Di
suatu diskusi yang diadakan Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM) Universitas Negeri
Jakarta (UNJ) saya mengajukan Ni Jo Lan sebagai penulis sastra tionghoa
peranakan yang patut untuk didiskusikan. Kita mungkin lupa, merayakan imlek
bukan saja merayakannya dengan mengucapkan Gon Xi
Fa Coi di media sosial seperti Path,
twitter, maupun facebook. Kita pun bisa merayakan imlek dengan berdiskusi buku-buku
sastra tionghoa peranakan atau yang dikenal dengan sastra yinhua. Agar kegembiraan merayakan imlek melalui buku
menjadikan kita waras dan tak amnesia tentang sejarah sastra peranakan Tionghoa-Indonesia.
Lan
Fang (2012) dalam esainya “Ghirah Sastra
Tionghoa Terus Menyala” mengatakan sejak Inpres tahun 1967 sebagai politik
orba, gairah sastra tionghoa peranakan mati suri. Lan Fang menganggap sastra tionghoa peranakan pun ibarat mati segan hidup pun tak mau. Kita mengenang majalah
Xing Ho dan koran-koran Ta Kung Siang Po, sebagai tempat
menulis.
Ni
Jo Lan pernah menulis buku yang berjudul Sastera
Indonesia Tionghoa (1957). Buku tersebut ditulis agar menjadi pengingat
akan sejarah sastra yang ditulis orang-orang tionghoa peranakan. Ni Jo Lan
dalam kata pengantarnya mengatakan,“hasil
sastera itu merupakan tipifikasi suatu zaman jang sudah silam, sedjarah
kemasjarakatan suatu golongan bangsa di Indonesia kita pada masa itu, dan alat
penundjuk angan-angan jang hidup dalam golongan itu”.
Justru
dari sastra itu Ni Jo Lan ingin mengajukan pembacaan sejarah Indonesia melalui buku-buku sastra Indonesia-Tionghoa.
Ni Jo Lan percaya hasil karya sastra tionghoa peranakan meski “bahasanja miskin”, namun penuh dengan
bahan-bahan pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman studi.
Leo
Suryadinata mengatakan Ni Jo Lan merupakan tokoh penting yang menulis tentang
sejarah sastra tionghoa peranakan. Tahun demi tahun, Ni Jo Lan pun senyap
karena jarang didiskusikan buku-bukunya. Pramoedya Ananta Toer-lah sastrawan
Indonesia yang memulai memasukan karya-karya sastra peranakan tionghoa ini.
Pram mengamini apa yang dikhawatirkan oleh Ni Jo Lan bahwa jika tidak ada
penelitian lebih lanjut sastra tionghoa peranakan akan hilang begitu saja. Ni
Jo Lan (1957) gelisah dengan menulis,“sastera ini akan lenjap terseret arus sang Kala”. Ni
Jo Lan banyak mengajukan penulis-penulis Tionghoa peranakan yang banyak
menerbitkan karyanya sebagai pemuas dahaga akan bacaaan sastra tionghoa.
Selain
Ni Jo Lan, kita pun patut merujuk pada Djames Danandjaya. Djames Danandjaya
pernah menulis tentang Folklor Tionghoa (2007). Djames Danandjaya menulis buku
itu sebagai upaya mengobati amnesia sejarah. Menurut Djames Danandjaya suku
bangsa mayoritas Indonesia mengalami hypnoticamnesia
sedangkan suku bangsa Tionghoa adalah autohypnotic
amnesia. Patut menjadi catatan adalah mengenai autohpynotic amnesia ini.
Djames
mengatakan autohypnotic amnesia
disebabkan oleh penguasa. Indoktrinasi yang dilakukan oleh penguasa Orba berupa
pelarangan sekolah dan penerbitan berbahasa Cina, penggantian nama, pelarangan
upacara di depan umum menyebabkan suku bangsa tionghoa melupakan jati dirinya. Dalam
kata pengantar Djames Danandjaya menulis, “Akibat
indoktrinisasi yang dilakukan secara sitematik itu, kebanyakan orang tionghoa
karena patuh pada politik pemerintah
Orba dengan sadar atau tidak sadar telah melupakan jati dirinya”
Di
era reformasi Gusdur membawa angin segar bagi perkembangan sastra yinhua ini. Agus Setiadi (2010) dalam
esainya “Geliat Sang Naga Dalam Pustaka” mencatat
beberapa buku yang hadir menghias di toko buku setelah reformasi. Kita pun
dapat mencatat novel-novel yang hadir menjadi referensi membaca sang naga dalam
pustaka. Remy Sylado salah satu sastrawan yang rajin menulis novel bernuansa
tionghoa. Kita bisa mnegingat karya-karaya Remy seperti Siau Ling Cau Bau Kan, Sam Po Kong Perjalanan Pertama. Ataupun
karya terjemahan Pramoedya Annata Toer berupa Dewi Uban dan Opera Lima
Babak.
Kita
mesti merayakan imlek dengan berliterasi. Menggalakan kembali membaca dan
mendiskusikan buku-buku sastra Indonesia-Tionghoa. Djames Danandjaya mengingatkan kita bahwa
orang tionghoa bukan hanya dikenang melalui jenis makanan macam: bakmi, tahu,
tauco, dan sebangainya. Kita pun patut mengajukan referensi berupa buku-buku
karangan penulis-penulis Indonesia-Tionghoa. Mengenang sekaligus menjadi mengobati
penyakit amnesia sejarah.
0 komentar:
Posting Komentar