Toety
Heraty N. Roosseno merayakan ulang tahun dengan menerbitkan buku. Bagi Toety
menerbitkan buku adalah sebuah percakapan dan perdebatan. Buku terbarunya
berjudul Tentang Manusia Indonesia dsb.
(Obor 2015), mencerminkan pergulatan itu. Di kata pengantar Toety mengakui
judul bukunya terbayangi dari ceramah Mochtar Lubis (1977) di Taman Ismail
Marzuki. Tambahan dsb. pun
terinspirasi dari buku “Indonesia etc.
Exploring The Imporable Nation“ karya Elizabeth Pisani.
Buku
berisi 9 artikel yang terdiri dari bab-bab yang banyak berbicara tentang perempuan,
psikologi, filsafat, sastra, religiusitas. Dalam Bab I Budaya dan Spiritualitas, Toety menyebutkan tokoh-tokoh filsuf yang
berpengaruh di Indonesia. Toety menyebut tokoh-tokoh moncer seperti Hamzah
al-Fansuri, Pakubuwono IV, Mangkunegara IV, Ranggawarsito, R.A. Kartini, H.
Agus Salim, Ki Hadjar Dewantara dan lain sebagainya.Tokoh-tokoh tersebut
sebagai muatan materi pada ensiklopedi terbitan Press Universitaire de France 1984. Mereka adalah filsuf dan
manusia Indonesia yang bergulat dalam pemikiran filsafat, sastra, dan juga
religiusitas yang mesti dikenang sebagai
tokoh yang berpengaruh di Indonesia. Nama
Hamzah al-Fansuri dan Tan Malaka
hilang. Toety mengaggap ini sebagai sensor internal Orde Baru (Hal 4).
Toety
menulis mengenai mentalitas manusia Indonesia.Tema-tema mentalitas ini hadir
dalam artikel artikelnya. Dalam situasi korupsi yang meluas dan kerancuan hukum
yang melemahkan kewibawaan pemerintah, semakin dipertanyakan karakter dan jati diri
manusia Indonesia, dengan mempertimbangkan konteks multikultural ( Hal 48).
Dalam Bab III Kearifan Lokal dan Kebebasan, Toety mengingatkan akan pentingnya
kearifan lokal dalam menghadapi globalisasi. Yang dikhawatirkan dan memang
terjadi ialah bahwa khusus pembentukan daya tahan diri pribadi tidak mampu
menghadapi tuntutan keselarasan sosial
komunitas dan malah menunjang pemusatan kekuasaan yang sarat kekuatan
adikodrati (Hal 58)
Dalam
pilpres lalu Toety juga mendokumentasikan perang puisi dalam Bab VI Perang Puisi Pasca Pilpres 2014. Perang puisi ini dicatat dan
didiskusikan di Frankfurt, sebagai persiapan acara Frankfurt Book Fair. Toety membacakan puisi gubahan Widji Thukul,
Fadli Zon, Rieke, Megawati. Bagi politisi, puisi dianggap sebagai alat
berpolitik. Ahok menganjurkan untuk dibukukan (102).
Toety
juga merangkum penulis-penulis perempuan yang bergerak dalam bidang sastra dari
zaman kolonial sampai sekarang. Karya
sastra yang berbicara tentang roman pergerakan, minoritas dan masyarakat etnis,
perempuan yang terpinggirkan,. Tokoh-tokoh moncer seperti Kartini, Selasih, Suwarsih, Ani Sekarningsih,
Oka Rusmini, Hanna Rambe, Linda Christanti, Leila S.Chudori, Tatiana Lukman
disebutkan Toety sebagai tokoh perempuan
yang mesti dicatat dalam ingatan kita. Tak lupa Toety pun mencatat perempuan-perempuan
yang lahir dari pesantren dan menulis karya sastra semacam Oki Madasari, Erni Aladjati, Abidah
Khaleqi hadir dalam khasanah sastra Indonesia.
Perempuan
sebagai identitas perubahan tercermin dalam Bab VII Kartini and Anne Frank: Letters and Diary. Kartini sebagai sosok
penggubah semangat kebangsaan melalui surat-suratnya. Begitu pula Anne Frank
sebagai sosok kebebasan dalam bingkai kekuasaan tirani Nazi. Menjadikan
keduanya merupakan sosok yang tak hanya menjadi pengingat tetapi juga simbol
suluh bagi perempuan yang mempunyai cita-cita demi kemajuan. Kartini ingin
menjadi guru demi membebaskan belenggu perempuan melalui pendidiikan. Anne
Frank bercita-cita menjadi wartawan dan penulis. Anne Frank berkeinginan
tulisannya dibaca banyak orang.
Sebuah
buku akan menjadi teman dialog meski telah lama tak dibaca. Dalam Bab IX Dialog
dengan Kematian, Toety mengaku, “Buku ini saya peroleh pada tahun 1955 ketika
berusia 221 tahun, disimpan untuk dibaca pada waktunya, yaitu pada saat ini,
pada usia 80 tahun. Jadi 59 tahun kemudian “ (hal 216). Buku itu adalah Dialogue with Death (1937) karangan
Arthur Koestler. Toety mengajak mendialogkan kematian dengan filosfi yang
dirangkumnya dari cermin kehidupan dan pengalaman manusia itu sendiri. Kehidupan
harus dijalani secara otentik dalam arti dengan fokus dan autonomi (hal 223).
Meskipun kematian adalah akhir kehidupan tetapi tetap sebelumnya sudah
membayang-bayangi hidup, karena setiap saat yang lewat merupakan “penyicilan
maut yang akan merenggut” (hal 224).
0 komentar:
Posting Komentar