Hujan membasahi jalan Jakarta. Hujan
menulis biografi harmoni kota ini dimanjakan juga oleh udara yang sejuk, yang adem. Mesti
udara yang adem belum meredakan kepala yang pusing sehabis dari diskusi buku“Kekerasan
Budaya Pasca 1965” karangan Wijaya Herlambang (Marjin Kiri,2013) mengenai penghancuran PKI melalui budaya.
Untuk
mengademkan pikiran, aku
bersama Larissa Huda melangkah ke tempat sketsa Romo Mudji. Di pintu masuk
pameran, mata dibasuh siraman sketsa berwarna Romo Mudji. Membuat mata kami segar mandi dengan stupa-stupa yang mengundang imajinasi sebuah goresan perjalanan-perjalanan.
Melihat sketsa Romo Mudji
mengembalikan kita pada ritus purba nan hakiki. Manusia adalah makhluk religius. Rupa kita sebagai makhluk religius bisa ditelusuri melalui rupa
arsitektur stupa-stupa, begitu kiranya. Dalam kuliah estetika ekstension course STF Dryarkara, Romo
Mudji pernah mengatakan melalui perjalananlah sebuah ritus hayat-menghayati
inti kehidupan itu dapat dimaknai.
Sebab itulah, perjalanan adalah
sebuah hirup makna. Hasilnya goresan sketsa Romo Mudji selalu penuh dengan makna perjalanan estetik berinti pada religiusitas
itu sendiri. Maka dapat kita temui dialog inspirasi religius bertemu yang
estetik rupa stupa-stupa.
Kali ini berwarna, begitu kata Romo
Mudji. Perjalanan-perjalanan
penuh religiusitas bersama Seno Joko Suyanto di Kathmandu, Nepal memberi
inspirasi warna pada sketsa-sketsanya.
“Jika kalian ke Kathmandu,” menurut Romo Mudji, “Inspirasi warna ritus suci
merah, kuning, hijau yang tersiram di puncak-puncak stupa merupakan tanda ucap
syukur atas hidup.”
Sketsa Romo Mudji yang terbiasa dengan hitam putih kini
menjelma warna menyibak rasa suasana religius. Warna dalam sketsa-sketsa ini
persis dioleskan Romo Mudji sebagai tanda kita sebagai manusia yang merayakan
yang hidup. Itulah sebuah perayaan hidup, meriahlah kita sebagai manusia yang
merayakan wajah kehidupan
itu sendiri.
Dalam sketsa “Perayaan Kehidupan”,
goresan warna-warna sketsa itu merupa stupa menjadi tegur sapa dari yang warna
ke yang estetik, lalu menjelma menjadi yang religius. Menurutku, sketsa stupa-stupa itu bisa dikatakan
sebagai bayang dari hidup yang dibalut dalam pengalaman dan perjalanan menjelma
sketsa yang riuh, gaduh, senyap, lalu sunyi dari Romo Mudji mengingatkan
pada kecintaannya
terhadap Borobudur.
Di sinilah aku disapa untuk menyalami apa yang diucap Romo sebagai pemaknaan
kembali dengan perjalanan itu sendiri. Stupa-stupa yang dikunjungi dan
digoreskan oleh Romo merupakan pemaknaan kembali ritual hidup itu sendiri dalam
mengenal kearsitekturan religius kita yakni simbol-simbol yang diwakili oleh Borobudur itu
sendiri.
“Kecintaan pada Borobudur”
menurutnya, “Telah membawaku tidak hanya
upaya mengenalnya dalam perbandingan dengan candi-candi budhis di Ayuthaya
Thailand dan Angkor Watt di Kamboja namun pula membuatku mengajar dan menulis
mengenai Budhisme, bahkan ketika di Kamakura Jepang mendalami perkembangannya
dalam Budhisme Zen setelah Budhisme dari India bergerak ke China lalu ke Jepang
dalam perbandingan dengan yang di Asia Tenggara. Dari pandangan keluar
tersembullah dorongan pandang ke dalam untuk menulis renung estetika religiusitas
Borobudur.”
Aku begitu terharu, atas pengalaman
Romo Mudji dalam memaknai Borobudur. Kita sering melihat Borobudur sebagai
situs mati. Tidak hidup. Romo Mudji mencoba menghidupkan Borobudur itu sebagai
jalan religi. Jika hari ini kita melihat banyak anak-anak seragam lalu
lalang naik tangga lengkap dengan kameranya
memotret diri dan Borobudur, ada pertanyaan polos yang mesti kita
ajukan, apakah Borobudur
itu hidup sebagai yang berbicara atau mati menumpuk di album-album dan
instagram?
Borobudur mengajak dialog
saudara-saudara. Romo Mudji mengatakan, “Ketika masih kanak”, begitu menurut
Romo, “Mendaki Borobudur adalah lomba cepat berlari ke atas lalu turun lagi”.
Dalam lomba lari yang membuatnya abai itulah ia bersyukur ditemani oleh guru yang sudi berkisah
mengenai candi dan perjalanan hidup Sidharta Gautama.
Kita juga sering abai. Saat melakukan perjalanan-perjalanan
seperti ke candi dan stupa.Kita sibuk dan asyik memotret diri
dengan latar candai atau stupa. Bukan berjaan dengan hening dan tenang membaca
kembali memori masa lalu melalui candi dan stupa. Padahal disitulah rima religiusitas kita
diasah kembali.
Bukankah arsitektur berupa candi dan stupa itu bukan saja kita maknai sebagai ritus sejarah yang didalamnya bercerita kehebatan tentang raja-raja? Kita diajak menyelami kembali untuk merasakan jalan religisitas hening kita, melalui mereka yang membangun stupa dan candi itu untuk menyiram kembali kecintaan kita akan ritus negeri ini bagi siapa saja yang melihat, menyentuh, sekaligus memotretnya melalui sketsa maupun foto.
Bukankah arsitektur berupa candi dan stupa itu bukan saja kita maknai sebagai ritus sejarah yang didalamnya bercerita kehebatan tentang raja-raja? Kita diajak menyelami kembali untuk merasakan jalan religisitas hening kita, melalui mereka yang membangun stupa dan candi itu untuk menyiram kembali kecintaan kita akan ritus negeri ini bagi siapa saja yang melihat, menyentuh, sekaligus memotretnya melalui sketsa maupun foto.
Seminari menegah Mertoyudan Magelang itulah Romo Mudji bertemu
dengan guru kebudayaannya. Guru yang menurut Romo telah menyapa, guru yang
mengajak mencintai dan mengenal Borobudur. Pijakan awal inilah yang menjadikan
perjalanan untuk mengenal candi demi rasa ingin tahu memintal perjalanannya
dari stupa ke stupa yang lain.
“Inilah
guru budaya yang mengajak dan menanamkan pada kami dalam tindak laku pepatah
yang berbunyi: yang tidak mengenal akan
tidak mampu menyayangi,” begitu kata
Romo.
Barangkali saja sketsa-sketsa romo Mudji ini telah mengundang
kita juga untuk memaknai religiusitas dengan perjalanan kita sendiri. Dari
sketsa berwarna itu telah menjelma kata yang menyapa kita untuk merayakan
hidup.Selama kita merayakan hidup melalui religiusitas, manusia bukanlah
makhluk picisan. Sapaan
sketsa berwarna Romo Mudji ini
seperti sudah menjelma puisi. Mungkin saja lebih dari itu. Mungkin saja….
Tulisan ini aku kirim ke buletin sastra STOMATA...
0 komentar:
Posting Komentar