Sebelum kamu duduk pagi ini meninggalkan lari malam yang ramaikan
mimpimu. Kamu harus tahu dulu, sudahkah membasuh kakimu yang halus itu dengan
rasa gembira, riang, penuh kegirangan. Kamu juga sudah mengerti kegirangan ada
disetiap tubuh-tubuh pagi yang pergi meninggalkan coreng, gelap-gelap hidup.
Katamu kalau kita membeli surat kabar ada sisi yang mesti aku
perhatikan selain kata dan iklan. Mesti kamu bilang seperti itu, aku lupa pagi
ini tak ada koran. Jadi kamu boleh juga duduk santai sambil ngobrol pelan
dengan aku yang sudah membawa buku ini sejak subuh tadi. Barangkali kamu suka
dan kita tumbuhkembangkan hari-hari penuh kegirangan.
Sebab kamu sendiri yang bilang kepingin tertawa terus. Menertawakan
siapa saja dari penguasa sampai hal remeh temeh. Aku minta maaf. ini buku
selalu mengundang malas untuk menyampul. Sebab aku tak pandai hal kecil itu. Tapi
aku selalu membeli buku agar kelak kamu tahu aku girang bisa menambah koleksi
perpustakaan imajinasi ini, disini, dikamu, di hatimu dan di impianmu juga.
Sumarthana mengatakan naluri pencarian kegirangan sudah sejak bayi
kita miliki. Persis yang kamu bilang kita selalu ingin seperti bayi. Polos dan
selalu girang. Itulah maksud dari hidup. Dalam buku inipun, Karikatur-karikatur (1970-1981) gubahan
Pramono menjadi bahan obrolan kita pagi ini. Agar tak usai pagi ini lewat
begitu saja.
Sumarthana bilang dalam sekapur sirih,
“Mereka yang bisa mencari kegirangan biasanya tak berminat untuk
mencari definisi tentang apa yang disebut ‘lucu’. Agaknya bagian yang tersulit
untuk dirumuskan adalah hal-hal yang menyangkut perbedaan-perbedaan pengalaman
pribadi tentang apa-apa yang menyebabkan seorang tertawa. Pengalaman tentang
kelucuan pada dasarnya merupakan pengalaman personal”
Kegirangan menjadi begitu personal bagi kita sebagai manusia yang
senang tawa. Sebab itu aku jadi teringat saat kita berdua, berlima, atau
bersepuluh melingkar duduk-duduk berbicara hal-hal remah temah lalu muncul
ungkapan-ungkapan yang entah mengapa kita semua tertawa begitu saja. Melucu
butuh mengingat barangkali.
Sebab itu buku Pramono ini yang berisi karikatur-karikatur yang
diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan menjadi ingatan untuk kita hidangkan pagi ini agar kamu
punya alasan mengapa dalam membaca surat kabar aku begitu tertarik dengan
karikatur. Kita punya karikaturis hebat macam GM. Sudarta dengan Oom Pasikom,
Dwi Koen dengan Panji Koming, Kini aku punya buku Pramono dengan
karikatur-karikaturnya yang membuat kita tertawa.
Filsafat Lucu Pramono yang disukai oleh Sumarthana salah satunya
adalah Sinkretisme Helm. Ah, gila helm pernah menjadi polemik di kota-kota
macam Jakarta. Helm menjadi bahan tertawaan pada saat itu yang mau menggeser
budaya topi. Budaya helm sebagai budaya modernis dan budaya topi sebagai budaya
murahan, tradisionil. Sumarthana mengatakan,
“Pramono merekam apa yang mungkin terjadi di jalanan dengan
orang-orang yang pada akhir tahun 1971 diharuskan memaki helm. Terjadilah
semacam sinkretisme budaya topi yang
lucu. Dari segi peraturan helm khususnya dipakai di jalan raya yaitu melindungi
kepala dari kemungkinan benturan fungsional. Namun topi dalam arti tradisonal
mempunyai banyak arti. Baik sebagai simbol, sebagai identitas, bahkan sebagai bagian dari status tertentu. Sebab itu ketika ada keributan soal helm di akhir tahun
1971, maka terjadilah keaneh-keanehan yang merangsang tawa. Secara amat komikal
hal itu telah membuat banyak frustasi dikalangan masyarakat yang masih hidup
dalam rangkulan inti budaya pribumi. Seolah-olah juga terdapat kesan semacam
protes terhadap helm yang hendak dipaksakan saat itu”
Dari hal yang lucu kita dapat bicara tentang sejarah. Kamu juga
pasti setuju kalau komikus juga sebagai dosen sejarah yang mampu menerangkan
jejak-jejak peristiwa yang terjadi di dunia dan kita. Bgeitulah aku sedari
sekarang ingin sekali mengkoleksi buku-buku berbau kartun-kartun agar tak
melulu merasa hebat, sombong membaca buku sejarah babon agar ngerti, eling
tentang sejarah.
Kamu mesti mengingatkanku juga bahwa sejarah mesti digubah dan
diobrolkan secara lucu oleh karikatur-karikatur. Duh, apalagi kita hidup di zaman
serba cepat yang memakan tawa sebagai generasi tak pernah tertawa. Semua serba
melulu serius. Mesti kamu pernah bilang hidup memang serius. Sebab apa kita
tidak tertawa. Dilarang-melarang tertawa.
Sudahkah kamu mandi hari ini? Aku menunggu di depan rumahmu sedari
tadi sambil membalik-balik buku Pramono ini. Begitu lucu, begitu mengundang
tawa. Semoga dengan buku itu menjadikan tangan kita selalu mendekam, melipat
silang persis seperti berdoa: kita butuh tawa dan kata. Aku selalu berdoa itu
untukmu.
Selamat pagi….
0 komentar:
Posting Komentar