-kadang perjalanan hanya berupa beberapa jam terbang.  Tetapi sering pula kami harus menunggu berminggu-minggu  untuk datangnya sebuah perahu. Bahkan juga terjadi kami harus berjalan kaki berhari-hari”

            Kini kita hidup dizaman digital dan instagram. Foto tentang wajah kita dapat mudah ditemukan. Koran-koran begitu mudah mengabadikan kisah wajah kita yang kadang bopeng sebelah. Foto dengan lensa-lensanya menjadi kisah kita membayang cermin wajah yang retak.

Kolonialisme mengajarkan kita hidup di zaman ketakutan akan orang lain berbalut estetis! Dilema berfoto dan berbudayakah kita?

Posted on Jumat, Agustus 22, 2014 by Rianto

No comments

Senin, 18 Agustus 2014

 “Baju pengantinku adalah kain kafanku,” Kartini

            Konon sejarah diungkapkan orang-orang kalah. Sejarah berisi orang-orang kalah. 
Kolonialisme menyebabkan orang kalah jarang bisa bersuara. Kartini adalah orang kalah yang patut dikenang, kata  JJ Rizal dalam diskusi di Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa. Ia mengenang sosok Kartini sebagai orang kalah yang mewariskan kita tentang  ide dan wacana. Tulisan-tulisan Kartini yang diterbitkan di Belanda adalah bukti: si hitam yang berhati putih.

            Belanda begitu ‘bernafsu’ menyodorkan Kartini sebagai sepetik kisah kolonialisme yang berujung politik etis membawa berkah. Kartini memang produk kolonialisme. Bagi JJ Rizal Kartini sosok yang membawa wacana terang dalam  pergerakan. Memang Kartini barangkali menjadi sosok inspirasi yang meninggalkan wacana dalam tulisan-tulisannya bagi generasi setelahnya.

“Habis gelap terbitlah terang”

            Pramoedya Ananta Toer menulis biografinya dengan judul ‘Panggil Aku Kartini Saja”. Bagi kita, Kartini sosok yang ingin dipanggil orang biasa saja. Nama menjadi penting. Panggilan membawa jejak kolonial dan makna. Kartini jelas mengerti dirinya sebagai sosok yang terjajah.

            Aku begitu ingin meyebut  Kartini: Memoar kesedihan. Dua minggu lalu aku baru mempunyai dan baca buku Satu Abad Kartini terbitan Sinar Harapan. Dalam diri Kartini begitu banyak kata modern menyelimuti tubuhnya. Barangkali kamar mandinya yang porselen menjadikan sosok Kartini bisa merasakan mandi bergaya eropa di tengah sosok wanita lainnya di hindia yang tak pernah punya imajinasi itu. Oh, itu hanya urusan mandi saja!

            Sutan Takdir Alisjahbana dalam esainya bagiku menghentak. Dalam buku  Satu Abad  Kartini jelas STA menempatkan Kartini sebagai sosok modern. Dalam diri Kartini berisi kesaksian akan kemajuan kebuadayaan barat.  

“Kartini sebuah mukjijat,” begitu kata STA

            Barangkali STA tak berlebihan. Kartini menjadi saksi akan kemajuan kebudayaan barat. Ditubuhnya mengalir imajinsi kebudayaan barat terbalut dalam hidupnya. Di tengah masyarakat yang lain tak berkehidupan, tak berpendidikan macam dirinya. Masih diselimuti kebudayaan timur yang : kolot , gelap. Kartini memang  sekaligus mendapat pendidikan ala Jawa dari Ayahnya. 

            Kartini adalah sosok pluralis. Mirip dengan buku yang dikarangnya tentang kuliner. JJ Rizal mengerti sosok Kartini sebagai ahli kuliner pada zamannya yang menuliskan tentang resep-resep makanan eropa, indonesia dan lainnya. Dalam bayangan Kartini, mungkin saja kelak Indonesia seperti meja makan yang berisi bermacam makanan.

            Kartini memang orang kalah. Namun, wacana yang dibawanya menjadi ukuran bahwa Kartini berhak menjadi suluh yang memberikan jejak kemajuan kebudayaan barat sebagai simbol yang mesti direngkuh. 
 
Lalu mengapa Kartini?

            Konon Kartini memang sosok yang tak ikut berperang macam Cut Nyak Dien. Terlalu naif mengecilkan membaca Kartini seperti itu. Tulisan Harsja Bachtiar barangkali paling menarik bagi kita yang ingin mengetahui posisi Kartini ditengah tokoh wanita  lain macam Sultanah Safituddin dari Aceh.  Tinjauan menarik yang memukul kita mengapa kita selalau kalah dalam berwacana memilih perlambang mengenai cermin sosok kita sendiri. 

            Kartini jelas diplih belanda. Lalu baru  kita tersadar mau mengembanagkannya lebih  lanjut. Penelitian tentang sosok Kartini di daerah lainnya menjadi macam pendorong bagi kita menyusun kembali ingatan tentang pejuang wanita lainnya tanpa mengecilkan jasa Kartini. Aku menunggu kisah itu.

 Kapan-kapan aku cerita lagi ke kamu tentang sosok dia di buku ini.

Selamat tidur sayang…

           


Posted on Senin, Agustus 18, 2014 by Rianto

No comments

Kamis, 14 Agustus 2014


           Dunia anak penuh letupan kisah lucu, menegangkan dan mengundang imajinasi. Terlebih buku bacaan anak selalu menggugahku untuk membacanya berulang-ulang. Kini aku jatuh cinta pada cerita anak yang dikisahkan penulis eropa dan diterbitkan dengan bahasa Indonesia. Hem, mungkin aku bukan mahasiswa jurusan sastra yang sok nyentrik membaca karya sastra anak eropa macam Erick Kastner.  Apalagi berlagak menjadi orang dewasa yang sok tahu dunia anak dan berkisah tentang buku itu ke kamu.           

           Aku punya tiga buku koleksi cerita anak Erick Kastner. Pertama Punktchen dan Anton, kedua Lotte Kembar Dua dan terakhir Emil Detektif Cilik. 

            Dalam cerita anak selalu muncul persahabatan. Barangkali aku cuma mau bilang, ada kisah anak yang diceritakan Kastner begitu menarik.  Kastner melalui tulisannya menyuarakan  persahabatan dalam anak adalah yang mesti kita ingat.

            Di bukunya Punktchen dan Anton,  Kastner mempunyai misi lucu: mengundang kita menjadi bocah seperti tokoh dalam tulisannya. Mengapa? Alasannya sederhana ! Anak baiklah yang dibutuhkan di dunia ini. 

            Aku ingin sekali membedah sastra anak Kastner ini. Penulis yang sempat dikejar-kejar Hitler ini berjuang melalui kisah anak. Ha, masa kecilku jarang sekali membaca buku seperti ini. Tapi bagiku, sejak aku duduk lama-lama dengan temanku mendiskusikan Kaestner menjadi ‘api’ dalam imajinasiku memuncak! Aku ingin mengoleksi buku-buku Kastner. Menjadi pencerita kisah anak karangan Kaestner yang berbahasa Indonesia.  

            Makanya aku selalu berdo’a kepada tuhan, agar aku dimudahkan menjadi penulis dan pengumpul buku-buku cerita anak.  Buku cerita anak mempunyai misi mencipta dunia. Inilah yang kalau aku baca lama-lama, Erick Kastner mirip pesulap kata yang mengundang kembali kepolosan imajinasi anak baik melalui kisah-kisah menariknya. 

            Di buku Punktchen dan Anton (Gramedia 1992)  misalnya, Kastner bilang, “Siapa tahu kalian ingin berniat menjadi mereka (emil, punktchen, anton),” kata Kaestner. Ia pun melanjutkan “Barangkali kalian begitu menyukai mereka, sehingga kalian berusaha untuk menjadi serajin, sebaik budi, setabah, dan sejujur mereka”

            Menurut Kastner mencipta anak-anak seperti itu menjadi imbalan paling indah dalam imajinasinya. Aku pikir, Kaestner bisa tertawa lega, imajiasinya telah masuk ke Indonesia dan  kisah-kisahnya merasuk pada anak-anak di dunia termasuk Indonesia. 

            Mempunyai buku Kastner seperti ini barangkali hanya dimiliki oleh orang tua yang ada di perkotaan. Mungkin saja dugaanku salah. Tapi aku yakin ibu mana yang mau lama-lama duduk dengan anaknya menceritakan kisah anak seperti ini sebagai pengantar tidur? Kini anak-anak merupakan mimesis televisi. Anak digital. Televisi dan gadget menjadi teman sepermainan bukan buku cerita anak. Persahabataan dijalin bukan melalui kata tapi maya. 

            Aku begitu bergembira membaca tulisan penulis cerita anak macam Kastner. Mohammad Sobary pernah mengatakan dalam salah satu esainya, menulis kisah anak lebih sulit dibanding menulis esai! Mari kita simak imajinasi Kastner yang tertuang dalam kepolosan Punktchen yang menurutku Kastner begitu lucu membongkar pikiran orang dewasa yang naif. 

            Saat itu Anton tidak masuk sekolah. Ia harus mengurus ibunya yang sakit. Menyiapkan sarapan dan obat. Di sekolah Anton tertidur dan PR nya tidak memuaskan.  Tak disangka Punktchen si gadis lucu itu meghampiri guru Anton yang berkepala botak. Ia ingin gurunya tidak menulis surat untuk ibunya Anton. Punktchen pun  menghampiri Pak Bremser berbicara empat mata. Punktchen berkata dengan nada kesal, 

            “Saya hanya bisa mengatakan bahwa anak malang itu bekerja siang dan malam. Ia membanting tulang dan memasak dan mencari uang dan membayar makanan dan sewa rumah, dan kalau  ia potong rambut, ia membayar dengan cara mencicil. Dan saya merasa heran bahawa ia tidak tidur terus di sepanjang jam pelajaran."

Pak Bremser berdiri seperti patung. Guru-guru lain memasang telinga.

            “dan Bapak malah  mau mengirim surat pada Bu Gast, untuk memberitahunya bahwa anaknya malas! Keterlaluan. Bisa-bisa Bu Gast jatuh sakit lagi, dan harus kembali ke rumah sakit! Dan kalau begitu, Anton Pasti ikut sakit, itu saya jamin”

            Percakapan antara Punktchen dan Pak Bremser guru Anton di Sekolah membuatku tercengang. Dialog antar anak dan guru seperti ini menjadi bahan refletif bagi guru-guru kita yang sok hebat dan galak tapi tak mengenal muridnya sendiri. Begitulah.

            Malam  ini, kamu tahu, aku menuliskan esai kisah anak ini membuatku berfikir lebih mengakar akan  masa di mana rumah kita penuh akan buku-buku cerita anak yang menghiasi di  dapur, di ruang tamu, di serambi depan  rumah ataupun di tempat tidurmu. Saat itu aku berkisah kembali dengan polos: aku mencintai  kisah ini mirip dengan mencintaimu dengan kata dan kisah.

Selamat malam…





Posted on Kamis, Agustus 14, 2014 by Rianto

No comments

Jumat, 08 Agustus 2014



I
            Kampung mempunyai memori dan harapan. Ingatan tentang kebun, pohon mangga, dan pelbagai angan-angan akan kampung merasuk dan mentradisi pikiran orang-orang untuk memaknai kampung sebagai tempat pulang dan meneduh. Konon kampung menjadi alasan orang-orang mengurus hidup dan produksi imajinasi akan tempat tinggal yang adem dan tenteram. Alasan itulah yang terkabung dari kisah beberapa bocah dalam buku “Membuka Daerah baru karangan Sujono H.R berkisah anak-anak yang pergi meninggalkan kampung halamannya akibat kebijakan dan bencana alam.

            Saat itu pentas wayang menjadi hiburan warga yang akan berangkat besok menuju tempat kampung halaman baru. Dengan judul “Malam Terachir” Sujono menggambarkan haru kisah "bermain" beberapa bocah yang akan meninggalkan kampung halamannya karena program transmigrasi. Desa mereka yang sering terkena banjir menjadi alasan kenapa mereka mesti pindah. Aku terasa terharu saat penulis kisah fiksi ini mulai menulis,

…Tjahya  menghela napas, lalu memandang ke sekelilingnja. Besok ia akan berpisah dengan kebunja, dengan pohon belimbingnja; pohon nangka, kelapa dan djuga dengan pondoknja jang baru sadja selesai di bangun dalam beberapa hari jang lalu…

            Kampung halaman produksi kenangan yang merujuk pemaknaan. Bocah-bocah itu menjadi saksi bagaimana program transmigrasi menjadi kisah yang mereka jalani dengan kanak: gembira. Mengenang keusilan, kenakalan bocah yang riang merdeka : mentjuri jambu di kebun Mak Sujem.

            Aku jadi ingat apa yang dikatakan dengan Romo Mangun dalam pengantar buku homoluden karya Zuiniga. Hem, dalam bermain selalu ada unsur kemerdekaan. Heh, mereka bermain kejar-kejaran dan juga berlomba tiup balon. Kau tahu permainan itu mereka lakukan sebagai penutup memori kenangan akan kampung halaman mereka yang mungkin saja tak mereka temui lagi. Lucu sekali digambarkan mereka bermain  tiup balon.

 …Nah, marilah kita mulai dengan permainan ini. Ambillah masing-masing sebuah balon. Kalian harus meniup sebesar mungkin dan setjepat mungkin, “ kata Tjahya sambil membagikan balon-balonnja.
            
Dalam permainan selalu ada unsur kegembiraan dan hadiah. Mereka pun menjadikan kerupuk hadiah. Lucunya selalu saja ada bocah nakal yang mengundang tawa.  Si bocah bandel menjadi korban kejar-kejaran dari kawannya. Sebab mengambil hadiah pemenang tiup balon. Dan si bandel pun terkena getahnya. Saat dikejar,

… si bandel pantang menjerah, belok ke kiri menjusuri pematang dekat sebuah empang. Malang  baginja terpleset dan….. bjuurrr…. Masuk empang.
II
                Imajinasi anak tentang Jakarta begitu menggugahku saat membaca buku ini. Jakarta tetap menjadi lumbung mimpi. Anak-anak yang mesti transmigrasi ke daerah lampung mesti  transit di Jakarta. Laju kereta membawa mereka ke Stasiun Senen lalu mereka akan menuju pelabuhan. Jakarta selalu menarik dengan gedung-gedung gagahya.

“di sepandjang djalan mereka mendjadi sangat kagum melihat keramaian Ibukota di malam hari. Mereka terpesona melihat toko-toko dan gedung-gedung mobil sedan, truck, bis, sepeda motor, bemo betjak dan sepeda, berseliweran tak henti-hentinja."
            Aduh, si bocah berimajinasi ingin kuliah di gedong Universitas Indonesia,

“Gedung jang  besar sebelah kiri djalan itu: Universitas Indonesia,” Paman Kamin mendjelaskan.

“Kelak saja akan meneruskan peladjaran di situ, “ sahut Janta  

                Mereka begitu terpaku dan bergembira ketika plesiran ke Jakarta sebelum bertolak ke kampung halaman baru di Lampung. Barangkali dari buku ini aku begitu yakin, konsep tentang migrasi tak hanya berakal dari pengamat televisi saat lebaran seperti ini. Kini kisah migrasi bukan hanya monopoli diktat-diktat kuliah geografi ataupun demografi. Beuh! Migrasi pun bersastra dan mengundang makna. Buku Sujono  “Membuka Daerah Baru” terbitan Pustaka Jaya (1971) menjadi teks sastra itu.  

                Aku ingin berkisah dan bercandra denganmu mengenai kisah ini. Aku yakin ada keplosan dihatimu yang ingin aku dengar. Mengenalmu lewat sastra dan kisah masa kecilmu.

Hai pacarkecilku, selamat tidur sayang….


            

Posted on Jumat, Agustus 08, 2014 by Rianto

2 comments

Senin, 04 Agustus 2014


“Satu-satunya yang bisa bebas adalah fantasiku dan lamunanku,” kata Nashar

            Jakarta menjadi lumbung menabur lamunan dan mimpi. Jakarta selalu menyimpan mimpi berujung airmata.  Di mana mata awas di setiap daerah sekitarnya menghamba Jakarta sebagai kota mimpi. Nashar, pelukis kita yang hampir komplit menjadi legenda itu menganggap Jakarta sebagai tempat menaruh impiannya sebagai pelukis besar. Nashar pernah menjadi tukang bangunan. Kuli bangunan yang hanya dibayar dengan rokok dan satu kali makan. Betapa saat itu dia menganggap hidup ‘ mesti tidak berdiri diatas telapak  kaki orang lain’. Nashar, kamu  begitu birahi dengan Jakarta!

            Kisah tentang pelukis Nashar yang ditulis oleh Nashar sendiri ini termuat dalam buku nashar oleh nashar (2002) terbitan Bentang. Kamu tahu, aku begitu obsesi mengetahui kisah-kisah pelukis Indonesia. Ah, aku tak pandai melukis. Aku ingin melukis kamu melalui kata.

            Yogyakarta pada saat itu dilanda perang akibat agresi militer tahun 1946. Nashar muda masih belum mengerti akan perjuangan melalui kuas.  Waktu itu umurnya masih 17 tahun.  Soedjojono dan Affandi merupakan pelukis yang berjuang melalui kuas. Nashar muda masih belum mengerti dengan maksud kedua pelukis  senior itu yang mengatakan berjuang melalui kuas.

            “Aku harus jadi pelukis, aku harus jadi pelukis,” begitu kata Nashar muda.

            “Kalau takut kena penyakit TBC jangan jadi pelukis”, terngiang Nashar dengan kata Sudjojno, begitu pula Affandi berucap, “Habiskanlah  seluruh waktu hidupmu untuk melukis. Kalau cari uang , carilah sekedarnya saja selebihnya serahkan hidupmu untuk seni lukis. Jalan seni ini dipakai Nashar dalam memilih hidupnya kelak.

            Kereta melaju ke kota Madiun.

Kota  kebebasan seni Nashar. Barangkali kita mesti mengerti jalan seni lukis yang diambil Nashar telah menyebbkan Ayahnya marah besar. Anggapan Ayahnya menjadi insyinsurlah hidup akan lebih baik. Namun Nashar memilih menjadi pelukis. Keliling beberapa kota menjalani hidup menjadi pelukis. Jakarta, menjadi tujuan Nashar.

            Kamu mesti anggap Nashar menggila dalam jalan seninya. Barangkali Nashar belum mengerti akan perjuangan kuas. Ke Jakarta tak punya uang. Nashar naik truk-truk yang membawa senjata oleh para tentara. Teman-teman Nashar sudah menunggu di Tasikmalaya. Di kota Cirebonlah  Nashar mengerti akan perjuangan melalui kuas. Kota Cirebon siap menjadi kota yang terbakar perang.  Nashar berkata,

            “ tiba-tiba komandan kami memanggil Wakidjan dan aku. Kamu berdua diberi tugas, yaitu kami  berdua harus  segera berangakat masuk Kota Cirebon .  Di sana kami   menghubungi kawan-kawan  dari gerakan bawah tanah  untuk bekerja sama  membuat poster-poster dan memasangnya di seluruh kota. Poster-poster yang berisi mengacaukan Belanda itu harus telah terpasang di seluruh kota menjelang Tahun Baru” (hal-52)

            Nashar begitu bergembira bisa mengangkat senjata dan kuas!  Dalam perang, Nashar tetap memegang kata Affandi, “Melukislah sebanyak mungkin”. Dengan begitu Nashar menganggap, “aku lebihh bisa merasakan cat dan kuas sebagai senjata untuk berjuang.”

            Nashar menjalani hidupnya dengan urakan. Nashar biasa menghadapi lapar dan kemiskinan dalam melukis. Baginya mungkin kita bisa melihat lebih jauh,  melukis tidak ada hubungan dengan harapan menjadi kaya. Melukis ya melukis! Melukis sebanyak mungkin. aku begitu terharu dengan kisahnya mejalani hidup melukis ke daerah-daerah macam Bali, Yogyakarta, ataupun Jakarta. Di akhir buku aku begitu bergidik membaca surat-surat itu. Surat yang Nashar tujukan kepada kawan  yang tak dikenalnya.

             Adakah kamu juga melalui waktu dengan melukis hidupmu itu yang indah? Kamu tahu aku merindumu disetiap aku membaca buku seperti ini. Merindu hidup mesti meletup-letup dengan obsesi yang tak mungkin menunggu lalu waktu habis begitu saja bergerak dipandang sebagai yang ekonomikus. Aku membaca, kamu mendengarkan kata dan makna. Bukankah itu namanya ibadah sayang?



Selamat malam.

           



Posted on Senin, Agustus 04, 2014 by Rianto

No comments


Bus Rukun Jaya melaju dengan pelan dari Rawamangun menuju Solo. Kami sengaja dari Jakarta mengunjungi Solo untuk mengikuti Sinau Buku di Bilik Literasi Solo. Sinau Buku berlangsung 16-18 Mei 2014. Sinau buku ini digawangi oleh esais kondang Bandung Mawardi. Rumah sederhana  Bandung Mawardi disulap menjadi ruang pameran buku. Buku-buku lawas itu digantung menghias di ruang utama rumahnya. Buku-buku lawas itu memuat warisan perjalanan sejarah pendidikan Indonesia. Melalui buku Bandung Mawardi mengajak kami untuk merawat ingatan tentang sejarah pendidikan  Indonesia.

Lebih dari 150 buku lawas tentang pendidikan dipamerkan di rumah Bandung Mawardi. Buku lawas itu terdiri dari buku terbitan 1920-1980-an. Lawas, namun merawat pikiran untuk eling sejarah pendidikan. Sinau buku dihadiri oleh mahasiswa, peminat kajian pendidikan, dan dosen. Bandung Mawardi pun memberikan selebaran menarik Ora Weruh. Buletin Ora Weruh berjudul Ngopeni ini merupakan buletin khusus berisi esai tentang buku-buku lawas pendidikan.   

Hamzah mahasiswa pendidikan Bahasa Inggris UNJ mengatakan kaget dengan buku-buku yang dipamerkan oleh Bandung Mawardi. Buku-buku lawas yang menghampiri matanya itu tak pernah dilihatnya bahkan sulit ditemui di perpustakaan LPTK. Yunan mahasiswa hukum di Universitas Semarang pun demikian. Ia kagum melihat koleksi buku-buku pendidikan yang dipamerkan oleh saudagar buku Bandung Mawardi.

Jalan Literasi

Sinau buku dimulai dengan orasi pendidikan yang dilontarkan oleh Fauzi Sukri. Esais peminat kajian pendidikan dari Bilik Literasi Solo ini memaparkan dan menata ingatan tentang sejarah buku-buku penting pendidikan yang pernah menghias Indonesia. Fauzi Sukri mengingatkan tentang buku lawas macam Mendidik dari Zaman ke Zaman  (1953) karangan Muhammad Said merupakan buku pendidikan yang penting. Pun roman Manusia Bebas (1975) karangan Suwarsih Djojopuspito yang sudah dilupakan. Setyaningsih santri Bilik Literasi Solo mengungkapkan buku lawas The Liang Gie berjudul Cara belajar yang Efisien menjadi buku pengingat mahasiswa tentang makna belajar. Buku manjur khusus mahasiswa ini menjadi ingatan sejarah tentang buku penting panduan menjadi mahasiswa pembelajar. 


Priyadi santri dari Bilik Literasi Solo  pun memaparkan orasi pendidikan menarik dengan mengajak menelusuri sejarah pendidikan Indonesia melalui buku sastra. Priyadi mengungkapkan dengan apik buku-buku sastra yang merekam kisah pendidikan Indonesia. Misalnya buku-buku Ashadi Siregar, cintaku di kampus biru. Begitupula buku lawas Para Priyayi karangan Umar Kayam dan Student Hidjo karangan Mas Marcokartodirdjo. Menurut Priyadi, buku-buku sastra seperti itu patut dibedah. Karena buku sastra seperti itu mempunyai cerita sejarah berlatar kisah pendidikan.

Sinau buku pun membedah buku terbaru dari Bandung Mawardi yakni Pendidikan: Tokoh, Makna Peristiwa. Buku yang diterbitkan oleh jagat ABJAD ini merupakan kumpulan esai Bandung Mawardi tentang pendidikan yang pernah nangkring di koran-koran macam Tempo, Jawa Pos, Koran Seputar Indonesia, Suara Merdeka. Solopos, Joglosemar. Tulisan-tulisan Bandung menyoroti pendidikan Indonesia dari hal yang sepele. Contohnya tulisannya yang berjudul Bias Iklan Universitas menjadi renungan refleksi bagi kita untuk menyadari bahaya iklan-iklan pendidikan yang marak untuk memikat  perhatian publik dan mahasiswa. Tulisan-tulisanya pun banyak memuat tokoh-tokoh biasa macam Pak Kasur.

            Budiawan alumnus PBSID FKIP UMS mengatakan tulisan-tulisan Bandung Mawardi menjadi refleksi bagi dirinya dan kita semua yang bergelut di bidang pendidikan. Rahmah, dosen Bahasa Indonesia UNJ mengatakan Bandung Mawardi ulet menelusuri pustaka dan pilihan kata dalam tulisan-tulisannya.“Ini menunjukan pertanggungjawaban intelektual  Bandung Mawardi melalui karya buku,” kata Rahma.


            Sinau buku berupa pameran buku pendidikan, orasi pendidikan, dan bedah buku di Bilik Literasi Solo ini membawa serpihan ingatan-ingatan sejarah pendidikan. Ini menjadi usaha memaknai pendidikan dari sejarah yang dikontekstualkan dengan pendidikan hari ini. Tentunya usaha ini merawat ingatan akan jejak-jejak pendidikan Indonesia melalui jalan literasi.




Posted on Senin, Agustus 04, 2014 by Rianto

No comments