Masa lalu berbuku saya adalah masa lalu yang di mana perpustakaan SD di kampung penuh dengan kover-kover buku bacaan anak yang hanya bisa dilihat di kaca-kaca karena perpustakaan itu yang selalu terkunci di siang dan sore hari. Jam yang terbatas dan juga penjaga perpustakaan yang galak, pembatasan peminjaman, terasa susah untuk membaca lebih jauh di sekolah. Rasa penasaran saya mengenai bayang-bayang warna, ilustrasi terus bermunculan. Untuk melihat jejeran kover-kover buku bacaan anak yang bergambar dan berwarna itu, saya harus memanjat pagar perpustakaan. Ingatan bocah saya selalu terngiang ketika melihat kembali buku-buku bacaan anak bercap negara dan tidak diperjualbelikan itu.
Kini ingatan berbocah dan berbuku itu hadir ketika pada suatu hari berkunjung ke pasar Jatinegara. Tentu berburu buku adalah momen terbaik bisa bertemu dengan berbagai buku dan pedagang buku di tempat-tempat yang tak terduga : Kwitang, Blok M, Delawas, Jatinegara dan lainnya. Suatu ketika berkarung-karung buku bacaan anak ditawarkan kepada saya dengan harga murah. Sayangnya saya sangat miskin, kerja serabutan dan punya uang lebih hanya berdasarkan honor dari menulis esai dan resensi di koran-koran. Saya hanya membawa puluhan buku, dari situ rasa nostalgia saya mengenai ingatan berbocah dan berbuku muncul kembali.
Untuk menebus rasa nostalgia itu saya akan menceritakan kembali buku-buku bacaan anak bercap negara yang saya miliki. Sebagai usaha kecil mengulas secara sederhana kepingan-kepingan cerita mengenai buku bacaan anak yang pernah menjadi bagian sejarah Indonesia. Proyek ambisius Orde Baru mengenai inpres bacaan anak yang menanamkan pengertian pelbagai hal : kota, desa, transportasi, koperasi, pahlawan, teknologi dan lainnya. Tentu selain cerita anak ada juga ilustrasi-ilustrasi yang menghadirkan ingatan visual berbocah kita. Jadilah saya penyalin gambar buku bacaan anak proyek inpres.