Jumat, 16 Agustus 2013
Kita harus berfikir ulang mengenai makna wacana keragaman kita. Sebab apa yang pernah kita pelajari dari buku-buku SD yang memuat keragaman suku, bahasa, agama yang menunjukan perbedaan identitas itu sungguh tersimpan ancaman jika kita tak mampu mengelola identitas itu dengan benar.
Lalu, sejak kapan kita mengenal keragaman mampu membawa wacana Indonesia yang ika? Jawabannya adalah sejak para pemuda sendirilah mengucap "berbangsa satu, berbahasa satu dan bertanah air satu" yang menjadikan teks sumpah pemuda sebagai kunci pengingat pernah menyatunya keragaman kita.
Kini kita tak mampu mengelola wacana identitas keberagaman itu yang menyebabkan krisis kepercayaan atau yang dikenal dengan distrust menjadi panglima. Menjadi batu sadungan yang menyebabkan kita dimanapun saling curiga, saling memusuhi, saling menindas, saling memicingkan mata.
Akhirnya sumber krisis identitas yang ditandai dengan "keakuan" agama, suku, warna kulit semua perbedaan itu menjadi bensin yang siap membakar kita. Tercaplah sudah sebagai bangsa yang kini penuh kekerasan bukan persatuan. Lihat saja ! Konflik syiah sampang madura adalah contoh loyonya bangsa ini mengelola identitas itu .
Dalam bahasa sederhana, bangsa ini belum mampu mengenal Orang lain yang berbeda identitas itu. Persis yang diungkapkan Kapuscinsiki "Aku ada karena aku bertemu dengan Orang lain". Orang lain yang beragam itu ibarat cermin, dimana menggambarkan wujud atau sikap kita sebagai bangsa yang beradab atau tidakkah.
Betul, berjumpa dengan Orang lain yang beragam identitas itu adalah tantangan pada abad ini. Yang harus kita renungkan dalam keragaman ini kedepan adalah bagaimana peran pemerintah mengelola keragaman identitas ini di dalam pendidikan multikultural yang sering didengungkan? Meretak atau menyatukah kita nantinya?
*Tulisan ini masuk di rubrik Poros Mahasiswa Koran Sindo 31 Juli 2013 (non edit)
Categories: ESAI
Posted on Jumat, Agustus 16, 2013 by Rianto
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
About Me
- Rianto
- Ingin menjadi penulis, jurnalis, dosen. Begitu terobsesi dengan sejarah, sastra, budaya. Emailku riantoanarkhy@gmail.com
Popular Posts
-
"Dewek teh urang Bandung, tas ngumbara ti Nagri Walanda, ayeuna rek balik ka Jawa" , itulah alasan Syafe'i Soemardja ketika di...
-
Kakekku tidak bisa membaca. Eh, nenek juga deh. Katanya mereka lebih memilih bekerja dibanding sekolah. Makanya mereka tidak bisa mem...
-
"Menghadapi kekejian yang tidak manusiawi, manusia harus melakukan penentangan. Manusia tidak boleh diam. Dia yang diam dan ...
-
Hembusan angin yang sayup-sayup telah menyapu debu-debu, membawa terbang seonggok kertas-kertas serta plastik yang dibiarkan teronggok ...
-
Sebelum aku mendongeng untukmu. Aku ingin menonton Ada Apa dengan Cinta bersamamu. Sayang, malam ini aku lelah. Tapi, saat aku...
-
Masa lalu berbuku saya adalah masa lalu yang di mana perpustakaan SD di kampung penuh dengan kover-kover buku bacaan anak yang h...
-
Tiga lelaki tua itu sedang berdiskusi mengenai keindahan lukisan Raden Saleh. Perdebatannya mengenai pencahayaan yang digunakan Rade...
-
Pada hari Sabtu, 20 Februari di Galeri Nasional puluhan orang menunggu gong dibunyikan tanda perayaan bedah buku dimulai. Bedah buku bertaj...
-
Sudah pasti kita mengenal sederet nama berikut: Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar, dan W.S Rendra; sebagai tokoh-tokoh...
-
5 Desember puluhan orang berkumpul di De Rivier Hotel (eks Hotel Batavia Jakarta) berdiskusi dan mengurusi sejarah. Seminar untuk memperi...
0 komentar:
Posting Komentar