Wangarai Maathai,
seorang perempuan dari suku Kikuyu tidak menyangka, pengalaman masa kecilnya
dipenuhi oleh hutan-hutan yang dirusak, digunduli menjadi kebun komersil.
Akibatnya, banyak dari ribuan perempuan yang berjalan kaki, terbungkuk-bungkuk
menggotong kayu bakar karena mereka tak punya pohon sendiri di ladang.
Rusaknya hutan-hutan
menjadi kerugian besar, terutama bagi kaum perempuan desa. Dari hasil pengamatannya
terhadap perempuan-perempuan desa tersebut, ditemukan permasalahan seperti kayu bakar, air minum, asupan makanan,
perumahan sampai pendapatan.
Dari permasalahan itu, Wangarai
melihat potensi dari perempuan yang mengalami dampak serius dari rusaknya
lingkungan, yang justru menurutnya sosok perempuanlah yang bisa mengurai permasalahan
lingkungan itu sendiri.
Secara sederhana buku
ini memamparkan kampanye “Gerakan Sabuk Hijau” yang dirintisnya puluhan tahun
itu. Gerakan Sabuk Hijau adalah gerakan yang banyak anggotanya adalah
perempuan, terutama perempuan desa.
Melempemnya tindak
lanjut dari kampanye “Selamatkan Tanah
Harambe” di Nairobi tahun 1977 yang dilakukan pemerintah. Membuat Maathai
bersama National Council of Wowen of
Kenya (NCWK) mendorong kelompok-kelompok perempuan untuk bergambung gerakan
“Selamatkan Tanah Harambe”. Diselenggarakan pula sarasehan dengan mengundang
para “rimbawan pemerintah” guna mengajarkan manajemen pembibitan pohon kepada
para perempuan.
Namun, pengetahuan-pengetahuan
profesional dari “rimbawan pemerintah” untuk berbagi teknik menanam pohon banyak
mengalami kebuntuan dalam metode mengajarnya. Banyak sekali istilah-istilah
teknis yang membingungkan. Seperti kemiringan lahan, titik masuk cahaya
matahari, kedalaman tanah, persemaian komposisi kerikil, yang justru sulit
mereka mengerti. Mereka pun memutuskan untuk mengabaikan pendekatan profesional,
memilih jalan pikiran mereka, yaitu logika perempuan. Mereka belajar dari
pengalaman sehari-hari.
Dari pengamatan mereka
sendiri, mereka dianjurkan untuk mencari bibit-bibit pohon di sekitar tempat
tinggal mereka, membudidayakan pohon-pohon yang memenuhi kebutuhan dasar
mereka, menambah kembali pepohonan asli, dan melindungi keanekaragaman hayati
setempat (halaman 30)
Alhasil, para perempuan
yang disebut sebagai “rimbawan
tanpa izajah” telah menunjukan metode
sendiri dalam menanam pohon, yang diakui lebih bagus dari pada rimbawan
pemerintah. Selain itu, gerakan ini pun banyak melakukan advokasi lingkungan,
seperti advokasi untuk hutan Karura, Gunung Kenya. Bahkan gerakan ini pun mengurai
pertikaian antar etnis. Lambat laun pohon telah menjelma menjadi lambang
perdamaian.
Jika tertarik pencapaian dari GSH, Wangari pun secara sederhana
menuliskan 10 langkah bagaimana untuk menciptakan kampanye gerakan seperti ini.
Salah satu langkahnya adalah membahas penyebaran informasi untuk meningkatkan
kesadaran dan memulai kontak dengan kelompok-kelompok bawah tanah (halaman 95).
Dengan matanya,
Wangarai Maathai dapat melihat bahwa menanam pohon adalah lambang demokrasi, lambang
perdamaian, serta lambang perjuangan perempuan. Dari gerakan inilah Wangari
Maathai dinobatkan sebagai perempuan pertama dari Afrika yang mendapatkan nobel
perdamaian tahun 2004.
Identitas Buku
Gerakan Sabuk Hijau
Penulis :Wangari Maathai
Penerjemah: Ilsa
Meidina
Penerbit :
Marjin Kiri
ISBN
978-979-1260-17-6136 + xvi hlm.; 14 x 20,3 cm
0 komentar:
Posting Komentar