Do’a membaca buku adalah saat tubuh
yang lelah berprosa akan kehidupan imajinasi penuh bunga-bunga kata dan makna
menjelma terasa menjadi keteduhan jiwa. Saat itu kereta berlaju dengan pelan.
Koran-koran pagi mengharap hamba tak berkacamata untuk sejenak memandang kata
dan peristiwa.
Ada tokoh ada peristiwa yang
mengundaag mata untuk terbaca. Barangkali aku lupa, menjadi makhluk pembaca
yang berharap agar tak menjadi “homo omnios
libri”. Yakni kutukan bagi kita yang hanya menghibur diri sampai mati
mengandalkan satu buku. Aku adalah sekumpulan serpihan yang mengundang mata ini
menjadi saksi adanya hamparan luas buku-buku. Mereka memanggil, memekik dengan
suara indah, meminta-minta diceritakan,
dibacakan. Di situlah do’a semakin kuat agar kekasih hatiku pun mendengkap tangannya
dengan do’a dari buku.
Kereta masih berjalan dengan pelan. Seorang
lelaki memijit korannya menjadi informasi usang. Koran menjadi usang. Informasi
bukanlah pengetahuan begitulah kata Einstein. Aku tercabik mengingat itu karena
uangku sudah keluar untuk membeli koran di dekat stasiun tadi. Oh, apakah aku
harus memaki para wartawan dan redaktur yang menulis informasi-informasi picisan.
Hidup di kota ini merampas
segalanya. Kekasihku aku sendiri tidak yakin dengan isi tasku yang hanya
membawa satu buku. Buku itu terpilih secara acak dari kumpulan buku-bukuku yang
terasa kacau. Barangkali kamu pun bakal membenci keadaan ‘pecah’ berantakan
itu. Buku-buku itu yang menghias di lantai-lantai berkeramik putih. Buku tipis itu aku membelinya di sebuah pesta
buku di kota ini. Ya buku hasil meminjam dari teman. Dua puluh ribu yang keluar
dari kantong temanku menjadikan buku ini menemaniku di kereta yang mulai
dingin.
Masih ada sepuluh lebih stasiun yang
mesti aku lewati. Memacuku untuk membaca lebih hebat, membaca lebih sekedar melawan
kantuk. Halaman-halaman kisah sahabat yang mengenang sahabatnya melalui tulisan.
Berbahagialah mereka yang mengenang sahabatnya melalui sepucuk tulisan. Apakah
itu engkau sahabatku yang menulis pandagannya seorang pelukis macam Affandi?
Ataukah terlalu ringkih kita mengenang hanya melalui tulisan? Gubernur pun
mengucap do’a dalam sambutannya, “saya merasa penghormatan kami ini terlalu
kecil artinya”, begitu kata Ali Sadikin.
Affandi memang orang besar. Mendapatkan Doktor Kehormatan. Mendapatkan hadiah internasional. Kota ini
adalah begitu kecil untuk Affandi. Tapi Affandi telah membesarkan kita yang
melihat lukisannya. Barangkali kalau Belanda disebut sebagai ”Het Land Rembrandt”, beranikah kita
menyebut negeri ini “Het Land Affandi” ? Ratusan tahun Rembrandt dikenang di museum-museum megah di Belanda. Buku ini
hadir menjadi museum kata, beribu peristiwa menjadi satu dalam buku ini
mengenang Affandi yang berumur 70 tahun. Dewan Kesenian Jakarta melalui Ajip Rosidi,
Zaini, serta Sudarmadji menjadikan buku
ini hadir menjadi temanku di kereta yang terasa dingin ini.
Sekian tokoh bersaksi, sekian tokoh
berkisah mengenai Affandi. Sutan Takdir
Alisjahbana jelas memekikan kata “modern”dalam membedah lukisan-lukisan Afandi.
Takdir pun menulis, “Saudara Affandi
bukan seperti lukisan-lukisan kesenian kita turun-temurun , seni lukis
yang memperlihatkan ciri-ciri yang tegas seni modern dari kebudayaan industri
dalam seratus tahun yang akhir ini”. Semangat "modern" ini mesti dihidupi dengan lukisan-lukisan Affandi yang kaya akan
semangat itu.
Bagiku sendiri, tulian Sudjojono
berjudul “Tentang Affandi” mirip sepucuk
suarat dari sahabat yang telah lama tak bersua, bercerita akan serpihan hidup Affandi dari kesaksian
seorang Bapak Lukis Modern Indonesia.
Kehadiran buku ini pun menjadi gelora bagi kita yang ingin membaca
tentang kisah hidup pelukis-pelukis dalam teks sejarah yang melulu sulit ditemukan di negeri ini. Sudjojono menulis,
…Kalau bisa dikumpulkan hasil-hasil kerja
seribu orang pelukis terkemuka, dari seratus negera di dunia, di mana harus
masuk Perancis, Nederland, Jerman, Belgia, USA, Australia, Swiss, Jepang,
Spanyol, Mexico, Inggeris dan Indonesia, maka dengan mudah orang bisa akan
menunjuk lukisan Affandi dari jauh antara seribu lukisan yang dijajarkan itu….
Sudjojono mengatakan , “Tanpa
kesenian orang bisa hidup, tanpa negara
merdeka orang jadi budak”. Kita mesti
mengenang Affandi sebagai seniman dari pra kemerdekaan. “Dia Seniman.,” kata
Sudjojono. Affandi menjelmat eks yang terbaca dari zaman. Affandi dikenangnya sebagai
sosok yang pendiam. Namun lukisan-lukisannya selau berbicara lantang tentang kerja Affandi dalam mencipta enersi
yang meluap-luap. Masihkah kita merasa intelegensia kita masih tak sejajar dengan pelukis-pelukis luar negeri? Sudjojono membedah mentalitas itu berkaca dari Affandi!
Mataku mulai mengantuk. Masih ada kisah menarik dari
buku ini. Aku sendiri meragu. Kereta ini sebentar lagi sampai Stasiun yang
bakal aku tunggu. Stasiun ini aku kenang dengan kursinya yang empuk, dingin. Tak
sia-sia aku membawa buku ini menjadi
beribu kisah yang bakal aku ceritakan ke kamu. Kamu yang ada dihatiku kelak.
Hem.Hem.hem,
selamat tidur sayang…
0 komentar:
Posting Komentar