kelonan |
Untuk Pelukis
Uban,
Kalau saja lukisan
diibaratkan sebuah bangunan yang tersusun dari kata lalu membentuk sebuah
puisi; aku belum bisa tunjukan padamu puisi mana yang mesti digubah sebagai
prolog. Mengawini lukisan dengan keindahan kata rupa puisi mestinya bisa saja
menjadi jelmaan goresan makna, lalu mengajakmu berkata-kata, mempunyai rupakah
lukisanmu itu? Aduh, aku tidak punya puisi itu.
Beberapa waktu lalu sempat
majalah Playboy masuk ke dalam
pikiranku. Ada seorang seniman lukisan yang aku lupakan dalam ingatan namanya
itu, pernah
menulis esai yang menurutku bisa saja dikatakan sebagai syahadat lukisan. Begitu
lucu dan mungil sekali syahadat berbentuk amarahnya itu. Jika orang-orang
menganggap lukisan dibaca secara ekonomi (baca uang) menjadi gambaran kuasa
akan lukisan bagus, yang indah, yang paling estetik. Yang pertama terluka adalah sang pelukis itu sendiri.
Kita yang menikmati pun terluka, lebih dari ironi, itulah tragedi. Mengerikan.
Radhar Panca Dahana sempat
ngomel keras dalam tulisannya “Pasar
Palsu Seni Rupa Indonesia” (Dalam Sebotol Coklat Cair, Koekoesan 2008),
mengutip kecemasan Ivan Sagito saat lukisan lembunya tembus 800 juta. Ini
ironi, sebab kata Radhar pasar bikin pelukis jadi teralienasi. Simbiosa
mutualistik antara pelukis, lukisan dan apa yang dilukiskannya terpecah,
termarginal, eh saling cemburu antara ketiganya. Saat itulah seni menulis obituarinya. Semoga pelukis
uban menggendong dan berburu tafsiran Radhar itu.
Terlepas dari syahadat
itu, kegiatan berseni lukismu mewarnai kampus kita yang semakin ramai oleh
motor-motor. Dan melihat lukisan-lukisanmu yang lalu lalang seperti sepeda
motor merayu imajinasi yang mengetuk
mataku yang begitu mengantuk sebetulnya kalau melihat lukisanmu yang Mooi Indie. Sebab bukankah kita pernah mengobrol
tentang apa itu Mooi Indie. Kita
tidak pernah masuk dalam artian secara politik loh. Itu lukisanmu, bukan
politik, bukan debat realisme.
Kita ingin
selalu menggali dan membongkar lagi perasaan mengenai keindahan. Jika kita jalan-jalan naik
kereta misalnya. Mengapa dalam hati kecil dan hati yang begitu sejuk, tentram, jiwa
kota kita ingin mengatakan:
“Loh itu sawah bagus ya,” begitu dalam hati
berbicara, “Wah, itu bocah main sepak bola tanpa alas kaki di pinggir rel
begitu apik dan realis sekali jika dibuat lukisan,” tambah hati kita.
Ada kata yang ingin kita ucapkan. Menggebu
begitu deras seperti kita bertemu dengan cinta pertama. Selalu ada kerinduan
untuk mengatakan dan mengecup bibirnya yang estetik. Itulah yang indah, yang
tersentuh yang dirasa. Mengapa saat kita menjelajah dalam komputer minta
bantuan syeikh goggle. Coba kliklah
dengan kata kunci wanita cantik, apakah kamu setuju kalau wanita-wanita yang
diciptakan secara acak oleh Syeikh google
itu yang indah-yang estetik. Keindahan tidak selalu mirip seperti anak perawan, selalu dikamar, menunggu
untuk dipilih. Kecantikannya menunggu untuk disodorkan bagi yang berduit. Aduh Syeikh Google ini bukan zaman Siti Nurbaya lagi!
Melihat lukisan itu
Lukisan itu terpampang
sudah lebih sebulan di ruangan kecil tiga kosong lima menjadi ruang berbeda. Sebab apapun bentuk gambar,
kemunculan rupa lukisan entah itu hanya warna yang tidak berbentuk yang
mengugah imajinatif saja pun dapat kita katakan sebetulnya ada yang berbeda,
mata begitu dimanjakan jika kita menyukai lukisan. Sebab Pelukis Uban sebagai
aktor sekaligus sutradara dalam drama lukisannya. Kalau begitu, sebetulnya Pelukis
Uban adalah subjek utama untuk kita bertanya mengapa ini kok dilukis begini?
Kenapa kok ini lukisan yang katanya penyanyi terkenal dari barat itu, saat kita
mengenal dan mengenang rupanya secara hebat karena mempengaruhi imaginasi semua orang. Kini seolah-olah rupa
itu menjadi sebuah olok-olok,
“Wah inikan mirip temanmu?
Bukan Jhon Lenon,” begitu ungkapnya.
Pertama, ungkapan itu justru bukanlah
olok-olok. Tapi bentuk apresiasi secara langsung menunjukan permainan goresanmu dalam
lukisan itu begitu (tidak) khusyuk mengenai kedetailan. Terkadang orang-orang
suka dengan kedeatilan. Sebab Pelukis Uban sendirilah yang menginginkan itu. Menghindar
dari kedetailan. Mirip tidak mirip.
how are you today |
Kedua, katanya Pelukis Uban justru mengolok-olok
realitas ornag-orang sekarang. Saat Pelukis Uban mendongeng bahwa lukisannya
untuk mengolok-olok realitas. Seperti kata yang banyak muncul dan kadang-kadang
ingin kita maki, tetapi terkadang-kadang kita juga cekikikan sendiri, terhibur
melihat itu kata, “Piye Kabare, Penak Zamanku Toh”. Halloo, apa kabar kamu hari
ini? Masihkah orang-orang hari ini rindu dengan si Piye Kabare itu, yang
dihujat selalu, tetapi diam-diam ada orang-orang-orang yang ingin kembali ke
masa lalu dan memujanya sampai mati. Pelukis Uban ingin berkata seperti itu.
Namun apalah daya bung, orang-orang tidak bisa menafsir itu dengan berbekal ,“how
are you today”. Biarlah imajinasi liar bermain-main sendiri, menafsir semaunya.
Kita bisa belajar dan berdialog dengan Kusnadi dalam
tulisannya di Horison (1986) menangkap mantap lukisan “Ibuku” (1940) Affandi
sebagai masterpiece yang unik. Menurut Kusnadi, Affandi bukan hanya
mengungkapkan keahlian menangkap wajah secara fisik/anatomis sempurna. Pun
mampu menperlihatkan kecenderungan pribadi seniman yang sangat memperhatikan
segi perwatakan atau karakter daripada model. Memandang mimik wajah ibu dan
melihat tangannya kita begitu menjadi makhluk yang bersedih hati melihat itu
gambar.
Dalam buku yang berisi tulisan-tulisan Sudjojono yang aku
berikan pada Pelukis Uban. Bicaralah, katakanlah bahwa Sudjojono yang kita
kenang melalui tulisan-tulisan hebat itu yang kita sempat obrolkan; begitu
garang mengenai lukisan mooi indie
dan realitas. Saat Sudjojono melukis kata mengenai biografi singkat Van Googh
bukankah ada obrolan antara pelukis Van Gogh dan temannya yang penyair itu. Bagaimana
mereka ngobrol begitu seru tentang
apa yang Van Gogh lukis, dan apa yang digambarkan penyair itu melalui puisi mengenai
seorang wanita?
cerita dari desa |
Aih, ini bukan propaganda
loh. Karena kita hidup di sejarah zaman politik yang lucu. Berbicara realitas
mesti dikait-kaitkan dengan ideologi X lagi! Bukan itu. Mata mesti jujur.
Mungkin itulah apa yang mau diungkap Sudjojono mengenai jiwa ketok. Pelukis
berjiwa ketok. Sudjojono dalam mengajar
lukisan tidak pernah mengajarkan perspektif. Mia Bustam dalam bukunya Sudjojono
dan Aku (ISAI,2013) mengungkapkan Mas Djon itu cuma bilang, “gunakan matamu
baik-baik”. Sudjojono mungkin akan menangis jika Pelukis Uban dalam melukis hanya meniru-niru
saja, tidak punya minyak rambut untuk bergaya semaumu. Kerja melukis bukan
untuk menciptakan Sudjojono-Sudjono atau Affandi-Affandi baru. Tapi bermuncullah
dari dalam sarung, dari kelambu, dari popok, pelukis-pelukis yang mempunyai
gairah baru.
Apresiasi
Melihat lukisan berwarna
dari Pelukis Uban membuatku terkenang akan imajinasi lucu ketika proses lukisan
itu dibuatnya. Bisa saja kita membayangkan, Pelukis Uban begitu sibuk mencari
pinjaman untuk membeli cat, kuas, dan kanvas. Sibuk mengurus kuliah yang tak
beres. Membayangkan suara orkestra lagu-lagu barat sampai dangdut mengalun
menghampiri memori saat melukis yang keluar dari hape bututnya. Lebih riskan
dan lirih, kalau sambil melukis tidak hanya lagu efek rumah kaca yang ia putar tapi juga
lagu panas dalam cowboy kampus mengalun
mengeluh rendah minta didengarkan oleh telinganya. Sehingga meresap
dalam kuas-kuasnya.
Lalu saat lukisan jadi.
Banyak orang-orang bilang ini bagus, ini tidak. Orang-orang yang berkata ini
bagus, ini tidak membuatku membayang mereka itu sebetulnya warga dari mana.
Kampung sebelah? Anak gang? Atau anak kompleks? Bentuk Apresiasikah?
Ingat lukisan, ingat
pelukis Mandra. Dalam salah satu tulisannya Umar Kayam pernah menulis secara
bagus mengenai kehidupan pelukis Mandra di Bali. Umar Kayam, menulis sebuah kitcsh dalam lukisan. Untuk membongkar
pikiran palsu kita tentang pujian dan apresiasi usang.
Pelukis Uban, gue mau dong ini di pajang di kamar gue, hehe.. |
Umar Kayam mencontohkan
Pelukis Mandra di Bali, cara untuk memuji tanpa kitsch. Melukis sebuah
pemandangan, ada yang heran ada yang tidak. Mandra sengaja lukisan yang ia buat
dipajang di luar agar orang-orang kampung; anak, orang tua, tetangga sebelah
melihat itu. Dan orang-orang di sekitarnya itu anak dan orang tua yang
tetangganya itu, lewat sambil bilang, “beuh, beuh, beuh”. Dari ucapan,
“beuh-beuh, beuh,beuh,” sambil mengangkat jempol ataupun tidak, menunjukan
Mandra pelukis hebat. Itu cara lugu apresiasi masyarakat di kampungnya yang
terbiasa dengan lukisan-lukisan Mandra.
Ada kedekatan Mandra dan masyarakatnya itu. Tidak ada pujian palsu dan jempol
palsu.
Jadi aku juga membayangkan
saat lukisanmu itu dipajang di ruang tiga kosong lima maupun di pajang di
Museum Bank Mandiri di Kota saat itu. Orang-orang yang sengaja melihat, datang,
menuju museum bank Mandiri melihat lukisan mu itu, adalah orang-orang yang
kesepian akan wajah-wajah desa, wajah-wajah pemandangan, bahkan diam-diam rindu, kangen menyibak wajah-wajah
negativitas.
Ada gerak tubuh yang
secara kosmologis ingin kita bongkar mengapa mereka meluangkan waktu untuk melihat
lukisan ataupun apapun yang dipajang dalam apresiasi itu? Persis yang Umar
Kayam tanyakan pula mengenai apresiasi orang-orang kota itu, kitcsh atau bukan.
Jika aku melihat lukisan
dari pelukis uban berjudul “Cerita dari Desa”, jika aku bilang, “beuh-beuh, ini
bagus” aku takut terjebak apa yang disebut dengan kitch itu. Pemandangan bocah
bermain dipinggir sawah/ladang itu. Eh aku salah tafsir, itu kata Pelukis Uban
gambar anak-anak yang bermain di rel kereta. Gambaran itu memang menjelma sebuah kerinduan aku sendiri. Saat aku tak bisa memungkiri rasa kerinduan
akan rumahku sendiri. Aku menjadi begitu terharu, rindu, dan ingin
berjalan-jalan lagi di sawah ataupun bermain direl-rel kereta seperti itu. Kota
mencaplok imajinasiku mengenai sawah,.rel kereta, menculik pemandangan itu. Betul aku saat ini
bisa saja balik ke kampung bermain di
sawah ataupun bermain-main lagi di rel kereta untuk menaruh paku di rel kereta
dan menjadikannya pisau kecil lagi bersama bocah-bocah di memoriku. Tapi itu tidak bi sa
dibeli begitu saja.
gundik |
Mungkin inilah aku
menjawab teks lukisan uban melalui perjalanan imajinasiku sendiri. Memori desa
seperti hilang. Pun yang ada hanya imajinasi angkuh kota-kota. Jakarta ada
dimana-mana. Di pikirian, di selokan, di ketiak, di kutang, dan di
spanduk-spanduk caleg beraroma kota, bergairah Jakarta. Kerinduan kita begitu
tidak tertahan akan wajah-wajah desa.
Melihat lukisan pelukis
uban berjudul kelonan pertama,
membuat kita kembali pada ingatan-ingatan untuk ikut terlibat apa betul kita
bisa memaknai lukisan Pelukis Uban menjadi gerak kosmologis tubuh kecil yang
pernah dikeloni seperti itu juga? Warna-warni imajinasi Pelukis Uban menjadikan
mata kita memang menyukai yang warna daripada yang redup. Jiwa kita suka yang
warna daripada yang redup itu. Kosmologi tubuh kita jadi terlibat dalam kelonan
warna itu.
Sebagai epilog dalam
tulisan picisan ini, lukisan “Gundik” dari pelukis uban menjadi kutipan dahsyat
dari makna kita yang sudah membaca tulisan-tulisan Sudjojono mengenai realitas
dalam lukisan. Cerdas, gundik dilukis gak berdada besar dan montok kan? Hehe,
seperti Sudjojono mengambar perut gembrot ya gembrot.
Bicara gundik aku teringat
akan buku Dolly (1983) karangan Tahjo Purnomo yang diperindah oleh Ashadi
Siregar. Mungkin dengan diskusi buku itu agar kita banyak mengobrol dan
mengerti tentang kosmologi tubuh perempuan-perempuan itu. Biarlah gambaran
perempuan-perempuan yang sering kita negativitaskan dengan bermacam-macam merek
seperti gundik, pelacur, toh Pelukis Uban coba melukiskan, menggambarkan ada
sisi kemanusiaan yang tidak bisa kita elak: keelokan tubuh perempuan adalah
kemanusian itu sendiri. Bukan sampah.
Lukisanmu adalah
perempuan. Kita tidak memperolok-olok secara membabi tuli. Kita mesti
mendengar, ada suara-suara dari lukisanmu berwajah cerah seperti wanita-wanita
pemanggul beban itu. Memanggil kita dengan genit untuk digambar, kita lukis,
kita tulis, kita puisikan dengan sejuk dengan mataku, dengan matamu. Plotinos
menanggap yang estetik, keindahan itu kembali lagi ke mata kita masing-masing.
Boleh jugalah, kacamataku, kacamatamu. Begitu.
* bentuk apresiasiku untuk Pelukis Uban
Oleh Rianto, Pemahat Kata, bercita-cita menjadi pengepul buku-buku berbau lukisan.
0 komentar:
Posting Komentar