Buku
ini kalau kamu ingin tahu, sering aku temui di toko buku macam blok m ataupun pasar senen. Aku belum bisa menyentuh, ataupun
membaca, membawanya ke kamar tidur. Menemani malam penuh kata dan puisi. Nah,
sekarang aku sudah punya ini buku. Kebutaan akan puisi menambah aku mabuk akan tafsir
puisi-puisi yang digubah dalam buku Ajip Rosidi, “Terkenang Topeng Cirebon”
membuatku ingin sekali mencium makna ini buku.
Buku yang diterbitkan oleh pustaka Jaya (1993)
ini dipilih dari 8 kumpulan sajak Ajip Rosidi: Ketemu di Jalan (1956), Pesta
(1956), Ular dan Kabut (1973), Sajak-Sajak Anak Matahari (1979), dan Nama dan
Makna (1988).
A.Teeuw
dalam membaca sajak-sajak Ajip Rosidi mengatakan dalam kata penganatar ini buku
bahwa,
“Ajip
Rosidi selaku Penyir dapat kita cirikan dengan empat sebutan: pengaku,
penggugat, perawi, dan perenung.”
Namun
dari keempat sifat itu Teeuw menganggap sifat pengakunyalah yang paling dominan
dalam puisi-puisinya. Sajak-sajaknya terlihat sekali menunjukan pengakuan Ajip
Rosidi sebagai orang yang beriman kepada Allah SWt. Itu terlihat secara
eksplisit di puisi-puisi macam ‘kau paling aku dari aku’ (“Sajak buat Tuhan I”)
Dan
aku begitu terharu kalau membaca pembahasan sajak-sajak yang menunjukan Ajip
Rosidi sebagai perawi. Perawi adalah pengisah. Kamu tahu, tak ada yang merasa
hebat kecuali dia adalah pengisah. Aku ingin menjadi pengisah seperti Ajip.
Yang dalam sajak-sajaknya seolah-olah ia adalah pengisah mengenai kebudayaan yang
dengan sudi berkisah menceritakan kembali tema dan motif masyarakat Sunda di
masa lampau maupun masa kini.
Namun
tak begitu mengherankan pikiran dan hatiku ketika Ajip dalam puisi-puisinya
menggambarkan tanah kelahirannya yang kedua yakni : Jakarta. Dalam pembahasan
Penyair sebagai perenung dapat diketahui sajak-sajak Ajip Rosidi yang berkisah
melaui kata tentang Jakarta. Mari kita simak sajak Ajip berjudul Lagu Jakarta, //tiada nyanyi seduka
jakarta//menempel pada bibir kering//menggigil oleh malaria//menyumpahi hari
penghisap.
Begitu
dukahkah Jakarta yang dipenuhi dengan malaria. Orkestra Jakarta penuh dengan
bunga-bunga lumpur ciliwung begitu Ajip menggambarkan dengan: //semua telah
hilang asli//dibedaki lumpur ciliwing//semua telah hilang arti//diwarnai langit
lembayung//
Inilah
teks puisi yang menjelma wajah Jakarta dalam tafisran puisi Ajip. Kamu mesti
ingat Jakarta begitu duka bagi kita. Siap melukai kita. Jakarta pun tak ubahnya
hanya, //tinggal pergulatan dalam kerja//karena darah harus mengalir/dan
kehendak beribu rupa//dalam hidup kota berjuta//
Wah,
aku berniat mengutip puisi-puisi Ajip dalam tulisan esaiku kelak tentang Jakarta
sebagai kota kelahiran keduaku juga. Aku tak tahu, apakah Jakarta kota
kelahiranmu yang kedua pula? Kota menjadi agenda penting kita untuk mengungkap
wajah-wajah kitch kita. Membogkar kepalsuan akan imajinasi dan bayang-bayang.
Aduhai, puisi menjadi jalan untuk mengerti wajah Jakarta itu. Yah, persis apa yang
diungkap Teeuw sebagai pertentangan
antara kota sebagai tempat sengsara dengan pedesaan di mana rakyat sederhana
hidup dalam keamanan.
Apa
kamu punya kuda? Kamu tahu kamu bakal merindukan apapun yang pernah menjelma
yang mengeras dalam hatimu. Apapun itu. Persis dalam puisi “Anak Sumbawa” yang
begitu kangen berat dengan kuda kesayangganya di desa, walau ia sudah punya
sepeda di kota. Yang di desa adalah memori yang tak tergantikan.
Selamat tidur sayang.....
0 komentar:
Posting Komentar