Bekasi menjadi duka
bagi pejalan kaki. Seperti keong jang merangkak pelan-pelan tak pernah berlari
kami melintas lampu-lampu kota menuju Stasiun Bekasi. Komuter, gerak kalian
begitu cepat. Adegan larimu kenapa begitu terburu? Aku jarang merasakan seperti
orang-orang jang beradu cepat mendapat tiket kereta seperti kalian.
Ah sial.. Aku
salah mengantri. Aku tidak mengerti betul tentang naik kereta. Biarlah lama
mengantri, asalkan aku kembali menginjak di tanah Jakarta. Jakarta aku begitu kembali rindu dengannja. Padahal, jika sudah dikereta tidak perlu limabelas menit aku
sudah dapat memelukmu lagi. Sajang, aku betul-betul rindu padamu.
Menungu, Jakarta
membuat aku terus menunggu. Di peron itu penuh orang-orang jang bermuka lesu.
Oh tidak, sebegitu sendukah. Aku jadi teringat ibu jang mengendong anaknja
menghampiriku. Ia tidak mau mengantri, karena mengendong anaknja itu.
Dengan wajah sendu dan capek, si Ibu
menghampiriku dan berkata, “Mas, aku bisa menitip tiket?”
Mungkin orang-orang sekitar ada jang kesal
atau ada juga jang memaklumi kalau si ibu itu mengantri didekatku. Boam deh, itu keputusanku.
Ketika aku
tanja, ternjata si ibu pulang ke Bogor. Menaiki comuter line malam ini, ia pun selalu melihat jam tangannja jang berwarna
perak itu dan berkata, “Biasanja sampai jam sebelas malam mas baru di Bogor”.
Si ibu mengatakan itu dengan sendu. Ternjata si ibu hanja melintas Jakarta. Sedangkan
aku akan dikeloni Jakarta malam ini. Kepelukan hangatan kota itu.
Semakin malam, orang-orang
begitu semakin tampak sendu. Ada juga jang bergembira, ketika suara dari
speaker mengatakan kereta baru tiba Jatinegara. Aku belum bisa menghitung lama
atau tidaknja. Di peron itu wajah-wajah orang-orang jang begitu capek dan lelah
sehabis menghadapi ganasnja kota menjadi kartu as untuk membaca wajah kota.
Orang-orang itu begitu lucu. Mengapa mereka tidak ada jang
membawa tombak, pistol, ataupun granat untuk melawan monster jang bernama kota?
Oh aku baru mengerti wajah ketakutan kota bisa diredam dengan telepon genggam.
Aku jadi berterimakasih bagi penemu telepon genggam, kamu menyelamatkan
wajah-wajah sendu itu. Penjelamat dari ketakutan akan kota.

“Jika harus membenci orang yang
sangat kau cintai apa yang kau lakukan?”
Aku pun menutup buku itu. Kereta
berjalan dengan begitu santai. Aku pernah membenci kota. Dan berkali-kali aku
jatuh cinta kembali padanja.
Mungkin aku menjawabnja seperti
ini
Untungnya kereta
tidak penuh. Orang-orang bisa menghibur dirinja. Mengobrol, merapikan barang,
memomong anaknya, bermain telepon genggam,. Ada juga jang tidur ayam melepas
lelah. Dan aku menjadi mata jang tak tidur memperhatikan mereka dan suara-suara
dari entah mana asalnja memberitahukan telingaku, “Stasiun Cakung,” begitu
teriaknja. Aku mengajak temanku untuk turun di Stasiun Buaran berharap
metromini 47 masih ada.
Kami turun dari kereta.
Sajangku, aku
sebetulnja agak lelah. Kenapa engkau tak menjemputku dengan metromini itu. Kali
ini engkau membuat aku harus menunggu kendaraan mana lagi jang bisa mengantarku
ke kampus. Sajang, aku tidak mau naik taksi, ja aku berhitung mungkin ada jang lebih murah.
Ah, aku membacamu secara ekonomi lagi.
Kamu tahu, kami
coba menaiki bajaj. Tapi harga tidak sesuai dan tak ada kata sepakat. Urung
niat kami naik bajaj. Berharap transjakarta datang menjemput kami. Kami pun
jalan menuju shelter terdekat. Kucing meraung-raung di sekitar pohon bambu menjadi
lonceng. Tanda ada pejalan kaki memasuki sarangnja. Aku mengusik.
Kota selalu
menjadi keajaiban dan keberuntungan. Angkot merah 25 menjemputku sajang. Engkau
begitu baik. Sekali lagi aku bersjukur, mungkin engkau sengaja membawakannja
bagiku sebagai kejutan. Angkot merah menjadi ruang kota tersempit saat tubuhku
memasukinja. Kami berpadat-padatan dengan penumpang lain. Kepadatan ada di angkot
juga.
Jakarta begitu
angkuh. Malam-malam seperti ini engkau menutup diri. Di ruang kecil angkot itu
kami juga dihampiri pengamen kecil menjanji pop. Gila pikirku, diam-diam engkau
menghadirkan pemusik cilik itu untuk menghibur wajah-wajah sendu di angkot itu.
Tak ada dialog diangkot. Mal tutup. Ada pedagang pasar malam jang masih melek
menjual baju-bajunja.

Kota tidak pernah
membiarkan orang-orang berlari untuk finish. Kecepatan kendaraan begitu cerewet
memanjakan orang-orang untuk beradu lari. Tetap saja kota sudah bosan dengan
kecepatan orang-orang dengan keangkuhan slogan pembangunanja. Tetap sadja orang-orang
itu lambat, pelan, mengalun rendah.
Kota selalu
menuntut kita merubah kecepatan. Justru saat kita mencoba merubah kecepatan
sebetulnja kita semakin melambat dan semakin lambat. Rudolf Blum (1971) dalam tulisannja Pengertian Mengenai perubahan Sosio Kultural menghentak dengan
uraian problem kelambatan budaya.
“Rupanja problim manusia jang
sesungguhnja,” katanja, “Ialah soal
menjesuaikan pola-pola pikiran dan kelakuannja dengan taraf tertentu dalam
perkembangan tehnik.”

Kita mesti
urakan. Persis jang Rendra katakan sebagai alternatip kaum urakan sebagai perlawanan budaya kota jang
memuja kecepatan itu. Kita mesti menjadi urakan untuk melawan keangkuhan
kota. Karena kota selalu mencengkeram untuk
mengamini kebudayaan mapan sebagai simbol membaca kota jang ideal. Menjadi
urakan berarti kita, “membangun moral baru atas dasar keinsjafan baru. Dan
itupun tidak terlepas dari tradisi, melainkan sesuai dengan tradisi jang sednag
berkembang, dan dengan mata terbuka.”
Larik do’a menjadi
orang kota adalah menjadi jang mapan. Akhirnja Kita menjadi individu jang tidak boleh berdialog dengan kota. Dengan
sesama kita mesti harus cepat berlari dan terkadang saling menjegal. Kota tidak
mengharapkan keong-keong. Lemah dan lambat.
Terminal Rawamangun menjadi
pemberhentian angkot kami.

0 komentar:
Posting Komentar