I
Kota
kecil macam Spectre dengan rumput dan
daun-daun yang hijau tetap saja membutuhkan seorang penyair sebagai pemikat
pagi yang penuh susu dan roti. Imajinasi itu muncul ketika penyair
yang mirip“ikan kecil” masuk
ke kota kecil pula yang di dalamnya orang-orang enggan, bahkan tak ingin
bersepatu. Barangkali kota tak membutuhkan sepatu. Kota butuh penyair saat
malam-malam gembira dengan musik penuh gairah membuat orang-orang menghentakan
kaki ikut berdansa sambil bersajak.
Sang
penyair duduk dikelilingi perempuan-perempuan cantik yang penuh pesona menunggu
kata pertama dalam bait syair sang penyair itu. Kertas yang sedari tadi
dipegangnya memikat wanita-wanita disekelilingnya. Saat
penyair membacakan dengan pelan dan datar sajaknya, “Mawar merah// violet biru// Aku cinta Spectre”. Itulah puisi
penghabisan dari sang penyair bernama Norther Winslow dalam film Big Fish. Yang tak tersadari dari sang
penyair sendiri: kota hanya menjadi tempat transit saja bagi seorang penyair.
Mendiami kota untuk berpisah dan bersajak.
Terkadang kota dengan deru dan debu menjadi ruang imaji yang
dipuisikan dan dituliskan oleh orang-orang. Sebab itu saat Chairil Anwar menyebutkan
kata ‘pelabuhan’ dalam sajak “Kawanku dan Aku” ada kesan kerinduan
imajinatif tentang hidup bahwa kita makhluk yang mengenang dan memikat simbol-simbol
kota dengan sajak. Chairil memang orang yang
mengungkapkan lapar hidupnya dalam sajak-sajak begitu kata Teeuw dalam bukunya Tergantung Pada Kata (1983).
Kami sama pejalan larut
Menembus kabut
Hujan mengucur badan
Berkakuan
kapal-kapal di pelabuhan
Kota
selalu dihidupi oleh orang-orang dengan rasa lapar akan sajak dan prosa. Kita
merasakan serigala-serigala yang mengungkapkan kota dengan sedikit sendu. Kota
tak berdaya tanpa sebuah sajak dan prosa.
II
Kota memperoleh cahaya lampu
modernitas melalui sajak. Dalam cetakan
terbatas Chairil dan Kota (2008) yang digubah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)
Marco Kusumawijaya menulis esai memikat akan tafsiran aku sebagai subyek dalam
modernitas. Esai panjangnya memuat kutipan penuh sajak-sajak Chairil. Menempatkan
sajak-sajak Chairil pada tafsir landasan modernitas membaca kota. Marco memberi koma yang mesti dilanjutkan bagi
penafisr kota dalam sajak Chairil “Aku
Bekisar Antara Mereka” merupakan sajak “jagoan” pilihan Marco yang paling
mengena. Lagu pop, trem,
lampu, serta bioskop yang memutar film
Amerika memadat dalam sajak yang mengerti kota dengan, “aku pakai mata mereka”.
Sandarkan
tulang belulang pada lampu jalan saja,
Sedang tahun
gempita terus berkata.
Hujan menimpa.
Kami tunggu trem dari kota
Dari pembacaan sajak itu, saat saya
berjalan di sela kota yang murung akibat mendung, bau aspal yang lebab sehabis
hujan semalam kaki memasuki ruang pameran di Galeri Cipta III Taman Ismail
Marzuki yang gemerlap dengan lampu-lampu terkenang akan sajak Chairil itu.
Meminjam
istilah Bre Redana “kita merayakan hal-hal kecil“ dalam mengerti simbol kota
dengan lampu, jalan aspal, menara-menara. Barangkali apa yang dimaksud oleh
Rudolf Mrazek dalam bukunya Engineers Of
Happy Land (2006) ada perkembangan kota yang terus memikat kita dengan para
pesolek kota. Di buku itu ada seorang yang hidup di zaman bergerak macam Marco Kartidikromo
yang tajam ide-idenya membuat novel Student
Hidjo di tahun 1918-an di saat kota-kota tumbuh merangkak menjadi remaja. Pesolek yang merekam perkembangan kota melaui novel.
Kota
hidup melalui kata. Justru novel Student Hidjo memikat kita bukan hanya karena
novel ini menjadi pemantik imajinasi akan kota, disanalah hidup tokoh yang
ditulisnya menjadi gambaran Marco sendiri sebagai pengarang menanggapi ikhwal
kota dalam narasinya menjadikan Mas Marco sendiri sebagai orang modern. Orang
yang merekam kota melalui sastra. Justru menjadi gambaran penulis itu sendiri
yang bergeliat dengan kota. Rudolf
Mrazek menulis,“Mas Marco suka tampil dalam pakaian barat, terutama serba
putih“.
III
Mencatat
kota melalui sajak ataupun novel menjadi ruang transit kata keseharian kita.
Ikhwal kota transit yang begitu gemerlap dengan “imaji“ kota yang merangkak
modern. Dalam novel Student Hidjo itu kita bisa membayangkan Hidjo yang
mengenakan celana panjang, jas, dan dasi, ala mode dan tak dapat diragukan
tentang hal ini ia memamerkan dua pena di saku jasnya sebagai simbol modernitas.
Pena menjadi simbol kota yang bisa kita bayangkan sebagai gebyar modernitas.
Orang
berpena, maka ia telah menyentuh modernitas. Hidjo makhluk kota yang berpena. Serta
hidup gemerlap bergadengan gadis belanda sambil menonton drama Faust. Sekali
lagi, kota hanya menjadi transit bagi Hidjo. Berpisah dengan Betje, si gadis
Belanda. Ia memberikan buku Post
Spaarbannk sebagai tanda perpisahan di sebuah Stasiun Amsterdam. Dalam
imaji Mas Marco kita dihadirkan anak manusia yang berpisah dengan kota. Di
sebuah stasiun kereta Hidjo seorang terpelajar yang kembali ke tanah jawa
sehabis dari Amsterdam. Lalu kota menjadi tempat perpisahan melalui buku
yang di dalamnya terselip uang. Dalam sebuah perpisahan di Stasiun Amstedam
Hidjo berucap, “Buku ini kamu simpan, dan
uangnya boleh kamu ambil, kalau kamu ada keperluan“
Kita
bisa membayangkan imaji Mas Marco yang memunculkan Hidjo sebagai simbol manusia
kota yang berada dalam ironi. Dari karyanya itu justru Mas Marco menggambarkan
guratan manusia mesti siap transit dari kota ke kota lainnnya. Kota yang dengan sendirinya terus bergerak
penuh dengan simbol modernitas yang bergema dengan auto, trem dan pena-pena.
Kapal Gunung
meniupkan peluitnya yang pertama, sebagai tanda supaya orang-orang yang
mengantarkan passagiers (penumpang)
kapal itu supaya turun ke darat. Waktu itulah orang-orang yang hendak pergi dan para pengantarnya
saling berjabat tangan. Sebagai tanda selamat tinggal dan selamat jalan.
(Student Hidjo, Hal 22)
Kota
menjadi ruang transit berpisah dan bersendu. Bersedih
seperti Hidjo yang mesti bertolak dari pelabuhan Tanjung Priok menyisakan
ingatan, Sriwedari, Hotel des Indes serta kekasihnya. Ataupun perpisahannya dengan
gadis belanda di sebuah stasiun kereta yang ditutup dengan rasa “kangen”,
airmata dan buku.
Kita berimaji dan mengingat kota
dari sebuah karya sastra. Ingatan itu muncul dari gambaran jalan, stasiun,
bioskop pelabuhan di mana manusia kota lalu lalang dan berkebudayaan. Dengan
membaca imaji itu, kita sudah hampir mirip penyemir sepatu yang menjaga ingatan
kita tentang “sepatu yang mesti hitam mengkilap” sehabis menapaki jalan kota.
Kota memuat kisah kesenduan yang
disajakkan ataupun berupa prosa yang memikat untuk dibaca. Akankah kita sengaja
dibekali ribuan buku sajak, novel yang berbicara tentang kota agaknya agar kita dapat membaca kota dalam
sastra. Tak melulu dari iklan properti dan televisi.
Kita memerlukan siasat membaca kota. Kita
sebagai manusia transit ketika di sebuah kota butuh menenteng dan menyelipkan sebuah
novel maupun buku sajak ditas adalah siasat cara membaca kota. Siasat yanga gak
sulit dilakukan ditengah kota yang ganas, gaduh nan muram.
Terkadang saat membaca itu kita terpikat ingin
menjadi sebuah tokoh yang dituliskan dan dikisahkan. Inilah apa yang dimaksud
oleh Sindhunata dalam esainya Ambil dan
Bacalah mengatakan membaca memang bisa mengubah seseorang untuk menjadi
seperti yang dibacanya. Merujuk pada kisah Miguel de Cervantes tentang Don
Quixote de la Mancha. Akankah kita akan menjadi Chairil dalam sajak-sajaknya dan Mas Marco yang
menghidupi lampu sajak dan prosa kota melalui novel.
Akankah kita hidup seribu tahun lagi
di semesta kota yang gebyar sastra penuh dengan kata, sajak, dan novel.
Beberapa kali juga kita meratapi kesedihan ingin transit dari semesta kota yang
kita diami dengan bersajak lalu berterimakasih setelahnya. Membaca karya sastra
barangkali siasat untuk mengingat sekaligus melawan kesenduan kenangan.