MORRIEM 12 Agustus 1923, sebuah koran lokal pertama
menulis sebuah artikel berita. Tubuh gempal berbulu dada
itu terkujur kaku dengan sebilah
pisau di punggungnya. Berita itu
menampilkan foto hitam putih sebuah mayat yang
dikerumuni
semut-semut, tergeletak di seberang sungai Leris, sungai terpanjang di daerah itu yang mengalir tenang.
Dituliskan di halaman depan, menjadi headline. Terkabarkan tubuh gempal itu mati seperti disiksa, tak diketahui pelakunya. Foto hitam putih itu bisa tergambar jelas, mayat bertubuh gempal itu masih menyisakan darah segar
yang mengalir di kepalanya, tembus timah
panas. Darah dari
kepalanya menyatu
dengan aliran sungai yang tenang, memerah, menyebar dan menghilang terbawa arus
tenang sungai, sedangkan darah yang
keluar dari hunusan pisau yang masih tertancap di punggungnya merembas menyatu
dengan kemejanya. Dan semut-semut yang mengerumuninya seperti terlihat julur
lidah-lidah yang sedang bernafsu menjilat-jilat darah segar itu.
Di sekitar mayat bertubuh gempal yang terbujur kaku
itu menyisakan tanda jejak-jejak kaki binatang yang diketahui jejak Harimau. Jejak
itu tumpang tindih dengan jejak bersepatu yang diduga pelakunya. Persis bau
kencing di tubuh gempal itu pertanda kekuasaannya sudah sampai ladang Tuan
Morf. Ladang dimana tubuh gempal itu bekerja sehari-hari.
Orang-orang mengerumuni mayat itu
sedari pagi seiring anjing-anjing kampung
milik
penjaga ladang meraum-raum tajam, tak tenang
semalaman. Bahkan anjing-anjing itu tak
berani mengendus mayat yang terbujur kaku, teronggok dibiarkan begitu saja. Anjing-anjing tak ada yang berani mendekati
mayat itu, jelas bau air kencing menjadi
tanda simbol kekuasaan dari Harimau. Hanya terdengar sayup-sayup suara dari obrolan –orang-orang yang
datang bergumul saat itu. Mereka mengaku kepada
wartawan sebagai saksi hidup. Tidak ada yang berani menjadi saksi kematian!
Sekaligus tidak berani berasumsi siapa pembunuh si tubuh gempal
itu, sebelum pemilik ladang, seorang
kaya Tuan Morf datang memeriksa langsung dan
melaporkan kejadian itu kepada goverment
serta wartawan lokal.
Tubuh gempal yang belum busuk itu
seakan-akan bau kabar burung dugaan siapa pelakunya masih menjadi misteri, belum tercium sekitar kampung, jua sekitar pekerja ladang. Ini pertanda
buruk. Serta menjadi berita tak sedap bagi sisa-sisa jago berkelahi, mereka yang merupakan
pensiunan
tentara-tentara perang.
Sehingga yang sedang berkumpul sore itu 13
Agustus 1923, mereka semua yang sebelumnya bergumul
menjadi satu dalam ketakutan, mendadak berkumpul duduk-duduk sambil bermain cekih di
Rumah Tuan Morf. Mereka datang karena
uang, mereka adalah pemburu para bandit, mereka di sewa dan menunggu perintah
Tuan Morf untuk menyelidiki kasus ini, -tanpa pengetahuan government-. Government
selalu mengambil keuntungan dari kasus seperti ini. Apalagi Tuan Morf harus
membayar pajak tiap tahunnya.
Kabar kematian? Tentunya itu pun mengandung pajak yang
harus di bayar pemilik ladang seperti Tuan Morf. Tentunya itu besar.
Merebak kabar, satu nama disebut
dari obrolan-obrolan yang lambat laun makin santer terdengar. Tak menyebut gelagat, tak menyebut rupa, tersebut
nama seorang kakek gaek adalah penyelamat satu-satunya. Kakek itu pensiunan tentara
perang juga. Kini orang sekitar ladang Tuan
Morf, terutama kelompok pemburu bandit itu diterpa kesangsian.
Diketahui kakek tua telah pikun. Terkadang ia bisa
diajak bicara, tapi lebih banyak ia mengamuk tidak jelas yang terkadang teman-temannya
harus membawanya, mengangkatnya dari selokan, mabuk habis kalah berjudi. Dahulu
ia juga dikenal sebagai pendeta sebelum ia memutuskan untuk ikut perang. Perang
telah mengambil jiwanya.
Pendeta berubah menjadi pemabuk. Identitas itu berubah
semudah melepas pakaian. Tubuh berhak memakai pakaian apapun. Pakaian pendeta
ataupun pakaian pemabuk sama saja. Terjebak dalam pandangan umum belaka.
Kakek tua itu sudah tidak bisa berburu Harimau lagi.
Terlebih mayat tadi pagi, mayat dari anak buah si Tuan Morf yang tergeletak di
pagi hari yang lalu itu tidak hanya cakaran harimau saja. Orang sekitar bertanya-tanya, mengapa kepalanya tembus oleh peluru?
Sejenak bolehlah bingung mereka semua, memikirkan dengan tertib, memajukan
logika ditengah ketakutan yang meruam di sekitar jantung dan adrenalinnya,
bahkan di sekitar keringat-keringatnya. Merasuk dalam sel-sel otaknya memacu
kemampuan berfikirnya, sebab mereka terpaksa memikirkan, Harimau ataukah peluru
yang lebih berbahaya?
“Tunggu dulu,” jawab laki-laki
kerempeng. Dengan nada cepat ia
menambahkan, “Kini sudah tidak bisa lagi meminta bantuannya,” sambungnya sambil melinting-linting kumisnya, yang seakan-akan di kumpulan lelaki itu telah
menambah murung muka orang sekitarnya mendengar pendapat si lelaki kerempeng,
ketua kelompok pemburu bandit.
Laki-laki disebelahnya menyambung
cepat, “Apa tidak langsung kita datangi saja rumah kakek itu. Guru Vorm pasti bisa diajak bicara.”
“Kita sudah lama berdiam diri.
Apa kita sampah semua disini! Menjadi daging-daging
segar yang siap disayat-sayat oleh cakar
harimau gunung atau diikat dibiarkan teronggok di tepi
sungai ditembus peluru yang datang entah
dari bandit atau cakar… ”
“Cihh.. biar aku saja yang membujuk Guru
Vorm ,”
jawab laki-laki ke lima dari kelompok
itu
“Ayo bergerak, tanpa si kakek tua, kita tidak bisa melawan Harimau,” jawab laki-laki
kerempeng.
“Jangan lupa kau bawa minuman ini untuk Guru Vorm si kakek
tak berguna itu,” salah satu teman si lelaki kerempeng mengingatkan.
“ Ayoo.. bergerak!!,” jawab
serempak,laki-laki bertujuh yang sedang
berbincang
di rumah Tuan Morf.
Lekas tiga orang dari tujuh itu buru-buru menuju rumah si kakek. Wajah tegang sekelompok jagoan bertujuh itu terlihat
nampak di wajah-wajah jagoan itu, jelas sekali, cara mereka merokok, menyeruput
kopi, atau langkah-langkah yang penuh keraguan. Di bale-bale banyak tumpahan kopi, serta sisa-sia abu rokok yang tak
rapi menandakan mereka sedang gugup.
Dari obrolan mereka dapat ditangkap,
seakan mereka berbisik, “Kami lebih takut diterjang Harimau dibanding dengan
peluru.”
Seorang lagi yang sedang tidur di
rumah Tuan Morf masih terlihat lelap di
bale luar, tidur miring, tangannya masih siaga dengan
pistol di pinggangnya. Kakinya mengangkang sebelah, melekuk, sesekali jatuh
miring kesamping. Tanda ia tidak bisa tidur pulas siang
itu.
GURU ELF VORM, 72 TAHUN, MANTAN PENDETA DARI GEREJA
HELENIS sedang
berada di rumahnya. Terdengar tapak kaki dari sepatu yang menempel
tanah-tanah yang lengket dengan suara bercak air hujan yang mengubur suara
jangkrik dan kodok ataupun suara ayam
yang semakin lama suara langkah bersepatu itu muncul mengubur suara itu.
Langkah kaki bersepatu terdengar terhenti di depan pintu
rumah Guru Vorm, si kakek pemabuk itu.
Guru Vorm sedang mengasah cangkulnya di dalam rumah. Sore tadi hujan memang turun, ladang-ladang siap diolahnya lagi. Tidak,
kali ini ia ingin sekali berburu burung hutan untuk santapan makan malamnya. Di
dalam rumahnya kalian bisa mendengar suara ayam terdengar saling
bersahut-sahutan, banyak sekali peliaharannya. Ya, lelaki tua itu terkenal suka
pelihara ayam. Entah untuk berjudi “adu ayam” ataupun menjualnya di pasar,
ditukar dengan berkrat-krat minuman.
Pintu rumahnya terketuk kencang.
“Guru Vorm buka pintunya,” kata laki-laki itu
“Guru, buka pintunya,” ia mengulangi sampai tiga kali.
Pintu terbuka, dengan cepat salah satu dari tiga laki-laki tamu itu menuju
jendela, menutup- semua pintu-.
“Apa tuan ikut dengan kami, ?” tanya lelaki itu dengan
nada serius sambil meletakan botol
minuman.
“Aku tahu kalian akan kesini,” jawab Guru Vorm dengan senyum
sinisnya
“Ya, Tuan Morf yang menyewa kita. Dan Tuan Morf yang membayar kita. Serta dengan hormat, Tuan Morf pula yang meminta Guru Vorm menemani kami berburu Harimau.
Mencari jejak, lalu mengusir harimau
itu. Tapi Sekarang kita semua, seisi kampung ini geger pula dengan ulah bandit itu, yang telah menembuskan peluru di kepala salah satu penjaga
ladang Tuan Morf. Soal Bandit kami yang kan mengurusnya,” balas lelaki
tersebut.
“Aku sudah tua, dan
kalian tahu aku ini yang sekarang hanya bisa mengerjakan dua hal selama pasca
perang 30 tahun lalu. Harimau? Sekarang yang ku ketahui oleh penciumanku hanya
bau minuman untuk menemani mabuk dan
berjudi,” jawabnya jelas. Dengan nada lebih tinggi ia
pun berucap, “Sungguh aku sendiri tidak yakin kedua kakiku ini mengijinkan untuk naik
bukit-bukit dan menyeberangi sungai Leris yang sungguh lebarnya itu. Terlebih
aku sendiri ketakutan dengan sisa-sia ranjau yang ditanam di tengah hutan,”
jelas Guru Vorm sambil melihatkan luka bakar di kakinya.
“Bukan hanya mematikan musuh serta melukai kakiku
saja, anak harimau pun turut menjadi korban banyak yang mati terkena ranjau
aktif itu. Bukankah kalian juga yang menguliti dan menjualnya kepada orang
kulit putih di pasar gelap? Jadi siapa yang sebenarnya menakutkan? Mungkin
Harimau ingin membalas perbuatan kita itu. Sampaikan pada Tuan Morf, maaf kali ini aku
tidak bisa,” tambah Guru Vorm sambil mengelap senapan angin yang sedari tadi ia usap-usap
dengan kain lapnya, menyingsing spot-spot warna hitam bedil itu terasa mencolok
mata yang memandangnya.
Ketiga lelaki yang disuruh
lelaki kerempeng, ketua kelompok pemburu bandit yang datang ke rumah kakek tua merasa kalah
argumen, tak mampu mengajak kakek tua itu mengikuti rombongan untuk memasuki hutan atau berjaga-jaga kembali di Ladang
Tuan Morf yang sejak dua hari lalu geger, sebab penjaganya mati di pinggir sungai. Apakah setiap rombongan
para pemburu bandit seperti mereka masih
membutuhkan seorang kakek tua? Guru Vorm
si penjudi dan pemabuk itu yang sudah lupa ayat atau doa apa
yang harus diucap agar membangkitkan kembali gairah keberaniannya melawan hukum
alam. Kini ia banyak mengeluh, sering mengaku jalan sebentar saja terasa kaki-kakinya
tertarik urat yang sudah tua, linu menghujam setiap
sendi-sendinya, langkahnya sudah habis, yang ia tahu hanya
mabuk adalah teman sehari-harinya. Ini bakal
menyulitkan perjalanan, penjagaan ladang Tuan Morf akan terganggu saat ia harus ikut berpatroli.
Ketiga lelaki kembali ke kelompok tujuh pemburu bandit itu. Kini
kabar yang tersisa hanya si bandit bakal meyerang malam ini.
“Lekas kita bergerak ke ladang,”
ucap lelaki pertama si lelaki kerempeng. Ketua
kelompok itu sedang menghisap rokoknya
dengan gugup, terlihat setelah mendapat kabar dari ketiga utusannya tersebut.
SORE SEKITAR PUKUL LIMA HUJAN TURUN. Air sungai berubah menjadi
lebih merah, embun kembali turun dari
lembah,
lumpur menarik keatas, udara dingin
menyerang kulit para pekerja yang menunggu antrian untuk melintasi jembatan penyeberangan
satu-satunya menuju ladang Tuan Morf. Mereka yang berada di
jembatan itu tidak pernah takut dengan hujan ataupun dinginnya udara, hanya saja bayang-bayang
pembunuh penjaga ladang serta auman Harimau
dari bermil-mil kejauhan hutan yang dalam menjadi begitu dekat memungkinkan
ketakutan mengisi hati mereka, membuat dinginnya guyuran hujan tak
segigil jantung mereka yang berdetak keras saat perbincangan mereka mengenai si
tubuh gempal yang mati sehari yang lalu. Harimaulah yang
membuat bertambah kencang mendorong aliran darah mereka memompa jantung lebih
cepat.
Para pemburu bandit kelompok
lelaki bertujuh sudah siap berjaga ladang, mereka berkumpul di sebuah rumah dekat dengan pos pemeriksaan di jembatan penyeberangan itu. Dua dari mereka sedang berpatroli. Para pekerja ladang sudah
banyak yang kembali ke rumah. Kecuali rasa takut, sekali lagi suara-suara takut
mereka tetap berlari kencang, mereka siap berburu malam ini, tapi ketakutan sudah lebih dulu memburu hati dan
jantung para penjaga ladang Tuan Morf.
“Apa yang harus kita takutkan dari bandit itu, haruskah
lebih baik kita mengurus Harimau terlebih dahulu?,” tanya si lelaki ketiga saat
berjaga di depan kantor pemeriksaan masuk ataupun keluar ladang Tuan Morf.
“Bodoh !!!... Harimau tidak bisa diajak bicara,”
hembusan rokoknya masih saja menandakan si lelaki ke empat menunjukan
kegugupannya. Rokok si lelaki ketiga jatuh. Seiring letupan selongsong peluru
terdengar. Ia bergegas berlari dengan si lelaki ke empat.
Belum lama berselang suara tembakan, meletup kembali
dari dalam ladang Tuan Morf. Si lelaki ketiga, ke empat, ke lima dan ke enam bergegas
ke luar. Si ketua kelompok pemburu bandit, si lelaki kerempeng ada di dalam, ia tidak mau ada di dalam sekitar pos pemeriksaan saja. Buru-buru
ia mengambil pistol dan tanda salib yang ia kalungkan di dilehernya. Bergegas
menuju suara letupan tersebut.
Satu dari dua penjaga yang mengikuti jejak bandit itu
tewas, sedangkan satu lagi terluka disekujur tubuhnya di samping dada kanannya
dengan luka yang terkoyak akibat cakar dan gigitan Harimau.
Di kondisi kritisnya ia memberi kabar.
Mereka sedang mengikuti seorang yang dicurigai bandit
itu muncul dari sungai. Saat ia berteriak memanggilnya dan memberikan
peringatan dengan menembakan pistol ke udara, bandit itu tenang dan kembali
menyelinap ditengah pepohonan sekitar hutan dekat ladang Tuan Morf. Anehnya mereka
merasa bandit itu seperti sedang berburu mengikuti jejak harimau di depannya.
Jejak harimau itu menyatu dengan jejak sepatu bandit itu, sehingga penjaga itu semakin
waspada. Sialnya jejak Harimau itu benar menjadi hantu yang menyerang ketakutannya.
“Dari jejak sepatu bandit ini dan jejak harimau, mana
yang lebih dahulu menyerangmu?,” tanya si lelaki kerempeng itu memastikan.
“Harimau,” jelasnya.
Mereka bergegas. Rombongan pemburu bandit yang telah
di sewa Tuan Morf itu menuju hutan. Sementara itu, hujan turun semakin deras.
Guru Vorm sedang mencuci kaki dan sepatunya yang lengket akibat lumpur, cangkul
ia senderkan dekat perapian dapur belakangnya. Halamannya luas. Guru Vorm mengguyur air, mencuci kayu-kayu yang baru ia
ambil dari hutan.
Beberapa ayam ia ambil dari kandang.
Sekilas, sinar mata dari seseorang dari kegelapan
seperti mengawasi belakang rumahnya, mengawasi ayam, mengawasi jejak kakinya, tak
terkecuali mengawasi detak jantung Guru
Vorm si pendeta itu dari belakang perapian dapurnya. Mata itu menyala-nyala dibalik
pepohonan dan daun-daun yang menumpuk dekat kandang ayam peliharaannya. Sekali
mengedip mata itu menakuti ayam-ayam yang membuat teriakan ayam-ayam itu
sesekali teriak sekencang-kencangnya menghabiskan suara akibat ketakutan.
Seperti itulah manusia tak lebih seperti ayam-ayam yang sudah terperangkap
dalam kandang, hanya bisa berteriak, teriakan ketakutan.
Sinar mata yang mengawasi gerak Guru Vorm si pendeta
dari Gereja Helenesia itu semakin awas dan memunculkan taring-taringnya saat
membawa ember yang berisi daging ayam.
Oh tidak, lalu untuk apa kayu-kayu dari hutan itu?
apakah untuk membuat kandang layaknya kandang ayam yang ia ketahui sudah lapuk?
“Tidak,” jawab Guru Vorm si pendeta itu.
Tentunya itu lebih besar, dan mata awas itu mempunyai
hidung yang suka mencium bau amis cincangan daging ayam yang berember-ember
yang dibawanya itu.
*
* Cerpen ini ditulis
untuk mengikuti sayembara cerpen yang diadakan LKM UNJ.
Ditulis oleh Rianto
Rawamangun 17 Agustus 2013.