Sabtu, 20 Februari 2016


beberapa koleksi buku di rumah
November lalu saya bertemu dengan Romo Mudji. Saat itu Romo Mudji sedang duduk-duduk di ruang tunggu kuliah Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Dengan Romo Mudji saya pun mengobrol mengenai sejarah, pendidikan, buku, budaya tulis-menulis dan lain sebagainya. Satu hal yang tak lepas saat bertemu Romo Mudji adalah peristiwa berbagi buku. 

Saat ngobrol santai itu, Romo berbicara mengenai pemaknaan ulang mengenai hari guru.  Saya pun berujar mengenai ingatan guru yang tak lagi berumah buku. Ingatan-ingatan guru  tak berumah buku itu adalah ingatan generasi kami yakni generasi digital. Dalam ingatan kami mengenai guru adalah mereka yang bermobil dan bermotor dan bergadget. Di rumahnya guru yang kita ingat adalah televisi bukan buku-buku. Ingatan itu berdasarkan obrolan dan diskusi dengan mahasiswa-mahasiswa baru yang tergabung dalam Lembaga Kajian Mahasiswa UNJ. Saya pun berucap kepada Romo, “Mungkin itu ingatan kami mengenai guru-guru yang di kota”
  
Romo Mudji mengajak saya untuk mendiskusikan mengenai ingatan guru itu di dengan mahasiswa S3 Pasca Sarjana UNJ.  Kebetulan Romo memang mengajar filsafat pendidikan dan kebudayaan di Pasca Sarjana UNJ. Mengapa obrolan ringan mengenai ingatan guru ini menjadi penting? “Ini terkait dengan proses konsientisasi (penyadaran) mengenai pendidikan dan kebudayaan,” kata Romo.  

Guru pantas diingat dan dikenang. Romo Mudji berujar mengenai pemaknaan guru bermula dari ingatannya mengenai guru-guru di masa silam. Kini kita mendapati penghormatan guru melalui sertifikasi yang klise. Oleh karena itu kita akan mendapati guru profesional dan guru kebudayaan. Yang pertama adalah guru yang dihasilkan dari proses serangkaian pengumpulan sertifikat, tes, pengujian, dan penilaian. Yang kedua adalah guru yang sudi ikhlas mengajar berbagi pengetahuan dengan “membaca” dengan hati melalui serangkaian peristiwa pemaknaan hidup.  
Bagi Romo Mudji ingatan mengenai  guru kebudayaan adalah ketika ia mengingat masa kecilnya naik turun tangga di Borobudur. Di sana ada guru yang sudi mengingatkan kepadanya mengenai pembacaan makna relief-relief di batu-batu dan pemaknaan perjalanan Shidarta Gautama. Cerita dan kisah itu dicatat dan membekas melalui ingatan.

Kini ingatan berbeda tentang guru bagi kami sebagai generasi digital yang menganggap guru adalah yang mengajak kita untuk membaca dengan cara merekam dan berfoto melalui serangkaian kegiatan bernama “Study Tour”. Lalu dibekukan lewat Instagram, Facebook dan Twitter. Kini ingatan guru yang dirasakan Romo Mudji sebagai guru kebudayaan semakin menghilang.

buku yang diberikan Romo Mudji
 Di Abad 21 Kita mengingat guru profesional yang masih terbelenggu dengan gaya dan metode dalam mengajar. Ingatan mengenai guru-guru profesional kita hari ini adalah guru yang tak berumah buku. Guru kita yang disibukan dengan pengejaran sertifikasi, cap,  silabus, dan juga RPP. 

Guru-guru kita akan memadati seminar-seminar hanya demi selembar sertifikat. Sertifikat yang dibutuhkan demi pemberkasan. Sehingga guru kita disibukan dengan formulir dan penghambaan terhadap gaji. Dalam kacamata profesionalitas itu kita mendapati guru yang hebat adalah guru yang lulus ujian kompetensi atau yang disebut dengan  Uji Kompetisi Guru (UKG).

Guru Berbuku
Kisah guru hari ini adalah cerita mengenai guru honorer yang belum dibayar gajinya. Di koran-koran kita masih mendapati guru-guru yang berdemo untuk disegerakan menjadi PNS. Miris sekali ada oknum yang menjual buku-buku yang ada di perpustakaan untuk diloakan, dibuang dan dilebur. Di abad 21 guru hidup di mana buku tak lagi menjadi bacaan mulia. Membeli buku tak pernah menjadi prioritas dalam hidup ditengah sibuknya berkredit mobil dan motor.  

Kita jarang mendapati guru yang berbuku. Membaca banyak buku dan berkisah kepada murid-muridnya. Mengajak muridnya menyelami makna hidup dengan kisah-kisah dari buku-buku. Mengajak muridnya ke toko buku. Memaknai peristiwa membeli buku menjadi penting sebagai pengembangan imajiinasi. Kita kesulitan berimaji guru yang mau memenuhi rumahnya dengan buku. Kita jarang mendapati guru mengajak muridnya main ke rumah mengobrolkan buku. 

Di koran-koran kita hari ini, ingatan tentang guru adalah adalah upacara penghormatan guru melalui  ‘Simposium Guru’ yang dihadiri oleh Jokowi dan Anies Baswedan nan megah. Sekaligus penghadiahan guru-guru berprestasi melalui selembar sertifikat. Semakin bersedih dan pilu jika kita jika penghormatan hari guru seperti ini. 

Di hari guru sekolah-sekolah guru berupacara memperingati guru. Kita jarang mendapati guru berupacara sunyi dengan buku-buku di rumahnya. Ketika kita masuk ke rumah guru, kita hanya mengingat televisi, kulkas, dan kipas angin. Kita merindukan guru yang mengisi rumahnya dengan buku-buku. Kita rindu bergurau sambil berdiskusi mengenai buku di rumah guru yang berbuku. Kita jarang diajak bermesraan dengan buku-buku di rumah guru yang berbuku. 

Kita meyakini mentalitas suatu bangsa ada di tangan guru. Mentalitas yang dibentuk dari imaji buku-buku yang guru baca. Guru-guru kita jangan sampai terpenjara imajinasinya hanya karena tak berbuku. Kita mendapati guru yang bergaji tapi enggan membeli buku-buku. Oh guru.....

*Esai ini masuk di koran Radar Bekasi


Posted on Sabtu, Februari 20, 2016 by Rianto

No comments

Selasa, 16 Februari 2016

Kisah Soichiro Honda dan perusahaannya ditulis Jeffrey Rothfeder dalam buku Driving Honda Rahasia Perusahaan Otomotif Paling Inovatif Sedunia (KPG, 2015). Berkisah seperti novel,  buku  memuat kisah Soichiro Honda dalam mengepakan sayap perusahaannya. Hingga kini Honda adalah perusahaan yang tak pernah rugi. DNA Honda terus hadir dan menjadi poin penting bagi karyawan dalam berinovasi dan berkreativitas. 

Rothfreder mengungkap masa kecil Honda di Desa Hamamatsu.  Di desa itu melintaslah mobil Ford Model T di jalan tanah yang meneteskan bau minyak. Aroma minyak itu menggugah seorang bocah bernama Soichiro Honda. Ia memberi pengakuan, “Saya terpukau dengan aroma minyaknya. Saya membungkuk diatas noda minyak di tanah dan mengendusnya, dan sisa minyaknya saya gosok-gosok di tangan. Sejak saat itu, saya hanya punya  satu cita-cita  yaitu menciptakan mesin-mesin dan berlicin-licin dengan  minyak mesin serta pelumas” (hal 28).

Barangkali Soichiro adalah bocah yang tajam penciuman dan pendengarannya. Kakeknya sering mengajak keliling kampung melihat mesin penggilingan padi. Asap yang mengepul dan suara dari mesin penggilingan padi membuatnya tertarik. Suara  dari mesin penggilingan padi membuatnya takjub. Soichiro mengatakan bunyi mesin penggilingan padi adalah musik pertamanya.

Soichiro ingin menjadi mekanik mesin.Waktu berumur lima belas pada 1922, mesin menjadi terlalu memikat untuk dilihat dari jauh, Soichiro berhenti sekolah dan meninggalkan rumah untuk mencari pekerjaaan di bagian mesin pembakaran dalam di Tokyo. Dia diterima sebagai pegawai magang di Art Shokai, satu bengkel mobil dan motor (hal 29) 

Di saat remaja dan magang di Art Shokai, ia dilarang untuk memegang mesin. Barangkali kehidupan Honda akan menjadi biasa saja, jika saja Gempa Kanto 1923 tak melanda Jepang kala itu. Art Shokai memang selamat dari gempa. Namun banyak mekanik mesin yang pulang ke kampung halamanya karena harus menjenguk keluarga yang terkena dampak gempa. Kampung  halaman Honda Hamamatsu selamat dari gempa. Ia pun menggantikan para mekanik mesin.

Tahun demi tahun Honda bergelut dengan mesin. Honda hanya membutuhkan lima tahun untuk membuka cabang Art Shokai di kampung halamannya.  Dengan kegeniusannya Honda membuat ciptaan pertamanya yakni  roda dengan jeruji besi. Ciptaan pertamanaya dibuat berdasarkan pengalaman roda dengan jeruji kayu sering patah dan kendaraan sering terperosok. Dari roda dengan jeruji besi  Honda pun berambisi mencipta cincin piston (30).

Orang-orang di Toyota mengganggap Honda aneh. Di masa ia bergemimang harta akibat inovasi cincin pinstonnya ia meminta libur dari pekerjaan. Orang-orang Toyota tahu Honda adalah orang genius. Saat ia berhenti dari pekerjaannya orang-orang mengira itu adalah akhir dari Honda.

Perang  terjadi di tahun 1945 Jepang pun hancur. Di masa perang Honda adalah orang yang gemar balapan,  mabuk dan bermalas-malasan. Honda mendapati omelan Sachi istrinya yang saban hari berkelliling Hamamatsu naik sepeda membawa beras sedangkan ia saban hari di bengkel dan terkadang hanya duduk-duduk di batu sambil memandang langit. Omelan dari Sachi membuat Honda mendesain sepeda bermesin.  Sepeda bermesin dari ratusan mesin mungil yang menghidupkan radio nirkabel Mark 6 yang berserakan tak terpakai akibat perang.

Awalnya Sachi bermaksud menghukum Soichiro karena tidak melakukan apa-apa dan seperti tidak peduli sementara dirinya  berjuang supaya bisa tetap menghidangkan makanan di meja  (hal 34). Sachi merasa senang, dia tidak menyadari betapa beratnya pergi berbelanja sampai merasakan betapa sepeda bermesin memudahkannnya. Melihat kegembiraan Sachi- belakangan Honda menyebut reaksi itu sebagai ‘Joy of Buying” (Kegembiraan Membeli), yang terjadi bila suatu produk bisa melebihi harapan pelanggan, dan mencari reaksi seperti itu  menjadi salah satu prinsip motivasi paling dasar di perusahaannya (hal 35).

   Tahun 1948 dengan kegeniusannya memahami metalurgi, perakitan, desain dan produksi mesin, Soichiro mulai membangun Honda Motor Company. Honda mulai membuat sepeda motor. Soichiro percaya dirinya akan menjadi pemain global. Honda Motor Company  pun memberanikan diri bermain bisnis di Amerika.

Honda Way
Dalam perjalanan perusahaannya DNA terpenting dari Soichiro justru adalah keberanian untuk tidak meniru, dengan menekankan prinsip  Menyambut Paradoks, prinsip mengenai Tempat Nyata, Bagian Nayata, Penegtahuan Nyata, serta prinsip menghormati Individualisme.

 Memulai bisnis sepeda motor di Amerika, Honda Motor justru mendapatkan cemooh.  Perjalanana Kihachiro Kawashima menyambut paradoks pasar Amerika dengan keliling Amerika menggunakan Super Cub ringan 50 cc mendapatkan perhatian. Kawashima melihat strategi motor besar sperti Harley Davidson gagal.

Jadi Kawashima dan tim AS-nya menyusuri jalanan dan bukit-bukit Los Angeles dengan Super Cub mereka-bermotor di jalanan becek dan menelusur jalur mobil di pusat perbelanjaan dan jalan raya yang sibuk. Mereka dapat perhatian dari orang-orang Los-Angeles. Media setempat menulis artikel tentang perusahaan Jepang yang membuat toko di gudang kecil, menyerbu jalanan kota dan kampung dengan menggunakan sepeda motor yang tampaknya praktis dan bisa diandalkan (hal 88). American Honda memulai salah satu kampanye iklan yang paling terkenal dan bertahan lama: karya Grey Advertsing, iklan cetak “You meet the Nicest People on a Honda” (hal 89) turut mendongkrak nama Honda.

Penilaian sesuatau dengan mendatangi langsung tempat atau lokasi adalah bagian dari pengetahuan yang disebut Honda sebagai Sangen shugi mesti diperhatikan dengan jeli. DNA Honda sebagai Honda Way terlihat jelas seperti yang dilakukan oleh Gary Flint, kepala desain Ridgeline.

Gary Flint memang duduk-duduk berjam-jam di tempat parkir Home Depot pada Sabtu pagi untuk menonton orang-orang dengan ceroboh  memasukan belanjaan ke mobil dan truk mereka sebelum dia memutuskan untuk membuat pintu bak yang bisa membuka dua arah (hal 115).

Salah satu prestasi terbaik adalah Honda merupakan kendaraan yang paling awet dibandingkan merk otomotif lainnya: 75 persen mobil dan truk Honda yang terjual dalam dua puluh lima tahun terakhir masih ada di jalanan, menurut data registrasi dari analis Industri Plok.  Di Indonesia orang-orang menganggap mesin  Honda awet dan bandel.

Mengapa Honda bisa dikenal demikian? Honda percaya bahwa dengan membuat barang yang atraktif dan awet seseorang bisa membuat orang lain bahagia dan kehidupan mereka lebih memuaskan. 


   

Posted on Selasa, Februari 16, 2016 by Rianto

1 comment

Toety Heraty N. Roosseno merayakan ulang tahun dengan menerbitkan buku. Bagi Toety menerbitkan buku adalah sebuah percakapan dan perdebatan. Buku terbarunya berjudul Tentang Manusia Indonesia dsb. (Obor 2015), mencerminkan pergulatan itu. Di kata pengantar Toety mengakui judul bukunya terbayangi dari ceramah Mochtar Lubis (1977) di Taman Ismail Marzuki. Tambahan dsb. pun terinspirasi dari buku “Indonesia etc. Exploring The Imporable Nation“ karya Elizabeth Pisani.

Buku berisi 9 artikel yang terdiri dari bab-bab yang banyak berbicara tentang perempuan, psikologi, filsafat, sastra, religiusitas. Dalam Bab I Budaya dan Spiritualitas, Toety menyebutkan tokoh-tokoh filsuf yang berpengaruh di Indonesia. Toety menyebut tokoh-tokoh moncer seperti Hamzah al-Fansuri, Pakubuwono IV, Mangkunegara IV, Ranggawarsito, R.A. Kartini, H. Agus Salim, Ki Hadjar Dewantara dan lain sebagainya.Tokoh-tokoh tersebut sebagai muatan materi pada ensiklopedi terbitan Press Universitaire de France 1984. Mereka adalah filsuf dan manusia Indonesia yang bergulat dalam pemikiran filsafat, sastra, dan juga religiusitas  yang mesti dikenang sebagai tokoh yang berpengaruh di Indonesia. Nama  Hamzah al-Fansuri dan  Tan Malaka hilang. Toety mengaggap ini sebagai sensor internal  Orde Baru (Hal 4).

Toety menulis mengenai mentalitas manusia Indonesia.Tema-tema mentalitas ini hadir dalam artikel artikelnya. Dalam situasi korupsi yang meluas dan kerancuan hukum yang melemahkan kewibawaan pemerintah, semakin dipertanyakan karakter dan jati diri manusia Indonesia, dengan mempertimbangkan konteks multikultural ( Hal 48). Dalam Bab III Kearifan Lokal dan Kebebasan, Toety mengingatkan akan pentingnya kearifan lokal dalam menghadapi globalisasi. Yang dikhawatirkan dan memang terjadi ialah bahwa khusus pembentukan daya tahan diri pribadi tidak mampu menghadapi tuntutan  keselarasan sosial komunitas dan malah menunjang pemusatan kekuasaan yang sarat kekuatan adikodrati (Hal 58)

Dalam pilpres lalu Toety juga mendokumentasikan perang puisi  dalam Bab VI Perang Puisi Pasca Pilpres 2014. Perang puisi ini dicatat dan didiskusikan di Frankfurt, sebagai persiapan acara Frankfurt Book Fair. Toety membacakan puisi gubahan Widji Thukul, Fadli Zon, Rieke, Megawati. Bagi politisi, puisi dianggap sebagai alat berpolitik. Ahok menganjurkan untuk dibukukan (102).

Toety juga merangkum penulis-penulis perempuan yang bergerak dalam bidang sastra dari zaman kolonial sampai sekarang.  Karya sastra yang berbicara tentang roman pergerakan, minoritas dan masyarakat etnis, perempuan yang terpinggirkan,. Tokoh-tokoh moncer seperti  Kartini, Selasih, Suwarsih, Ani Sekarningsih, Oka Rusmini, Hanna Rambe, Linda Christanti, Leila S.Chudori, Tatiana Lukman disebutkan Toety sebagai tokoh  perempuan yang mesti dicatat dalam ingatan kita. Tak lupa Toety pun mencatat perempuan-perempuan yang lahir dari pesantren dan menulis karya sastra  semacam Oki Madasari, Erni Aladjati, Abidah Khaleqi hadir dalam khasanah sastra Indonesia.

Perempuan sebagai identitas perubahan tercermin dalam Bab VII Kartini and Anne Frank: Letters and Diary. Kartini sebagai sosok penggubah semangat kebangsaan melalui surat-suratnya. Begitu pula Anne Frank sebagai sosok kebebasan dalam bingkai kekuasaan tirani Nazi. Menjadikan keduanya merupakan sosok yang tak hanya menjadi pengingat tetapi juga simbol suluh bagi perempuan yang mempunyai cita-cita demi kemajuan. Kartini ingin menjadi guru demi membebaskan belenggu perempuan melalui pendidiikan. Anne Frank bercita-cita menjadi wartawan dan penulis. Anne Frank berkeinginan tulisannya dibaca banyak orang.

Sebuah buku akan menjadi teman dialog meski telah lama tak dibaca. Dalam Bab IX Dialog dengan Kematian, Toety mengaku, “Buku ini saya peroleh pada tahun 1955 ketika berusia 221 tahun, disimpan untuk dibaca pada waktunya, yaitu pada saat ini, pada usia 80 tahun. Jadi 59 tahun kemudian “ (hal 216). Buku itu adalah Dialogue with Death (1937) karangan Arthur Koestler. Toety mengajak mendialogkan kematian dengan filosfi yang dirangkumnya dari cermin kehidupan dan pengalaman manusia itu sendiri. Kehidupan harus dijalani secara otentik dalam arti dengan fokus dan autonomi (hal 223). Meskipun kematian adalah akhir kehidupan tetapi tetap sebelumnya sudah membayang-bayangi hidup, karena setiap saat yang lewat merupakan “penyicilan maut yang akan merenggut” (hal 224).



Posted on Selasa, Februari 16, 2016 by Rianto

No comments

5 Desember puluhan orang berkumpul di De Rivier Hotel (eks Hotel Batavia Jakarta) berdiskusi dan mengurusi sejarah. Seminar untuk memperingati hari sejarah yang jatuh pada tanggal 14 Desember itu dihadiri oleh guru-guru sejarah pelbagai daerah, akademisi, peneliti, sejarawan dan mahasiswa.  Berkumpul mengamini sebagai bangsa yang tak lupa dengan sejarah

Sejarah berisi pelbagai ingatan tentang tokoh, tempat, dan peristiwa. Sejarah memerlukan penjelasan dan pemaparan demi pemahaman. Mengundang tokoh-tokoh moncer macam Goenawan Mohamad, Mudji Sutrisno, Anhar Gonggong, Ahmad Tohari, Taufik Abdullah, Ahmad Syafii Maarif, sebagai pembicara guna memantik ingatan akan peristiwa sejarah Indonesia.

Sejarah memang tak akan selesai  diurusi melalui mimbar seminar dan diskusi seharian. Sejarah adalah pengembaraan panjang proses ingatan mentalitas bangsa. Sejarah perlu dimaknai sebagai perjalanan mentalitas bangsa. Mudji Sutrisno sebagai pembicara utama mengingatkan akan kerja manusia sebagai Homo Magnificer, manusia adalah makhluk penafsir makna. Dalam sejarah, manusia hadir menjadi pembaca dan penafsir teks sejarah beserta konteks sejarah itu lahir.

Oleh karena itu, saat Mudji menunjukkan kepada peserta sebuah bingkai foto Presiden Soekarno yang tersenyum di sebuah kantor, di dinding kantor Sang Putra Fajar itu penuh dengan lukisan, apa makna dibalik itu semua? Apakah Soekarno bisa dibilang penikmat estetika? Di sinilah fungsi sejarah sebagai penjelas tafsir makna teks dan konteks sejarah. Sejarah adalah menamai dan menggali ingatan akan peristiwa, tokoh,  waktu dan tempat. Mentalitas sejarah dengan proses menafsir. Membaca sejarah berarti berani menafsir sejarah dalam bingkai kekuasaan.

Mudji Sutrisno mengatakan sejarah mentalitas berada  di jalan tengah. Sejarah yang mau menuliskan tidak hanya peristiwa dari kejadian sebagai fakta, tetapi mencoba menunjukan pola struktur nilai bingkai makna yang memberi roh strukturalisasi sosial, sistem politik, perilaku ekonomi pelaku-pelakunya, baik individual maupun kolektif.

Barangkali seminar diajukan sebagai cara mengingat akan pentingnya percakapan mengenai sejarah. Goenawan Mohamad mengartikan sejarah sebagai percakapan yang tak pernah selesai. Pernyataan Goenawan mengenai sejarah yang puitis itu menggugah ingatan kita untuk mengurusi sejarah yang tak akan pernah selesai dibicarakan, disanggah, dan disepakati.

Belajar dari punggawa-punggawa pembentuk imaji bangsa seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, dapat ditemui mentalitas sejarah yang dalam bahasa Benedict Anderson “komunitas terbayang”. Mereka berani membayangkan Hindia Belanda akan menjadi bangsa yang merdeka. Mentalitas mengikis sifat kuli, budak, tunduk, lemah, inlander,dibicarakan melalui diskusi-diskusi sunyi maupun terbuka diingat kembali melalui tulisan-tulisan yang tersebar dan dicetak berupa risalah- risalah, buletin, stensilan, buku, dan koran-koran. Revolusi cetak mendukung gagasan tersebar menjadi suluh yang tak pernah padam mengenai kemerdekaan. Muncullah apa yang disebut Pertja Selatan, Bintang Hindia, Medan Prijaji, Fadjar Asia menjadi alat penebar gagasan-gagasan Indonesia merdeka.

Kita meyakini sejarah hari ini hadir dan besar dari rahim sejarah versi penguasa. Sejarah dimuat dan ditulis oleh yang menang. Sebab itu sejarah selalu menunjukan kekuasaan. Goenawan Mohamad mencontohkan sejarah 65 yang penuh kontroversi dan perlunya proses rekonsiliasi.

Guru dan Rekonsiliasi

Sejarah perlu proses rekonstruksi dan rekonsiliasi. Agar sejarah tidak menjadi doktrin dan alat melanggengkan kekuasaan. Sejarah bisa berawal dari ketakutan. Di dalam tanya jawab seminar,  seorang guru sejarah curhat mengenai penarikan buku paket pelajaran sejarah di sekolah. Konon buku ditarik akibat bercover salah satu tokoh PKI. Buku ditarik dan dicetak kembali menggunakan dana BOS.

Di sini sejarah dapat diartikan sebagai ruang mempelajari sekaligus berdamai dengan ketakutan akan masa lalu. PKI masih menjadi hantu yang ditakuti dan membayang akan sejarah kelam kita. Goenawan mengatakan Orde Baru menjadikan sejarah adalah sebuah distorsi. Kini diperlukan kerja meneliti sejarah yakni menulis mengenai sejarah apa “yang dilupakan” yang lepas dari narasi sejarahnya.

Kita meyakini guru menjadi garda terdepan dalam mengatasi sejarah distorsi ini. Ibarat pemahat, guru adalah pemecah batu sandungan sejarah sehingga ada proses mempelajari sejarah untuk berani menafsirkan kekuasaan. Anhar Gonggong mengatakan guru (sejarah) adalah orang yang berhadapan dengan masa depan. Masa depan rekonsiliasi ada di tangan guru.

Kita mengingat film garapan Joshua Oppenheimer, Senyap The Look Of Silence (2014) ada seorang guru yang mengajarkan kebencian tentang sejarah 65 di kelas. Guru mengajarkan ketakutan akan sejarah kepada anak SD. Sejarah menjadi alat menebar kebencian. Ariel Heryanto (2015)  dalam bukunya Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia, menunjukan film sejarah sebagai media melanggengkan kekuasaan. Penelusuran mentalitas sejarah melalui film  sebagai upaya rekonsiliasi sejarah melalui budaya layar kaca.

Proses rekonsiliasi mengenai sejarah kelam 65 membutuhkan peran guru. Guru tak melulu mengandalkan buku paket dan Lembar Kerja Siswa (LKS) saat mengajar sekolah. Guru bisa mengajar sejarah  melalui buku-buku sastra.

Kehadiran Ahmad Tohari dalam seminar sejarah seperti hujan yang mengademkan tanah yang kering. Guru-guru sejarah kita mungkin khilaf mempelajari sejarah hanya bermodalkan buku paket dan LKS yang berisi ringkasan-ringkasan sejarah. Kita lupa dengan peran sastra dalam menjelaskan sejarah.

Melalui sastra Ahmad Tohari mengingatkan akan pembacaan sejarah melalui karya sastra seperti novel. Dongeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari justru menjadi teks membaca kisah 65. Tohari menjelaskan sastra justru memperkaya pelajaran sejarah. Tohari mengingatkan, “menulis Ronggeng Dukuh  Paruk adalah menebus hutang para wartawan dan para pengamat yang takut mengangkat pena.” Sastra lebih berbicara dibanding buku sejarah yang dicetak dan dibagikan “gratis” atas nama negara dan penguasa.

Akhirnya, kita semua, peneliti, mahasiswa, akademisi, serta guru mesti eling, mempelajari sejarah demi rekonsiliasi mengenai sejarah 65 bisa dimulai dengan diskusi karya sastra di kelas. Rekonsiliasi memang dimulai dengan kemauan membaca dan mendengar nurani yang terlupakan di dalam buku-buku sejarah, film, maupun karya sastra. Sore itu mendung, peserta seminar diajak keliling membaca bangunan sisa kolonial di Kota Tua Jakarta.

Posted on Selasa, Februari 16, 2016 by Rianto

No comments