renoir-the-pont-neuf-paris

-tiada nyanyi seduka Jakarta- (Ajip Rosidi)
-tetapi Jakarta juga tempat para pengungsi dari desa-desa, seperti misalnya Wasil yang menghabiskan hidupnya tanpa harapan  (Wasil); tempat perempuan malam paling-paling masih berharap  dapat “Cari Muatan” sebelum sungguh-sungguh kami punah/muka perong gigi ompong tubuh Reot-. (Tanggapan dari A Teuuw)

            Jakarta tak lebih sebuah orkestra duka.Dalam kota manusia kehilangaan semuanya, bahkan dirinya sendiri, begitu  kembali Teeuw berkomentar mengenai puisi-puisi tentang Jakarta gubahan Ajip Rosidi. Bermula dari kata, kita bergerak dari puisi menjelajahi imajinasi ruang Jakarta yang begitu bopeng, berduka. Melihat dengan kacamataku dengan kacamatamu.

            Saat siang, Jakarta menjelma ruang yang begitu ramai akan berbagai aktivitas manusia kota. Berkendara menuju kemacetan, berjubal-jubalan di kereta, beratus-ratus orang mengantri bus di terminal. Persis nyanyi  puisi  Lagu Jakarta gubahan Ajip yang berkata, “tiada nyanyi seduka Jakarta” tergores di sini.  Namun  nyanyi duka Jakarta seakan sunyi senyap, tertidur dengan sisa-sisa aktivitas pemandangan Jakarta saat malam yang tak henti dikumandangkan  ritus do’a dalam kota: konsumsi.

            Mari kita melintas di Jalan Raya Bogor menuju ke arah Cililitan lewat tengah malam. Dari jalan itu kota Jakarta punya wajah tersendiri. Malam sunyi Jakarta yang ditemani dencit suara oseng-oseng pengorengan tukang nasi goreng menjadi denyut nadi kota tak menyerah pada malam. Begitupula gerobak-gerobak kebab atau pun martabak dengan lampu-lampu neon putihnya menantang siluet terang bulan jalan sebuah trotoar Jakarta. Melewati  Mal Cijantung  deretan-deretan tenda putih bergambar udang, ikan, cumi, terpampang menawarkan lapar perut kita akan citra rasa laut.

Bau osengan bumbu nasi goreng di trotoar-trotoar, bau amis dari tenda makan yang menawarkan aneka makanan laut, kembali di jalan itu  hidung kita ditawari lagi oleh bau duren di sebuah warung pinggir trotoar  menambah malam Jakarta tak mati. Orang-orang tetap memakirkan motornya di trotoar, berhenti sejenak mengendus bau duren, menawar, lalu  duduk bersila membelah duren malam-malam bersama teman, istri, maupun kerabatnya. Atau di bawa pulang. Jakarta terus menawarkan ruang konsumsi.

Keajaiban Pasar Tumpah
Lalu laju sepeda motorku beradu pelan dengan mobil losbak bernomor  B 1926 Tag keluar dari Pasar Induk Keramat Jati. Diikuti mobil-mobil losbak lainnya mirip pelari estafet.  Membawa macam-macam sayur mayur yang tentu tidak ditanam di tanah-tanah  beton Jakarta.

Oh gila, di pingir-pinggir jalan menuju PGC orang-orang tumpah melawan kantuk. Melawan sunyi malam Jakarta dengan membereskan dagangan mereka berupa kangkung, wortel, kubis, cabe, serta bau bawang yang menyengat hidung di trotoar jalan yang di pagi hari justru tumpah oleh kendaraan-kendaraan bermotor.  

Dari kaca spion motor, aku melihat seorang laki-laki akrobatik membawa berkarung-karung sayur mayur macam cabe, wortel, kubis di motor kecilnya yang badannya hampir ditutupi oleh karung itu. Laju motornya yang pelan membuat ia masih sanggup membawa itu karung. Semacam akrobatik yang jarang ditampilkan oleh pesulap kita di televisi.

Di sinilah ingatanku tertuju pada Avianti Armand yang pernah menulis penuh renungan, kehidupan pasar tumpah Jakarta yang begitu hidup karena dimeriahkan oleh mereka yang bergembira di pasar tumpah. Pasar yang berisi limpahan kekayaan alam desa berupa cabe, wortel, kubis itu. Melalui kaca jendela taksi ia pun menggambarkan dengan,

..Di sini terasa sekali bagaimana yang lemah mengatasi problem keterbatasan ruang dalam kota dan melawan sektor modern yang dikuasai modal besar dan tata kota.. (hal 36)

“Orang-orang ini,” kata Avianti Armand,  “punya moda bertahan sendiri yang bisa dinilai anarkis. Mereka bergerak seperti air, mengisi setiap celah dan ruang-ruang kosong yang mungkin, bahkan yang kita pikir tidak mungkin”

Pasar tumpahlah yang menyebabkan Jakarta mirip kampung dalam kota. Jakarta mirip kampung yang sedang merayakan panen di malam hari. Namun Jakarta selalu panen raya di malam hari di trotoar-trotoarnya, memanfaatkan bahu jalan yang lenggang dan sepi. Tak tergantung pada musim.

Jakarta merupakan kampung yang kaya akan limpahan sayur-mayur, cabai, wortel, kubis  karena ada tangan-tangan peduli petani desa yang sudi menanam dengan hati. Begitupula ikan-ikan segar yang diperdagangkan di malam-malam Jakarta di trotoar-trotoar. Tak terburu-buru, menjadi do’a dan ritus pedagang ikan di pisau-pisau yang tajam membelah isi perut tongkol. Dibelah-belah menjadi bagian kecil. Yang esoknya mungkin menghiasi di piring-piring warteg, rumah makan padang  untuk manusia kota.

 Jakarta seharusnya menjadi ruang kontemplasi. Jakarta pun berisi manusia kota yang selalu berikrar pada kata ‘cepat’. Goenawan Mohamad sampai menghantam logika ‘cepat’ itu dalam tulisannya di catatan pinggir “pelan”, di mana manusia kota mungkin tidak mempunyai macam tradisi ritus mendengar dencit suara kodok dan kicau burung yang cerewet. Tak ada yang disisakan yang menjadikan Jakarta sebagai tempat merenung dan kontemplasi. Hingga munculah bermacam-macam restoran atau rumah makan yang menjamur menawarkan konsep  desa dan kampung. Jakarta pun tampil dalam arsitekturnya yang kitch. Yakni arsitektur yang merupa logika palsu rasa kangen kita akan desa, akan kampung. Namun tetap lucu, arsitektur kota kita terus menawarkan ruang-ruang desa itu dalam balutan modernitas macam Mal.

Arsitektur Empatis

Jakarta menjadi arsitektur yang diibaratkan ruang tanpa ibadah karena menjadi tempat ribuan makian lepas. Klakson-klakson.  Tidak ada do’a pelan untuk menghayati kehidupan Jakarta. Padahal ada ruang yang mesti kita rayakan, yakni  pasar tumpah yang  dihidupi oleh do’a petani kampung dan desa dalam sebuah limpahan sayur mayur, buah-buahan, serta ikan laut dari nelayan-nelayan. Di pasar tumpah, ada do’a dari ibu-ibu yang sudi keluar malam ataupun subuh untuk membeli bahan-bahan makanan untuk orang-orang di rumahnya.

 Di trotoar-trotoar dan di jalan-jalan malamlah atau di sebuah rel kereta panjang tak  berpalang pintu karena  saat malam kereta jarang lewat kita bisa berkontemplasi. Menyadari diri sebagai makhluk kampung kota. Tanpa perlu memencet klakson, melihat dan menghayati Jakarta yang sunyi dengan kehidupan malam para migran yang terlupakan seperti tukang nasi goreng, kebab, martabak, ataupun warung-warung pinggir jalan telah mengenyangkan ribuan perut monster manusia kota yang terkoyak lapar.

Tiduran (1956)  oleh Surono
Lalu pasar-pasar tumpah yang menghidupi Jakarta berupa kekayaan alam kampung, desa,  memasuki jantung-jantung kota tak disadari telah menghidupi Jakarta di pagi sampai sore dengan konsumsi yang barangkali tidak terpikirkan oleh kita menjadi renungan arsitektur kota.  Mereka menempati celah-celah ruang yang lenggang di trotoar, di gang-gang, dan bahu jalan.

Barangkali sayur-mayur itu menjadi komoditi buat ratusan gerobak-gerobak mie ayam yang mangkal  menghiasi  di sudut-sudut kota Jakarta. Gerobak yang mencoba berdiri gagah-gagahan melawan Mal yang berdiri disampingnya.  Ratusan mangkuk yang menyediakan mie dengan potongan-potongan daging ayam dan sayur mayur yang dibeli oleh pedagang mie ayam di pasar tumpah. Mirip air mereka mengisi celah-celah ruang kosong untuk berdagang. Bahkan di kolong jembatan sekalipun.

Di sinilah kita begitu terharu. pemanfaatan ruang yang begitu sesak Jakarta menjadi area yang begitu menghidupkan banyak perut orang-orang kota. Inikah yang dimaksud dengan perlunya arsitektur empatis.  Adi Purnomo seorang ‘Nabi Arsitektur’ yang dilupakan, nyaris namanya sunyi dihiruk pikuk arsitektur negerinya sendiri, pernah menulis tentang arsitektur empatis ini di bukunya “Relativitas” (2005).

“Pendekatan arsitektur empatis,” kata Adi purnomo, “tidak hanya berfokus pada isu perbedaan kelas yang berpeluang membentuk kecemburuan sosial saja.

Di sinilah pemanpaatan trotoar, kolong jembatan, bahu  jalan yang menjadi nafas empatis detak jantung Jakarta.  Para pedagang-pedagang yang mengandalkan gerobak di sudut trotoar dan gang Jakarta macam nasi goreng, mie ayam, martabak, sampai tukang sayur di pasar tumpah menyisakan imajinasi arsitektur empatis sebagai arsitektur kota yang dihidupi dari berbagai macam kelas-kelas sosial.

Di sinilah lagi kata Adi Purnomo, arsitektur diharapkan menyehatkan diri sendiri dan lingkungan serta menghindarkan ‘stroke’ komplikasi sosial. Semoga tinggal di Jakarta menyisakan sebuah catatan kaki renungan akan arsitektur kota. Untuk menjadikan kota sebagai kampung kita. Membawa adem. Membawa sejuk. Semoga saja.



Rujukan Esai,
Adi Purnomo, Relativitas: arsitek di ruang angan dan kenyataan (2005) Borneo Publications
Ajip Rosidi, Terkenang Topeng Cirebon (1993) Pustaka Jaya.
Avianti Armand, Arsitektur Yang Lain: Sebuah Kritik Arsitektur (2011) Gramedia

Goenawan Mohammad, Catatan Pinggir Majalah Tempo (2013)