Kakekku tidak
bisa membaca. Eh, nenek juga deh. Katanya mereka lebih memilih bekerja dibanding
sekolah. Makanya mereka tidak bisa membaca. Nah, kata nenek, laki-laki yang
bekerja keras lebih dipercaya dibanding yang bersekolah! Hehe, mungkin itu
persepsi nenekku aja. Terserah deh.
Kadang-kadang
sedih juga sih kalau mendengar masa kecil mereka. Sekolah kalau mau saja. Guru
sampai ke rumah-rumah untuk memanggil anak-anak muridnya untuk ujian. Sebab
kalau musim panen, mereka lebih ikut menjadi buruh tani dibanding sekolah.
Apalagi gurunya galak-galak. Sekarang, ah banyak yang malas bersekolah.
Jika
ke sekolah pasti ada dong buku pegangannya. Kalau di rumah, aku mengajari
keponakanku membaca dan menulis aku sering juga melihat-lihat, mengintip buku
pelajarannya. Terkadang bukunya bagus-bagus dengan warna-warna dan gambar menggoda.
Buku yang akan
aku ceritakan ini lain. Gambarnya tak berwarna. Wah, aku dapat buku lawas pelajaran
bahasa Indonesia. Aku tidak tahu apakah kakek dan nenek sempat megang ini buku.
Buku berjudul BAHASAKU karangan B.M. Nur dan W.J.S Poerwadarminta (1950) ini sengaja aku dapatkan
untuk menyambung imajinasi masa kecil.
Membuka
lembar-demi lembar buku ini membuatku menyambung juga memori masa kecil sekolah
kita dulu yang masih berseragam merah putih alias SD. Tetapi bahasa dibuku
lawas ini berbeda. Ejaan lawas. Aku generasi EYEDE TOEAN SOEHARTO, ini buku
kayanya pake ejaan Soewandi. Agak tersendat juga membacanya. Baru buka halaman pertama, buku ini langsung
bilang,
“Kitab peladjaran Bahasa
Indonesia Untuk Sekolah Rendah,”
Buku
bahasa ini diperuntukan untuk murid
kelas III (Tengah Tahun Ke-1). Aku gak tahu nih W.VERSLUYS NV. AMSTERDAM-DJAKARTA
ini penerbit buku ini apa bukan. Wah,
aku jadi tertarik pengen tahu sejaarah penerbit buku-buku pelajaran lawas
seperti ini. Walau aku bukan peneliti, periset, ataupun dosen bahasa Indonesia,
semoga bisa terus mendalami ilmu kanuragan memahami buku-buku lawas seperti
ini. Kalaupun ada penelitiannya semoga
aku bisa membacanya. Amin ya Allah.
Mataku
selalu tergoda dengan gambar-gambar atau ilustrasi di sebuah buku. Gambar-gambar
yang disajikan di buku ini membuatku terenyuh. Kebanyakan gambar berupa
anak-anak tak bersanda-dan bersepatu. Nah loh, sejak kapan imajinasi kita di sekolah-sekolah
diwajibkan bersepatu. Kalau di buku pelajaran seperti tahun 50-an ini saja
banyak gambar anak tak bersepatu. Eh, di kuliah atau kampus kita gak boleh pake
sandal. Kadang –kadang terpampang sangar, “Mahasiswa Gondrong dan Bersandal
Dilarang Masuk”. Sial.
Kadang-kadang
aku geli. Di cerita buku-buku ini ada yang namanya Mesum, Tembem, dan
lain-lain. Bukannya aku mengejek. Aku merasa buku ini tak masalah dengan
nama-nama seperti itu. Makanya kalau kita lihat nama-nama terdahulu, kakek, nenek
kita namanya aneh-aneh. Aku sempat mendengarkan cerita nenekku dengan
nenek-nenek lainnya (banyak bener nenek-nenek) ngomongin nama-nama itu.
Terdengar nama Centong, Pengki, Ribut, banyak deh. Aku lupa. Imajinasi orang
tua dulu gak sampai membuat nama keren-keren seperti Rianto, Rianto, Rianto.. Hehehe.
Membaca
cerita di buku bahasa ini begitu asik.
Ah, aku jadi bocah kembali. Keseharian kita adalah bahasa. Buku ini pun begitu
banyak cerita sehari-hari yang diangkat. Beuh, ada pelajaran mengarang berawal
dari gambar. Nah dulu pelajaran mengarang seperti ini aku sering diomeli ibu.
AKu memang gak pandai mengarang waktu SD kelas tiga.
Batjaan-batjaan
selalu dihadirkan dalam buku ini. Mungkin biar murid-murid kala itu biar cepat pandai baca. Ada dalam cerita
di buku ini Si Topo enggak mau jajan di
luar. Lihat dialogmya,
Si Topo suka
sekali mengudap. Tiap2 hari ia makan2 diwarung-warung dipinggir djalan. Si Amir
diadjaknya:
“Ajo, Mir kita
makan gado-gado biar aku bajar”
“Ah tidak Po,
terima kasih”, djawab si Amir.
“Aku tak suka
djadjan dipinggir Djalan.”
Setiap bacaan selalu
ditampilkan gambar-gambar. Aku jadi melihat kembali imajinasi orang-orang dulu
tak bersepatu dan bersandal di gambar itu. Setan alas! Nyekermen lebih yahud..
Aku tertarik
dengan bacaan berjudul “AWAN”. Di sini aku mendapatkam imajinasi geografi,
ruang, berada dalam bacaan ini. Gambar yang disajikan pun membuatku
membayangkan rumahku, kampungku yang terkadang masih bisa bermain di halaman
yang luas. Percakapan anak dan ayah dalam bacaan ini memuat imajiku berkata
bahasa dan geografi begitu berdekatkan. Semoga aku berjodoh dengan anak bahasa. Semoga.
Imaji anak
tentang geografis terjadi saat anak itu bertanya,
“Mengapa awan2
hitam ini tepat djalannya ajah?” tanja si Amir kepada Ajahnja.
“Awan hitam ini
rendah,” djawab ajahnja.
“Djadi djelas
kelihatan ia bergerak. Inilah jang disebutkan awan hudjan”
Dari percakapan
ini membuatku teduh. Tentu berbeda jawaban kalau Amir sekarang generasi Tablet.
Ketika ia bertanya pada mbah google, wah lebih dahsyat jawabannya. Tetapi
jawaban dari Ajah Amir membuatku berfikir bahasa menjadi agenda kita mengenalkan
apapun. Aku bersyukur menjadi mahkluk membaca dan berbahasa. Makhluk yang ingin
selalu tidur dengan buku dan kata. Karena aku ingin menjadi makhluk yang
bermakna. Tuhan aku inigin kau jadikan aku sebagai serigala kata-kata. Buas dan
haus akan daging yang berbau kata. Sayang, semoga dongengku kali ini membuatmu
terlelap kembali dengan kata-kata..
Hahaha . . . nyekermen: saya betah pake selop hanya setelah kelas 1 smp (1965)
BalasHapusDlm tahap pembiasaan (kelas 6), selop lebih sering nginal di rumah teman: datang berselop, keluar nyeker gak sadar . . .
Beda jaman, beda nuansa. Bahasa dan budaya juga mengalami perubahan. Saya malah pernah meliat foto hitam putih tempo dulu, anak2 kecil tidak berbaju alias telanjang bulat sambil asyik bermain. Maklum saat itu jaman perang, kain sangat sulit didapat bro...
BalasHapus