Tiga
granat meledak di panggung. Rendra mengecek mikropon.
“Saya tidak akan
mundur,” begitu kata Edi meniru Rendra
Kejadian
itu sontak membuat saya membayangkan berapi-apinya rendra saat pembacaan puisi
di Tim. Pembom tidak terlatih. Pembom melempaar sesaat hening mendengar puisi
pertama Rendra. Tapi Rendra terlatih untuk menghadapi suasana semacam itu.
“Ini forum penyair,”
kata Rendra, “Kami berdaulat di sini!”
Masa
pun riuh. Mereka tetap berada di lautan orang-orang yang berkumpul. Semangat
Edi memenggal ingatan tentang Rendra terurai bersama kami sambil duduk-duduk
dolan, sinau bareng di Bilik Literasi solo (2/12/14). Bandung Mawardi sambil berkaca-kaca, bercerita
mengenai esainya di Suara Merdeka tentang Rendra telah membawanya bertemu
dengan Edi Haryono. Esai wagunya berdiri
disamping nama-nama besar macam Ignas Kleden, Bakdi Soemanto. Buku yang
dieditori Edi. Mereka berdua berbagi ingatan tentang Rendra.
Aku
Jarang membaca buku tentang rendra, karyanya, puisinya. Aku hanya ingat pernah menonton
drama Mastodon dan Burung kondor di kampus UNJ. Pentas yang begitu berdraf-draf menghancurkan,
mempertontonkan, meledek tentara. Rendra memang pemberani. Penuturan kisah
tentang Rendra yang tetap membaca puisi mesti keluarganya mendapat surat kaleng
diancam akan dbunuh mengukuhkan ia tidak pernah mundur. Rendra memang
pemberani.
Rendra
aku baca di buku kumpulan bunga rampai "Golongan Cendikiawan". Ada tulisan esai Rendra. Dari situ aku merasa Rendra memang melawan penguasa. Mereka yang
berumah di angin adalah mereka para resi. Merekalah para intelektual
cendikiawan yang mempertaruhkan dan memaknai hidup fana ini. Buku yang di
editori oleh Dick Hartoko itu memuat pidato kebudayaan Rendra. Mengajak para cendikiawan berumah di angin.
Aku
pun sempat bertemu karya Rendra tentang bermain
drama. Edi Haryono berkisah, buku itu dikarangnya setelah Rendra ditangkap. Setelah
bebas dia mengarang buku itu. Lody F Paat pernah berkisah, guru mesti belajar
dari Rendra. Teknik mengajar rendra salah satunya adalah ketika sudah
dipanggung lupakan naskah. Bermainlah lepas, mengajarlah dengan lepas. Edi
Haryono mengatakan Rendra dalam buku itu persis langsung mempraktikan seperti
mengajar drama dengaan satu jam mempraktekan isi buku itu. Mungkin itu yang
dmaksud oleh Edi dengan Spontanitas.
Subagio
adalah kritikus sastra yang aku pernah baca tulisannya mengenai Rendra. Subagio
begitu menguliti Rendra. Subagio begitu banyak mengeritik pikiran barat Rendra.
Subagio merasa karya Rendra berupa Balada orang-orang tercinta ada kemiripan dengan karya Lorca dari
segi subyektfitas. Edi pun merasakan kritik itu tidak seutuhnya benar. Edi
menyatakan karya Lorca itu belum masuk ke Indonesia. Sedangkan karya Rendra
sudah diterbitkan.
Rendra
penuh cinta. Mengenai cinta aku jadi
teringat dengan sebuah Film yang pernah dimainkan oleh Rendra “Yang Muda Yang
bercinta”. Begitulah Rendra ia menyukai
cinta. Rendra adalah si Burung Merak. Julukan itu diberikan oleh teman Rendra
yang di Australia saat ngobrol di BonBin Jogja. Burung merak sering pamer bulu,
dan dua burung merak perempuan mengikuti si jantan.
“Itu
Rendra,” kata Edi meniru kata teman Rendra.
Edi
sering disebut sebagai si keranjang sampah. Edi begitu tekun mengkliping
tulisan-tulisan Rendra. Tulisan-tulisan Rendra mulai dari masa Sekolah, sampai
tulisan krtik Subagio pun ia masih menyimpannya.
Telepon
berdering. Rendra menelepon.
Rendra
mencari esainya. Edi begitu lega saat membantu Rendra mencari tulisannya saat Rendra berada di Barcelona.
Email berisi tulisan Rendra yang dicarinya pun dikirim.
Dalam
ingatan Edi, Rendra pernah berkata,
“Lupakan yang sudah kita kerjakan”. Mesti begitu dokumentasi tulisan-tulisan
Rendra masih ia kliping. Oleh karena itu Rendra sempat terkejut bahwa sejarah
bengkel sastra bisa ia petakan dengan baik.
Rendra
memang sudah tidak ada. Tapi dari Edi kita bisa belajar mengisi kekosongan
ingatan tentang Rendra. Mengenai kehdupannya, teman-temannya. Dan terpentng
kita mesti terpanggil untuk membaca sajak-sajak, drama, dan esai-esainya.
Menurut Edi, Rendra dalam menulis pintar memberi Judul tulisan. Ia pernah
merevisi judul terjemahan karya Samuel Becket yag tadinya “Menanti Godot,” menjadi
“Menunggu Godot”.
Begitulah Rendra dalam karnyanya selalu mudah
diingat dan mudah ducapkan oleh mulut
Indonesia. Marilah kita membaca karyaya, buatlah bata berupa kata yang kokoh,
lalu berumahlah di angin. Rendra si Burung
Merak ada di sana.
0 komentar:
Posting Komentar