foto diambil dari http://fotokita.net |
Di suatu siang yang cerah,
Sabtu 6 April 2013. Saya menuju Jakarta
Convention Center (JCC) untuk menghadiri acara diskusi “Geowisata, Srikandi Penjelajah Nusantara”, yang saya dapatkan infonya dari Facebook National
Geographic Indonesia. Saya pun langsung mendaftar untuk jadi peserta diskusi
tersebut, melalui situs http://fotokita.net/event/geowisata-srikandi-penjelajah-nusantara.
Acara yang diusung oleh National Geographic
Traveler ini dimulai pukul 11.00 siang di Mainstage Hall A, JCC. Menghadirkan
pembicara dari Female Traker for Lupus.
Mengapa Female? “Karena lupus banyak
menyerang wanita”, salah satu pembicara mengungkapkan.
Perempuan-perempuan tangguh
ini bisa dikatakan srikandi yang suka perjalanan, berbagi cerita mengenai
perjalananya, seperti naik gunung misalnya. Namun tak sekadar naik gunung
biasa. Seperti saat mereka melakukan ekspedisi 12 gunung, tidak hanya sekadar
menyuguhkan kisah perjalanan naik gunung saja, mereka pun melakukan kampanye,
sosialisasi mengenai penyakit lupus, apa gejalanya, serta memberikan informasi
kepada masyarakat, pencerdasan ke tingkat paling akar. Kampanye pengetahuan mengenai lupus disebar ke
masyarakat sekitar saat mereka melakukan perjalanan di 12 gunung tersebut.
“Bahkan ada masyarakat yang menyangka
gejala lupus itu kiriman penyakit dari orang lain seperti santet,” padahal saat
dijelaskan, ada beberapa masyarakat yang mengatakan, “Oh ya gejala itu mirip
dengan saudara kami”, penjelasan dari Mbak Diah salah satu pemateri diskusi.
Saya pun sempat terenyah
kisah yang diungkapkan oleh Mbak Tiara Savitri, Ketua Yayasan Lupus Indonesia,
tentang pengalamannya pertama kali naik gunung.
“Orang yang mengidap lupus
(Odapus) menganggap dunia luar itu seperti musuh mereka”, ungkapnya serius.
Foto diambil dari http://nationalgeographic.co.id (Gloria Samantha/NGI) |
Dengan keyakinan bahwa mereka
yang Odapus sebenarnya bisa juga naik gunung, dan dunia luar itu bukanlah hal
yang menakutkan. Mbak Tiara pun mencoba naik gunung, di salah satu gunung yang
menjadi tujuan ekspedisi 12 gunung itu.
“Saya sadar diri,” ungkapnya,
ia pun melanjutkan “Oke mbak boleh naik gunung, dengan catatan tidak
memaksakan diri” ungkap Mbak Tiara meniru ucapan instrukturnya.
Menariknya, walau tidak sampai
puncak kala itu, kalau tidak salah ia hanya sampai pos 1, Mba Tiara merasa
senang, karena telah membuktikan dunia luar bisa ia takhlukan dengan kemauan
yang tinggi meski lupus menghingapinya. Ia pun mengenang kisahnya itu dengan;
“Pertama kali mendaki, saya
tidak punya target (harus sampai puncak atau tidak). Dan saat turun, saya jatuh
cinta untuk naik gunung lagi.”
Persis seperti yang
diungkapkan oleh Cory Richard, "Mendaki itu MIRIP CINTA. Keduanya sulit
dijelaskan; kita bertahan dari rasa sakit demi sukacita yang hadir MENEMUKAN
DIRI SENDIRI dan alam semesta". Di saat Mba Tiara naik gunung, saat itu
pulalah cintanya terhadap mendaki gunung, semangat cintanya untuk terus mensosialisasikan
mengenai lupus terus ia kumandangkan sampai puncak, menggema, suaranya menanjak
terus tanpa lelah untuk orang-orang yang ia sayangi di sekitarnya. Dan usaha itu
sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata
itu sendiri.
Salam Peradaban.
setidaknya acara ini mewacanakan kita untuk kapan bisa bersama-sama naik gunung dengan kawan LKMers
BalasHapus