Cerita pendek ini
aku mulai dengan imajinasiku tentang buku puisi. Lalu aku menulisnya dengan letupan-letupan
fakta penuh prosa pula. Bagiku ini tetaplah imajinasi. Mesti berisi puisi-puisi
hidup.
Aku tidak ingat
siapa pacarkecilku hari ini. Yang setiap bangun pagi karena Azan Subuh lalu
mendekapku dengan mesra: basuhlah mukamu dengan air suci. Kini aku begitu
dibawa oleh kata yang ditulis oleh penyair Joko Pinurbo di buku alit ini. Wah, ini buku menjadi
buku puisi yang akan aku simpan baik-baik. Diam-diam aku terbawa emosi,
suasana, dan jeritan-jeritan kata dalam puisi-puisinya.
Saat itu hujan
membasahi Jakarta. Kamu tahu, aku duduk di dekat jendela-jendela penuh
buku-buku di toko buku sekitar Senen, Jakarta. Di situlah aku bertemu dengan
pacarkecilku. Di hujan yang sebentar itu Jokpin aku baca lama-lama sampai aku
lupa harus membeli buku pesanan temanku. Aku memang bukan penyair. Tadi dua
puluh menit sebelum aku berada di jendela itu. Saat aku terhenti di sebuah
warteg beberapa temanku berkata,
“Kamu tak
mengerti puisi. Walau begitu coba baca saja,” begitu katanya.
Kata seorang
pengarang, penyair selalu berkiprah dengan kata penuh permenungan**.
Aku memang jarang
sekali mengkoleksi buku-buku berbau puisi. Temanku pernah membelikanku puisi
Kuntowijoyo dan Bakdi Soemanto. Tetap itu tak membuatku tertarik menjadi
penyair. Ah, hidup mungkin mesti berpuisi. Maka aku begitu terharu biru membaca
(diam-diam) dalam hati puisi pacarkecilku
yang berkata,
“pacarkecilku bangun di subuh hari ketika
Azan datang//membangunkan mimpi. Pacarkecilku berlari ke halaman,//menadah
hujan dengan botol mainan, menyimpannya//di kulkas sepanjang hari, dan malam harinya
ia lihat di botol itu gumpalan cahaya warna-warni”(pacarkecilku, bait pertama)
Berat hatiku
membacakan (masih) dalam hati kata ‘Azan datang’ disela-sela gerimis yang
kunjung henti di klakson-klakson angkot. Kamu sering hadir di ranjangku. Lalu
berbisik,
“Mas sudah
subuh,” katamu penuh hening.
Seperti lantunan
ayat-ayat tuhan dalam Qur’an, aku masih lelap lalu dengan sabar kamu
membangunkanku. Aku pun membacakan puisi itu yang berlanjut dengan berbisik
mirip berdo’a,
“Pacarkecilku lelap tidurnya, botol pelangi dalam
dekapnya.//ketika bangun ia berkata, “tadi kamu kemana?//Aku mencarimu di
rerimbun taman bunga.”// aku terdiam.sepanjang malam aku hanya berjaga di
samping tidurnya agar dapat melihat bagaimana azan pelan-pelan membuka matanya “(pacarkecilku,
bait kedua)
Aku sudah lupa
bagaimana kamu punya memori ingatan tentang subuh itu. Pacarkecilku aku ingin
mengiris-iris ingatanku menjadi beberapa bagian. Lalu kita bangun sebuah rumah
penuh akar. Di akar-akar itu menjelma gedung-gedung tinggi kota penuh
badut-badut mengajak kita ke mana-mana. Di jantung kota dengan komedi putar kita berdetak kembali menjalin cinta yang
penuh polos kekanak-kanakan. Tak lupa membeli gulali dan cap cay. Nah,
barangkali dari situ aku mudah-mudahan tak menangis melulu karena ketinggalan
bus. Karena kamu selalu ada di sampingku menawarkan,
“Ini ada gulali,
jangan menangis ya,” katamu dengan senyum lebar-lebar.
Air matakupun
kuseka dengan manisnya gulali dari kamu
itu. Kamu masih ingatkah dengan memori itu. Kita hilang ingatan tentang memori kekanak-kekanakan kita. Karena kita melulu
emosi orang dewasa. Menamparmu, menghinamu, meledak-ledak dengan kata tak
sopan.
Lalu kamu bilang
juga. Katamu, aku selalu bersedih. Karena aku selalu ditinggal bus. Sebab aku
selalu menunggu sepatu yang dipakai kakakku
berjualan di pasar malam. Aku sering bergantian memakai sepatu jembel itu. Kamu
tahu, apa yang kamu ungkap saat aku menangis lagi,
“Ini ada gulali,
jangan menangis ya,” katamu lagi dengan senyum lebar-lebar.
Padahal waktu
itu kamu tahu aku tetap menangis. Karena aku tidak mau harus ketinggalan bus
lagi karena sepatu itu. Aku ingin membeli sepatu. Lalu kamu memelukku. Hilang
ketakutan dan kesedihanku. Lagi-lagi kantung-kantung bajumu penuh gulali. Dan
kamu mesti ingat aku berkata padamu setelah dewasa kelak,
“pacarkecilku tak akan mengerti;pelangi
dalam botol cintanya// bakal berganti menjadi kuntum-kuntuk mawar-melati//yang
akan ia taburkan diatas jasadku, nanti.”(pacarkecilku, bait ketiga)
Pacarkecilku
barangkali disaku celanaku kali ini ada pistol untuk membunuh ingatanku tentang
dirimu yang tak juga kunjung datang di halte ini. Halte tempat aku menangis dan
kamu menawarkan kembali gulalimu itu. Jelas aku terkapar dalam kesendirian yang
heboh dengan dencit-dencit suara pengemis meminta uang dariku. Aku kasih
semaunya. Aku akhirnya tak sanggup naik taksi. Terpaksa aku naik becak yang kata penulis puisi ini, kamu tahu pacarkecilku, katanya aku mesti menuju ke sebuah kuburan. Lawatan
kesedihan dan orkestra penuh bunga-bunga.
Pacarkecilku
apakah kamu ada disitu. Aku tak sanggup membayar becak yang mengantarkanku
ke kuburan itu. datanglah. Datanglah dengan taburan bunga-bunga dari botol
mainan kecil itu. Agar aku tak lesu harus bagaimana menghadapi persolaan ini.
Agar aku kembali hebat. Persis seperti pacarkecilku.
Barangkali aku
tiba juga dipintu rumah kita yang putih
lancip-lancip pagarnya. Aku buka sepatuku lalu mengetuk pintu, ternyata
pacarkecilku membuka pintu dengan senyum penuh kantung airmata di sela-sela
mata polosnya itu. dalam banjir airmata, kamu berkata,
“Maafkan aku
mas,” katamu nyaris terdengar lirih.
Aku pun
memelukmu dengan membawakan oleh-oleh berupa buku–buku. tanpa membawa bunga.
Kamu datang
membasuhku dengan tawa, kesedihan, lalu aku memelukmu lagi dengan erat-erat
kata maaf polos itu. Aku marah lalu
membeli buku ini untukmu. Semoga kita baik-baik saja, lalu saat tidur nanti,
aku diam-diam membacakan, membisikan puisi ini ke kamu,
“Sebelum tidur ia selalu berdoa: bangunkan
aku jam tiga pagi, .”( Bangunkan Aku Jam Tiga Pagi, bait pertama)” kataku
pelan-pelan mirip berdo’a.
Kamu datang
keranjangku. Membawa gulali lalu cerita banyak-banyak. Aku mendengarkan itu.
kita bertengkar tadi pagi, malam kita kembali polos. Makanya tuhan selalu
mengingatkan kita saat malam berdo’alah. Maka aku berdo’a dengan melanjutkan
membaca puisi itu dengan (masih) diam-diam,
“jam tiga pagi mimpi mungkin sudah kembali
ke nol lagi//ia ingin dengar bagiamana ranjang menyanyikan tubuhnya// dan tubuh
menyanyikan sakitnya//” (Bangunkan Aku Jam Tiga Pagi, bait kedua)
Begitu barangkali
aku ingin menjerit-jerit menyesali perbuatan kita yang bertengkar karena dewasa.
Kembalilah. Kembalilah pacarkecilku dalam dekapanku. Di ranjang ini aku
menemukan kembali sosok malaikat berwajah cantik menemaniku dalam desah-desah
mimpi. Barangkali itu bukan mimpi.
*Judul buku puisi Joko Pinurbo yang diterbitkan oleh Indonesiatera (2002)
**Cek kata pengantar oleh Ignas Kleden dalam Catatan Pinggir 2 (Grafiti, 2003)