Taufik
Ismail mengenang haji adalah sebuah perjalanan air mata. Perjalanan haji
menghasilkan kisah dan puisi. Taufik Ismail mengenang haji dengan puisi “Ziarah
ke Kubur Sendiri”. Mari simak do’a dari penggalan puisi yang bergema, //Terdengarkah olehmu do’a terakhir itu//Diucapkan
menjelang matahari terbenam//Dibacakan oleh dua juta jamaah//Diratapkan oleh
mayat-mayat ini//Dua juta mayat yang tegak, yang duduk, yang tiarap//Apalagi
beda antara do’a dan ratap//. Puisi menjelma kisah haji yang bermakna.
Manusia berhaji dan berpuisi. Memekik renungan perjalanan haji melalui puisi
penuh zikir.
Di
masa silam kita dapat menemukan haji yang rajin menulis kisah-kisah perjalanan
hajinya. Kisah haji yang disusun Henri Chambert-Loir (2013) yang termuat dalam tiga
jilid bukunya Naik Haji di Masa Silam menjadi
renungan haji yang memukau. Dalam penelusuran sejarah naik haji itu ditemukan kisah
orang sunda naik haji.
Salah
satunya Raden Demang Panji Nagara pernah melakukan perjalanan haji pada tahun
1852. Raden Demang Panji Nagara merupakan seorang bangsawan berasal dari
Sumedang. Ia berangkat bersama 24 orang
melalui desa Tomo lalu menumpang sebuah kapal Arab menjalankan ibadah
haji. Dalam buku Ensiklopedi Sunda (2000) tercatat Haji Purwa pernah melakukan
perjalanan haji pada tahun 1337. Konon Haji Purwa adalah haji pertama yang
melakukan perjalanan haji.
Di masa silam perjalanan haji menuai
renungan. Perjalanan haji pun memantik untuk menulis kritik haji sebagai pembelajaran.
Kita terkenang akan Boekoe Woelang Hadji
karya Raden Moehammad Hoesen (1873). Wulang
yang berarti pengajaran ini memang dimaksudkan sebagai buku pelajaran bagi
yang berniat naik haji waktu itu. Suryadi (2013) mengatakan Boekoe Woelang Hadji yang disusun oleh
sorang pemimpin pribumi di Karesidenan Priangan
ini melihat fenomena haji dengan sangat kritis. Menurut Raden Moehammad
Hoesen yang menulis kritiknya melalui syair itu mengatakan bahwa tak ada
gunanya beribadah haji itu apabila orang yang melakukannya menyia-nyiakan keluarganya,
di kampungnya meninggalkan mereka dalam ketiadaan jaminan uang dan kebutuhan hidup.
Kita
bisa menduga haji di masa silam dilakukan oleh para priyayi, para menak, yang
ditandai dengan melek huruf dan mampu menulis. Perjalanan haji fenomenal dari
orang sunda pernah dilakukan bupati R.A.A Wiranatakoesoema. Ia menulis kisah perjalanan hajinya yang
paling bersifat pribadi dan terperinci. Dari kisah bupati naik haji itu kita
dapat menduga dapat menelusuri sejarah tanah sunda modern. Biola menjadi kata
kunci modernitas.
Musik
menjadi pengingat memori dalam perjalanan haji mengenang tanah kelahiran. Wiranatakoesoema
bermain musik dengan menggesek biola. Wiranatakoesoema menulis, “tatkala saya membunyikan lagu-lagu Sunda,
maka terbayanglah pada kenang-kenangan saya, diri saya sebagai seorang anak
kecil di kabupaten di tengah orang yang saya cintai”.Wiranatakoesoema
terkenang akan eropa saat menggesek biola membunyikan lagu-lagu eropa. Saat
itulah Wiranatakoesoema merasa, “terkenanglah
saya akan masa dipindahkan dari dunia bumiputra ke dunia eropa, dan akan
perbantahan yang hebat dalam hati saya antara kedua pemandangan kehidupan itu.
Kisah-kisah
haji memuncak pada keyakinan kita bahwa menulis kisah perjalanan haji menjadi
do’a dan kenangan. Haji memuat kisah, tokoh, peristiwa, mitos, menjadikan kisah
perjalanan haji merupakan khasanah kebudayaan tulis yang sangat berharga. Kita
pun dapat mengenang dan mengambil hikmah para haji yang menulis kisahnya di
masa silam. Dari sana cerita menjadi do’a.
Menjadi petunjuk hidup mengenang tokoh haji orang sunda yang menulis.
Persis apa yang diungkap Ajip Rosidi dalam buku Apa Siapa Orang Sunda, ia mengingatkan,“Di kalangan orang Sunda
sendiri tak ada tradisi menulis dan menyusun dokumentasi, sehingga tak heran
kalau generasi belakangan merasa “pareumeun obor’, kehilangan petunjuk
tentang hubungan dengan nenek moyang dan saudara-saudara sendiri.Semoga kita
tak pernah kehilangan obor itu. Tabik!
0 komentar:
Posting Komentar