Penggalan surat diatas menggambarkan di mana kau sangat merindukan abangmu ini. Empat bulan aku berada ditempat ini, dusun dimana orangnya sibuk mengangkat sekop dan kalau matahari pagi muncul, akan menampakan orang-orang yang berjalan beriringan dengan topi yang bercirikan kekuningan, nampak seekor garuda di topi kuningnya itu, sesekali tenggelam karena kabut tebal di pegunungan ini. Matahari pagi itu, abang enggan menulis,tak bisa membalas suratmu yang kuterima sejak seminggu yang lalu. Kini, aku harus bekerja sebagai guru di dusun ini. Dusun para priyayi dadakan, sibuk membangun sarangnya dengan cek “ada dana dari bumi”. Daripada abang hanya membaca buku dan terhanyut suratmu, kakak pikir lebih baik,memang seharusnya dituliskan dibanyak kertas tumpukan, yang kau sendiri akan menyadari bahwa abangmu juga merindukanmu.
Hari sabtu ini, memang sekolah Dusun Tiga memang libur. Peraturan disini memang aneh, seharusnya sekolah tetap berjalan. Karena pesolek itu, anak-anak binaanku harus bekerja keras untuk membeli buku dan keperluan lain untuk menyambung baca tulisnya. Terkadang aku sebagai guru sering miris melihat anak-anak binaanku menyebar menelusuri pesolek itu. Ada yang membawa kantung kresek, ada yang membawa lilin, ada pula yang bermodalkan badanya yang besar untuk mengangkat beban, berharap ada lebih sisa percikan dana dari tuhan hari ini. Sungguh, mengherankan hati.
Aku pun pagi ini, hanya membolak-balikan buku yang dikirim oleh adikku. Di halaman seratus enam belas dikatakan “Mengapa pengetahuan yang indah ini tak membawa ketenangan bagi umat manusia?”. Kalau kau tahu adikku, abang berterimakasih atas buku ini, Einstein telah mengajarakan abang melalui buku yang kau berikan ini. Setidaknya otak abang harus berfikir lebih untuk menggunakan pedagogik ini secara arif. Mencerdaskan anak-anak di “Dusun priyayi dadakan ini”.
Di rumah tempat abang “mondok” dilantai dua terlihat pembangunan yang terus masif. Abang sering terganggu dengan truk-truk dan alat berat yang lewat di depan pondokku ini. Namun, abang suka pondok ini “dusun priyayi dadakan ini” mengajarkan abangmu ini untuk menjadi manusia yang harus melihat keadaan lingkungannya lebih dekat. Sekiranya, ada sesuatu yang abang ceritakan pada anak murid senin nanti. Terlebih kepadamu.
Oleh karena itu setelah pukul 08.00 WIB nanti, abang dan anak Pak Karmin Salim namanya akan mengantarkan abang jalan-jalan menggunakan sepeda mengelilingi pesolek itu. Sepeda itu, sengaja ia pinjam dari semalam dari tetangganya. Maklum, di rumah Pak Karmin tempat abang mondok ini tak ada sepeda. Pondok ini hanya ada banyak makanan dan minuman para pekerja untuk mereklame pesolek itu disimpan. Jadi, abangmu tidak gratis untuk menggunakan sepeda ini. Balasannya, abang harus mengirim makanan dan minuman itu di camp para pekerja bertopi kuning.
Baru di halaman seratus sembilan puluh enam, ketika abang bercakap-cakap dengan Umar Kayam melalui bukunya “Para Priyayi”, Salim memanggilku untuk segera turun dari lantai dua kamarku. Akupun bergegas kedepan menuju jendela kamar kanan dengan melambaikan tangan sambil membalas panggilan salim, “Ya abang akan segera turun, tunggu sebentar. Abang membereskan buku-buku abang yang berantakan di kamar”, Sahutku. Ternyata benar, salim telah siap dengan dua sepeda menunggu kakiku untuk mengayuhnya. Kami pun langsung siap mengelilingi pesolek itu hari ini.
Lima belas menit sudah, Jalur sepeda yang kami lewati cukup membuat myelin kami merekam banyak gambaran mengenai pesolek ini. Beberapa kali aku melihat murid binaanku berada disekitar pesolek ini. Benar, mereka semua sudah mulai bekerja dari pukul tujuh sebelum matahari terbit dari timur untuk menampakan gunung kembar disebelah baratnya. Konon, disitulah letak keindahan pesolek ini. Sehingga banyak manusia-manusia yang berjejer di bambu-bambu yang dibuat sebaris sedemikian rupa untuk menjadi pijakan manusia agar matanya melihat view rona itu. Adikku, gunung Arjunamu mendapat pesaing dari pesolek ini.
Setelah hampir empat jam aku ditemani Salim untuk melihat pesolek itu, akhirnya kami pun beristirahat di Surau. Gemericik air yang deras keluar dari lubang bambu. Dengan tidak sabar air itu menghantam anak manusia mulai dari mulut sampai mata kaki, bukti terhadap hidup manusia tergantung pada Tuhan. Siang itu, aku merasa hidup kembali. abangmu telah menemukan konsep kesempurnaan hidup. Namun, satu pertanyaan, kapan terakhir aku bersua dengan merindukan Tuhan?. Adikku, ketahuilah abang merindukanmu juga.
Dari surau itu pula, terlihat jelas, camp para pekerja. Yang aku ketahui dari beberapa orang, pekerja itu berasal dari “Dusun Priyayi Dadakan” ini. Mereka semua bekerja sebagai buruh kasar di camp itu. Itulah, mereka yang setiap matahari terbit mereka berjalan beriringan membawa sekop, lengkap dengan topi kuning dan boot -nya. Ya, dari hasil bekerja sebagai buruh kasar itu, mereka dapat membangun sarangnya menjadi setengah tembok, semi permanen, kokoh. Disana pula kelak aku akan mengantarkan makanan dan minumannya.
Tapi apakah kau tahu adikku, yang mengesankan serta pelajaran berharga bagiku. Abang bertemu dengan seorang paman gaek yang abang temui di lab camp pekerja itu. Lab-nya tidak terlalu luas hanya saja banyak alat-alat untuk uji coba permeable soil serta tabung-tabung reaksi yang besar. Rambutnya yang botak ditengah, menghiasi rambutnya yang sebenarnya gondrong dan kacamata tebalnya menambah aksesoris wajah oval yang sudah keriput itu, sepertinya sangar. Dari beberapa pertanyaan yang abang ajukan, niatnya ingin tahu alat-alat yang ada di lab-nya. Abang merasa di caci-maki oleh pertanyaan ilmiah yang tak bisa dijawab. Mekanika tanah, perkolasi dan lainya yang sulit untuk mengingatnya. Abang malu sebagai pemuda yang harusnya lebih banyak membaca buku darinya. Terlebih abang, Guru di Dusun Priyayi Dadakan ini.
Dari satu jam abang bicara di Lab-nya itu, dia telah menitipkan pesan. Dimana pesan itu bisa kita ambil maknanya.
“Ketahuilah, saya titipkan bangsa ini, bangsa barat telah meminjamkan dana kepada kita bangsa budak ini dengan uang kertasnya, tapi mereka tidak mau dana ataupun uang kertas itu kita bayar dengan uang kertas lagi, mereka ingin kita membayar dengan hasil tambang dan bumi kita, oleh karena itu manusia bangsa budak ini harus pintar-pintar menjaga alam kelak kedepan”
Itulah kiranya yang ia titipkan kepada abangmu ini. Sehingga cerahnya hatimu karena gunung Arjuna tak sebanding galaunya hati abang karena pesan lelaki gaek itu. Karena, Dusun Priyayi Dadakan Ini. Sehingga muncul pertanyaan, apakah Dusun Priyayi ini dengan orang-orang di dalamnya kebanyakan menjadi buruh kasar dengan uang bayaran untuk membangun sarangnya menjadi semi permanen telah mendapat cek terimakasih, bertuliskan “Dengan kemajuan di Barat, kami telah mencicipi hasil tambang dan bumi ini dari kalian para priyayi dadakan”. Ah, Dusun Priyayi dadakan yang malang.
*Ditengah seisme yang membuat pikiran ini lelah membaca, datanglah sebuah kata-kata yang menginspirasi untuk menuliskan saja apa yang telah saya baca. Trima kasih teman, di keluarga yang tak direncanakan itu. Satu karya lagi telah dibuat.(Rianto)