Jakarta
sebagai ibu kota sering mendapatkan kritik dari orang-orang dengan pelbagai cara.
Cap Jakarta sebagai kota langganan banjir serta termasuk kota yang tidak aman
menghadirkan meme di media sosial. Meme pun hadir menjadi penghibur
sekaligus kritik akan Jakarta.
Kita
gampang tertawa melihat meme yang
dihadirkan untuk sekedar hiburan dan mengundang tawa. Meme yang kita kenal selama ini merupakan plesetan berupa gambar
dan kata dengan tujuan menghibur. Kita mengenal meme yang hadir sebagai kritik yang mengundang tawa. Richard Brodie
(2014) dalam bukunya Virus Akal Budi :
Ilmu Pengetahuan Baru Tentang Meme mengatakan meme dapat bekerja seperti
virus. Meme dapat mempengaruhi
perilaku dan pikiran orang-orang.
Abad
21 dalam dunia digital menghadirkan meme
sebagai media kritik dan hiburan. Kita
jarang menghadirkan puisi sebagai penghibur dan renungan akan kota. Sebuah
puisi juga sanggup berbicara dan bergelimang makna akan imajinasi kota. Ajip
Rosidi dalam puisinya “Kepada Jakarta”(1955) memantik ingatan kita membaca kota. Melalui
puisi itu Ajip memberikan gambaran melankolik,”Tiada nyanyi seduka Jakarta” barangkali menjadi kritik pada kota
Jakarta. Penyair hadir menyemarakan sketsa kota melalui puisi. A Teeuw
mengatakan setiap penyair tentu sibuk dengan hidup dan pikirannya. Penyair
melalui puisi pun hadir menjadi pemantik ingatan akan perkembangan kota.
Puisi menjadi obat lupa ingatan akan sejarah.
Puisi Zeffry Alkatiri misalnya sering menghadirkan imaji sejarah dengan
menghadirkan tokoh-tokoh moncer macam Raffles, J.P. Coen, Mojen. Bandung
Mawardi (2014) menghadirkan Zeffry Alkatiri
sebagai penyair yang mengamanatkan sejarah. Puisi menghadirkan imaji akan
ingatan akan sejarah. Sebuah puisi dihadirkan menjadi mata yang awas akan perkembangan
kota. Puisi menjadi renungan akan masalah sosial, ekonomi, politik. Melalui puisi
penyair mengantarkan kita pada renungan akan kota.
Puisi Zeffry Alkatiri berjudul, “Kapan Kau datang Lagi, Jaap” (2002-2005),
menghadirkan tokoh-tokoh sejarah yang pernah mendirikan kota di Hindia Belanda.
Dalam puisi itu, Zeffry membuat renungan dengan menulis, //oleh sebab itu, kirimkan kami J.P. Coen, Deandles //dan Mojen
kembali//agar kami dapat belajar membangun beberapa kota//.
Kita mengenang Deandels merupakan
gubernur jenderal yang membuka Jalan Raya Pos. Jalan yang membuka gerbang
kota-kota lain bermunculan seperti Bandung, Cirebon, Semarang. Emile Leushuis (2014) menyebutkan bahwa Daendels
jugalah yang memberikan perintah penataan kembali kota-kota penting di pesisir
utara Jawa. Kini kita pun mengenang kota-kota pusaka semacam Jakarta, Cirebon,
Bandung, dan Semarang sebagai warisan peradaban kota.
Chairil Anwar membuat puisi yang meninggalkan
jejak-jejak membaca kota. Chairil menghadirkan puisi-puisi yang berkisah
tentang modernitas dalam kota. Marco Kusumawijaya (2008) menganggap Chairil
sebagai penyair yang membaca kota. Marco menganggap di dalam ruang kota, sajak
bisa bicara tentang zaman. Puisi pun menjadi ‘dokumentasi kata’ akan gerak perkembangan kota Jakarta yang
merangkak menunju modernitas. Chairil dalam sajak “Aku Berkisar Pada Mereka” (1949) mengungkap kota melalui jalan,
film, musik, lampu jalan dalam larik-lariknya sebagai rekam jejak kota Jakarta
dalam sajak. Persis apa yang dikatakan Afrizal Malna bahwa para
penyair dapat melihat perkembangan kota yang lebih progresif melakukan
modernisasi melalui puisi.
Saat Jakarta diserang banjir kita
melulu mengabarkan banjir melalu medai sosial. Lalu bercanda dengan gambar meme
yang mengundang tawa. Mengunggah foto dan berkicau mengenai banjir melaui facebook, path, maupun twitter. Justru kita rindu dengan puisi
yang menjadi mata hati membaca kota. Kita mengabaikan peran puisi dalam memaknai
kota. Puisi pun berhak dihadirkan menjadi lentera membaca kota.
0 komentar:
Posting Komentar