Saat
saya tidur-tiduran membaca buku “Penghantar Seni Sastra” karangan R.Maat, teman
saya memanggil untuk duduk, berkumpul dengan teman-teman yang lain di selasar
depan. “Tamunya sudah datang,” katanya.
Pagi
sebelumnya Bandung Mawardi memberitahuan kami peserta 14 hari Sinau, akan kedatangan
tamu. Seorang maestro. Aku belum pernah mengenalnya.. Ini perjumpaan saya pertama
kali ngobrol,
duduk bareng, mendengarkan cerita dari Mbah Prapto.
Hari
itu, 2 Februari 2014 saya berada di bilik literasi.Terasa di rumah itu ada perjumpaan
kata dan cerita dengan orang-orang hebat. Mbah Suprapto Suryodharmo, maestro
gerak, tari. Oranag yang menurut Bandung Mawardi selalu membuat acara-acara dahsyat
di Pasar, di Candi, di tengah masyarakat Indonesia juga dunia. Saya hanya
bertemu Mbah Prapto di ulasan Bandung Mawardi tentang candi dan buku yang
tertuang di blog dan juga Koran sindo merekam jejak Mbah Prapto yang mengadakan
acara spritualitas, pengajian melalui candi.
“Mbah
Prapto, tidak pernah mendapatkan gelar Honoris Causa,” kata Bandung, “Tapi dia
akan memberikan kita honor”, begitu katanya membuat kita yang ada di dalam
diskusi tergelak tawa. Mbah Prapto pun menjawab, “Lucu ya,” sambil nyengir lucu melihat Bandung yang ada di sampingnya.
Asap
dari rokok gudang garam filter yang sedari tadi ia pantik, mengepul di bilik
literasi. Lelaki berambut perak dikuncir belakang itu pun memulai pembicaraan
dengan memberitahukan maksud kedatangannya di sini tepat di hari ulang tahunnya
yang ke 69. Hari ulang tahun mbah Prapto dihabiskan sore itu bersama kami. Mbah
prapto memberikan wejangan.
“Saya senang sekali,”
katanya, “karena bisa membangun regenerator”
Menurut
Mbah Prapto membangun regenerasi yang berkaitan dengan semangat hidup bisa
dimulai dengan perjumpaan. Mengobrol bertemu Mas Kabut (Bandung Mawardi),
bertemu dengan konco-konco adalah
membangun regenerator, generasi baru.
Perjumpaan
bertemu dengan Mbah Prapto adalah perjumpaan cerita akan perjalana-perjalananya
kesukaannya terhadap, alam, terhadap gerak dan tari. Pun begitu juga dengan
candi. Menurutnya, berbicara, bercerita sama dengan menulis. Cerita-cerita Mbah
Prapto memang dilukiskan melalui cara ngobrol,
idenya tentang toilet merupakan candi, membuat saya berfikir keras
mengartikannya.
|
Aku dan Mbah Prapto di UII |
Bicara candi kita ingat akan Tagore. Tagore Filsuf
India kelahiran Calcutta ini, pernah melukiskan perjumpaannya dengan candi,
dengan Borobudur tahun 1927. Delapan belas tahun sebelum kelahiran Mbah Prapto di
Solo. Bandung Mawardi dalam tulisannya Ziarah Imajinasi Candi mengutip lirik Tagore. Dengan menulis lirik
tentang borbudur, Tagore,seperti berdo’a,”Turun-temurun
peziarah datang dalam pencarian suara abadi untuk//menyembahnya; patung-patung
bernyanyi, melalui sebuah simfoni besar//isyarat tubuh, membawa nama-nama
sederhana mereka, menggantinya untuk mereka://biarlah Budha menjadi
pelindungku.
Mungkin
saja do’a yang diucapkan Tagore melalui lirik-liriknya itu saat mengunjungi
Borobudur, terbanglah puisi-puisinya yang bersayap itu dilangit Solo, terhirup
oleh Mbah Prapto yang hidup dengan cerita-cerita candinya itu yang kita
nikmatinya sekarang ini.
Jika
Goenawan Mohammad (1968) mengatakan, “Tagore adalah seorang romantik,” begitu
katanya,”penuh dengan kerinduan kepada alam yang pelan-pelan sedang
direnggutkan oleh abad Modern dari hati manusia. Berarti perjumpaan dengan Mbah
Prapto seperti perjumpaan mengobrol dengan Tagore. Sebab apa, Mbah prapto pun
memuncak dengan filsafat alamnya dengan tafsiran tulisan-tulisan di candi yang
ditemuinya disitulah bertemu dengan ritus kerinduan kita tentang alam, tentang
rumah yang didalamnya menuliskan dengan gerak, dengan patung, dengan melukis kata
dengan suasana kampung. Ia mencontohkan dengan bilik literasi ini. Bilik
literasi ini mengingatkan memorinya tentang kampung.
“Rumah,”
menurutnya, “harus mendidik manusia”. Mbah Prapto senang dengan rumah yang
ramah seperti bilik, buku yang tidak teratur, rumah yang berbuku. Kita
sering menemukan ruang dengan penuh meja
dan kursi. Di bilik literasi ini ia seperti berjumpa dengan kepolosan
regenerasi baru itu.
Bagi
kita yang “jawa’, yang pernah berada di tanah Jawa. Kita akan tercabik dengan
pernyataan Mbah Prapto tentang pendidikan mengatakan,”di jawa bukan pendidikan
manusia, tetapi pendidikan kutukan”. Kita dikutuk oleh penguasa dengan
pendidikan yang tak etis.
Kita
dikutuk dengan raja-raja yang tidak cerewet dan menyuruh para resi yang hidup
dikeraton yang bekerja untuk menuliskan kata-katanya. Sayangnya, para resi ini
mempunyai kesadaran bahwa Raja adalah pusat dari kata-kata. Dari situlah
Bandung Mawardi coba menelaah bahwa etos menulis memang sudah dijauhkan dari
rumah, dari rakyat. Rakyat hanya memuja kata-kata raja dan diabadikan,
disakralkan, dikultuskan dengan sesajen.
Para
resi kita yang mempunyai pengetahuan menulis, filsafat, dan sastra yang tinggi
itu terkadang merasa jauh dari rakyat. Oleh karena itu terkadang kerja menulis,
menurut mbah Prapto, membuat kita mempunyai pandagan ke luar, yang secara real kita
itu ada di dalam Seharusnya, kita menulis di dalam rumah! Itulah yang disebut
dengan sudut pandang, point of view.
Mirip
yang diucapkan oleh rendra bahwa para intelektual (resi, mahasiswa, dosen,
penulis), adalah mereka yang berumah di angin. Rumah yang berisi dengan
kebebasan. Kebebasan menjadikan kita manusia. Dan manusia yang bebas adalah
mereka yang berumah dan menulis di desa, di kampung. Ong Hok Ham mengutip dari
pernyataan Paul Mus bahwa sejarah
bergerak dari desa, dari kampung. Tubuh orang
Indonesia (jawa) berkembang jika ia berumah di kampung. Seharusnya kita
kembali ke rumah. Seharusnya…