Banjir begitu menguras pikiran dan tenaga. Rumah banyak yang terendam akibat meluapnya sungai. Hujan yang
begitu deras mengakibatkan kita khawatir dan waspada akan banjir susulan. Jalur
darat yang tergenang banjir pun menghambat alur
logistik.
Banjir membawa masalah baru. Ibu-ibu kesusahan
karena bahan logistik mendadak menjadi
mahal. Anak-anak mesti libur ke sekolah akibat jalan dan sekolahnya tergenang
banjir. Mereka terpaksa meninggalkan rumah dan
tidur di tenda-tenda pengungsian.

Gagapnya penanganan banjir berefek pada imajinasi dan
ingatan anak-anak di pengungsian ini. Di sinilah
mesti kita perhatikan, kebijakan menangani banjir bertaruh terhadap ingatan anak. Kegagalan menangani banjir berarti menambah memori ingatan anak akan pedihnya
bencana banjir. Mereka mesti tidur di tenda-tenda, kehilangan teman
bermain, dan mereka juga mesti meninggalkan rumah. Tempat di mana mereka
mengenal huruf dan kata.
Kita mesti
mendengar dan mencerna ingatan anak-anak itu. Sebab ingatan dan imajinasi
mereka tentang banjir menjadi
cerita paska banjir yang mesti diperhatikan lebih. Karena disitulah suara polos terdengar di tengah ributnya kita
mengenai masalah banjir. Kita memimpikan bersama mencipta kota dan desa yang
ramah untuk anak-anak. Bukan menjadikan kota dan desa kita sebagai supermarket
bencana bagi ingatan anak-anak. Begitu.
*Tulisan ini masuk di rubrik Poros Mahasiswa Koran Sindo, Selasa 28 Januari 2014