Hembusan angin yang sayup-sayup telah menyapu debu-debu, membawa terbang seonggok kertas-kertas serta plastik yang
dibiarkan teronggok usang di sebuah jalan protokol kota. Ria-riuh kota di siang
hari telah takluk, menjelma menjadi keabadian malam
yang tak kunjung kantuk, lalu suasana itu akan menyebar dan membangunkan
ke seluruh mata-mata yang terjaga seperti anjing-anjing
jalanan, kucing-kucing
jalanan yang berebut makan dengan kecoa-kecoa yang tak pernah busuk.
Mata awas
mereka yang terlampau lapar akan malam tak akan padam sampai subuh nanti, saat
toa-toa masjid bergemuruh, begitu pula akan menghampiri bola mata besar si lelaki gemuk kepala pelontos yang sedari tadi duduk-duduk seperti sedang menunggu di sebuah halte dekat jejeran toko-toko.
Halte itu yang agak terang karena sebuah lampu gas pijar yang terangnya
meletup-letup, menerangi semampunya, mencoba mencakar gelap-gulita sebab lampu penerang
toko-toko yang berjejer itu sengaja dimatikan oleh penjaga-penjaga toko sekitar jam 10 malam tadi.
Di halte itu, di bawah
kaki si lelaki gemuk kepala pelontos, ada gorong-gorong
selokan kota yang kering tak berair. April ini memang pertanda musim memasuki
musim kemarau.
Menjadikan jerit-jerit tikus yang berebut keluar mencari makan terlihat
mondar-mandir tidak karuan dengan gerak sebebas-bebasnya, tanpa air,
jalan gorong-gorong menjadi lenggang, hanya beberapa sampah kering saja yang
terpendam menjadi lumpur kering, menghalang-halangi gerak si tikus.
Tingkahnya membunuh sepi kota tengah malam yang merangkai
dalam irama debu-debu jalanan yang bercampur dengan polusi sudah tak lagi kasat mata, malah malam menjadi
waktu yang pas untuk debu-debu itu, membeku di
tiang-tiang halte, di tempat-tempat duduk, sialnya si lelaki gemuk kepala pelontos itu harus berusan dengan debu yang sedang bermetamorfosa,
menyenderkan badan gemuknya menggencet debu-debu kota, alam baru di
mulai, kotornya kota tak pernah tunduk pada waktu.
Kota selalu muncul dengan wajah kotor!
Alhasil menjadikan kemeja putih si lelaki gemuk kepala pelontos menjadi kotor. Pecah si debu-debu itu, menghambur seperti bola-bola air
yang pecah mencari
tempat untuk menempel, bermetamorfosa, atau mungkin seperti amuba, membelah
diri, memecah diri untuk terus hidup.
Kotornya kemeja
putih si lelaki gemuk kepala pelontos tak sekotor si tikus yang keluar
menjerit dari gorong-gorong, menyelinap masuk di tumpukan sampah-sampah, yang
baunya bisa mematahkan indera penciuman. Mungkin pula serigala sekalipun. Oleh karena itu kota tidak
pernah kedatangan serigala-serigala, tak pernah ada cerita kota diserang oleh
gerombolan-gerombolan serigala. Hanya saja
manusia-manusia kota makin hari makin melebihi si serigala. Bahkan ia muncul di
malam hari di bar-bar,
di pasar-pasar, di mobil-mobil mewah, berjubah, berpakaian putih-putih, ada juga yang berbulu domba dan bergigi
emas.
Tak mau kalah dengan orkestra malam si tikus, pelacur malam menjerit merdu menjadi vokal malam di ketiak emperan toko cina di seberang si lelaki gemuk kepala pelontos yang berdiri di halte dekat bioskop kota yang lapuk
plang-plangnya.
Jika dibandingkan, jerit-jerit pelacur itu tak selantang toa-toa masjid
yang memanggil umat di subuh nanti.
Hingga suara itu samar-samar ia tangkap.
“Ya merdu”, ungkapnya.
Sehingga si lelaki gemuk kepala pelontos seperti nyaris tak bisa membedakan mana yang lebih merdu, antara suara toa
masjid atau suara merdu jerit-jerit tikus yang disambut jerit-jerit pelacur malam yang menurutnya, tentunya semua bunyi itu membentuk
irama malam yang sepenuhnya mendewasakan imajinasi kota.
“Apa
benar si pelacur dan tikus kalah lantang? Kalau begitu,
kita belum mengerti malam”, menurut pikiran lelaki gemuk kepala pelontos.
Jerit-jerit pelacur lantang bak lonceng sapi-sapi pengangkut rumput, jika
ia lewat di jalan protokol yang sepi, jalan berupa bak jalan desa yang
lenggang, sepi. Pasti warna itu menjadi musabab
kota yang telah larut bosan dengan suara-suara siang dari pengemudi jalan-jalan
protokol, pejalan kaki di trotoar, gesek ban-ban angkot ataupun bus dan truk.
Mereka
yang bekerja di pagi, siang, atau sore hari, malamnya mereka akan mulai menjejali, membeli jeritan si pelacur. Ramai,
meski ditutup-tutupi.
Di sebuah trotoar yang agak sepi, masih berlangsung di seberang sana jerit-jerit merdu si pelacur malam, lelaki
gemuk itu
membuka lembaran koran mengingat sebuah alamat, berjalan menjauh dari bioskop lapuk
tua,
mengikuti jalan gorong-gorong.
Di samping gorong-gorong deretan toko-toko yang menutup diri,
justru menjadi pembuka lapangnya ranjang-ranjang gratis untuk kaki dan badan
untuk direbahkan, banyak gelandangan mulai meringkuk, menjelma mirip
seperti tikus-tikus got.Bau. Tapi menurut si lelaki kepala
plontos;
“Harum…. ”
Lelaki gemuk itu berjalan sambil menghirup wangi si gelandangan.
Kalau cara berfikir orang bilang gelandangan itu bau, pasti ia belum pernah
tidur di jalan, belum pernah bercandra dengan malam sepnuhnya..
Si gelandangan
pun tidak akan
merasakan harum
itu, musabab malam adalah waktunya bagi sesosok bidadari surga yang akan memeluk orang-orang
yang selalu berdo’a dalam kesusahan diri, rejeki itu tak berlangsung lama hanya sampai subuh saja, sampai toa-toa masjid akan membangunkannya dari pelukan
sang bidadari malam
yang harum itu.
Ia memang tidak pernah nampak, tidak pula ingin dilihat. Tak ada rasa itu.
Bidadari itu
akan mengembangkan imajinasinya, “Hidup di kota memang
menyakitkan tapi mengapa engkau balik lagi? Atau kalian rindu dengan pelukanku
yang menyenangkan bukan?”.
Mimpi
si gelandangan melayang-layang di atas awan kota ini, pagi tak pernah
membangunkanya. Bukan pula toa masjid.
Bukan!
Malah saat bermimpi, mereka melawan nasib
dari jerit-jerit pemilik toko yang menghantuinya.
Tandai detak jantungnya tak akan muncul diam-diam untuk menutup malam, mendengar
langkah orang-orang yang mencari surga menuju paginya, subuhnya, akan membangunkan si
gelandangan. Saat itu pulalah
mereka akan diusir!
Lelaki gemuk kepala
pelontos itu berhenti di sebuah jalan trotoar yang agak rusak,
mencari sela-sela pohon untuk menutupi kemaluanya. Setelah selesai, ia baru
sadar, ada sebuah koran sore, yang ia lepit pula di ketiak asin si lelaki gemuk
itu sedari tadi. Selalu membayang-bayang lelucon di otak, menembus pikiran tak
tentunya malam itu. Senyumnya mengembang menjadi jutan-jutaan kembang api yang
meledak-ledak merubah gelap jalan kelabunya menjadi cerah-cerah langit
senyumnya.
“Yunani tak punya kambing. Yunani hanya punya salju”, katanya dalam pikiran
senangnya. Senyum-senyum dibuatnya sambil memandang sebuah gambar.
Senyum-senyum girangnya itu bukan kepalang senyum biasa.
Imajinasi “Kambing berkacamata
hitam, bersayap daun pisang” nampak diotaknya, membuat reaksi imajinasi, menarik jutaan sel-sel urat
tawanya telah melampaui tawa penonton
sirkus. Menertawakan pemain sirkus, badut-badut, atraksi-atraksi palsu, begitu
pula si lelaki gemuk kepala pelontos yang menertawakan orang-orang Yunani yang tak
punya kambing. Apalagi “Kambing berkacamata hitam, bersayap daun pisang” hasil imajinasi liarnya itu.
Saat Iimajinasinya melayang seiring kegirangannya itu, meringankan langkah-langkahnya.
Saat itu pula ia melanjutkan jalannya dari waktu sehabis kencing
sembarangan, selongsong bedil terdengar dari udara begitu pula
diselingi cahaya terang keputih-putihan muncul dari jalan protokol yang sepi
itu.
“Door!!”, suara tembakan bedil itu terdengar keras.
Sehabis itu kembang api meledak-ledak di langit-langit membuat si lelaki
gemuk itu keheran-heranan. Belum selesai bola matanya pada kembang api itu di
langit-langit kotanya, malamnya, sesosok kambing-kambing berkacamata
hitam, bersayap daun pisang terbang-terbangan berjalan beriringan.
Kambing-kambing bersayap imajinasinya itu seakan-akan
menabrak matanya.
Seketika
gorong-gorong jalan setapaknya itu berasap
warna-warni. Musik-musik berirama, kembali ia melepit koran sore itu. Berjalan
santai sambil membetulkan celannya yang sering kedodoran. Ia malah tidak
mempedulikan kambing bersayap itu, tak pernah ia berjalan seceria ini.
“Aku
tahu ini akan terjadi, imajinasiku sudah terkabul di malam ini?” ia tak keheranan.
“Aku tahu ini adalah pasar malam imajinasi,
tentu tuhan yang membuatnya” katanya.
Pemain musik jalanan, berdendang.
Pemain biola, menebar senyumnya saat lelaki gemuk kepala plontos lewat.
Anak-anak ceria
bermain apa saja.
Badut-badut
kelakar dan bermain bola-bola.
Mereka semua
bertopi. Semua ceria, larut dalam pesta malam.
Tetap pada jalurnya menikmati alunan musik biola itu. Perempuan ceria,
dengan bibir tipis dan pipi yang bulat kemerah-merahan si penjual permen menghampiri si lelaki gemuk kepala plontos, sambil tersenyum ia memberikan permen-permen itu.
“Apa kau lihat kambing-kambing bersayap, dimana aku bisa menemui pemiliknya?” tanya si lelaki gemuk kepala plontos.
“Ya aku tahu,
ia yang memulai malam ini, pemilik bedil itu. Lurus saja terus, jangan
pernah berbelok, sampai kau bertemu dengan si pembuat topi putih. Terima kasih atas pesta malam ini,
permen ini untukmu” jawab Perempuan penjual permen.
“Si
Topi Putih?”.
“Ya, si Pemilik
bedil itu, yang memulai pesta ini”
Si lelaki gemuk
kepala pelontos itu senyumnya meroket-roket, menandakan pesan yang belum
tertulis namun sudah mulai terbaca, kekuatan
imajinasi siapa ini sebenarnya…
Saking
senangnya, ia berlari di gorong-gorong itu, ledakan terompet-terompet, biola, asap-asap
warna-warni menjemput kebahagiannya.
Korannya
terjatuh!
Tergeletak.
Tersorot oleh
lampu-lampu gas pijar, terlihat sebuah gambar seekor kambing.
Oh tidak…
Sejak tadi di
halte, ternyata ia sedang menatap gambar itu.
Ia senang imajinasi gambarnya masuk di sebuah koran dari tuhan itu,
koran Si Topi Putih. Tertulis jelas
dengan huruf sambung yang cantik.
“Mengambarlah
untuk tuhanmu, tuhan imajinasi, tertanda Si Topi Putih”
Sebagai
ganjarannya Si Topi Putih mengabulkan imajinasinya itu. Tuhan bisa menghidupkan
imajinasi.
Tiba-tiba sebuah
rel kereta Term uap muncul dari jalan-jalan protokol, dan si lelaki gemuk
kepala pelontos itu sedang berkejar-kejaran dengan Kerete term uap itu. Lihat
ia terbang bersama kambing-kambing berkacamata hitam dan bersayap daun pisang
itu. Dan ia tersenyum padamu. Ia teriak
kegirangan…
“Hi…hhaa….”
Gayanya seperti django, ia pun
berteriak pada semua pengunjung pesta malam
“Besok malam aku akan mengambar
kereta trem bawah laut”
“Inilah caraku
melawan Soviet dan Amerika”
Si perempuan
penjual permen mengangkat tangannya dan melemparkan permennya untuk si lelaki
gemuk kepala pelontos.
Apakah kalian
menyadarinya? Mengambarlah untuk tuhan,
maka ia akan dihidupkan oleh si topi Putih. Sekarang, gambar apa yang terbayang
di imajinasi dan hatimu?
Senjata?
Maka kita akan
berperang untuk esoknya.
Bersiaplah,
tidak ada pesta esok malam.