Narasi sejarah
kita tentang guru yang berpolitik anti-kolonial sangatlah sedikit dibicarakan di ruang kelas.
Barangkali buku paket pelajaran di sekolah kita tak memuat bab guru berpolitik.
Kita akhirnya sadar, buku paket pelajaran keluaran pemerintah hanya berisi
ringkasan-ringkasan sejarah seadanya yang menumpuk di tas dan dibawa
sehari-hari oleh anak sekolah. Jadi, setiap hari mereka membawa, membaca,
menghapalkan buku berisi sejarah yang kering dan diulang-ulang. Negara sengaja
meringkas, membekukan, dan menyebarkan pengetahuan seadanya itu di buku
pelajaran.
Pendidikan yang
seadanya merupakan cerminan dari kebijakan negara dalam menentukan kualitas
murid, yang selalu diharapkan menjadi penentu masa depan Indonesia. Negara
terbukti belum mampu mengenalkan murid dengan sejarahnya, mengajari mereka ilmu-ilmu
yang memiliki dasar sejarahnya. Andai di dunia pendidikan ada bab guru
berpolitik untuk diajarkan ke murid-murid, setidaknya akan ada perubahan yang
membawa optimisme. Sebab, sejarah diperlukan dalam menentukan nasib pendidikan
Indonesia di masa sekarang dan masa yang akan datang.
Guru pun minim
akan literasi. Guru-guru jarang membaca
buku. Maka, tidak aneh jika guru-guru hari ini jarang mendengar ide-ide radikal
pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara, Tan Malaka, Muhammad Syafei, dan Mohamad
Hatta. Akibatnya, guru-guru enggan berpolitik. Padahal di masa-masa revolusi,
guru adalah seorang intelektual yang berpolitik.
Di manakah bab
sejarah guru dan politik? Apakah dihapus oleh rezim Orde Baru yang bertujuan
untuk membuat guru patuh dan mendukung sepenuhnya pembangunan. Caranya yakni
dibuatkan organisasi tunggal, diminta mendukung partai pemerintah, mengajar
dengan pesan-pesan pemerintah. Hilangnya bab itu mengakibatkan sejarah
pendidikan dijauhkan dari politik, dibungkam agar tidak mengganggu stabilitas
politik sekaligus mensukseskan pembangunan.
Setelah puluhan
tahun, akhirnya kita lupa pada keteladanan guru-guru yang berpolitik sejak masa
kolonialisme. Murid-murid, mahasiswa-mahasiwa, guru-guru seakan-akan tidak
berusaha mengingat sejarah yang sejatinya adalah bab fundamental. Pendidikan
yang melupakan sejarah sama artinya pendidikan yang cacat. Kita seharusnya
segera sadar dan berusaha mendasarkan pendidikan terkini ke sejarah yang
menggugah.
Ki Hadjar
Dewantara, Tan Malaka, Muhammad Syafei,
Hatta merupakan guru-guru politik yang aktif mendirikan sekolah. Dari risalah,
brosur, buku yang memuat tulisan-tulisan
mereka tersimpan ide nyata bahwa guru harus berpolitik. Ki Hadjar Dewantara merupakan guru yang berpolitik. Ia mendirikan Taman Siswa
yang dasar politiknya jelas yakni melawan politik pendidikan Belanda. Sebab, sistim
pendidikan Belanda mengecewakan dan sudah kehilangan rasa kerakyatannya. Guru
di sekolah bentukan Belanda menghilangkan tabiat kerakyatan. Sebab, murid-murid
keluaran sekolah Belanda merasa lebih tinggi derajatnya daripada
saudara-saudaranya yang tak pandai
berbahasa Belanda.
Tan Malaka juga merupakan
guru yang berpolitik. Ia mendirikan sekolah kader
berupa SI School tahun 1921. Mereka
tahu, sekolah menjadi arena guru menebarkan ide-ide pembebasan. Melalui sekolah,
guru mengajarkan ilmu pedagogik berupa ilmu berhitung, menulis, serta bahasa yang
dikemas dan diolah di sekolah kerakyatan
untuk menghadapi zaman kapitalisme. Murid diasah jiwanya melalui bermain
dan mengikuti perkumpulan-perkumpulan, organisasi-organisasi politik. Kelak
mereka terbiasa menjadi pemimpin yang tidak jauh dari rakyatnya. Menurut Tan
Malaka, kemerdekaan rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.
Kini, alih-alih
narasi ide guru berpolitik haram hukumnya. Akhirnya, ruang kelas menjadi ruang
mengisi pilihan ganda. Ruang kelas sepi akan retorika perdebatan politik. Guru
menganggap persoalan sekolah adalah persoalan metode mengajar saja. Sehingga,
guru sulit berfungsi sebagai penyulut kesadaran sejarah. Pendidikan semakin
menyempit, bab dan bahasannya terbatas. Pendidikan yang menutup diri dari
sejarah dan politik akan menjadi pendidikan yang tidak berlentera.
Lody Paat dalam
tulisannya Melahirkan Guru Intelektual Transformatif (2011) mengurai
masalah terkini yang menjangkit guru yakni tidak mau melawan kekuasaan. Contohnya
ada di model pelaksanaan LPTK. Ini bisa dilihat dengan mata kuliah yang
didapatkan mahasiswa calon guru. Mahasiswa calon guru kita masih dipenuhi
dengan materi ilmu pendidikan usang (alat pendidikan, kewibawaan, dan
kedewasaan), psikologi pendidikan (behavioristik dan kognitif), dan strategi
belajar mengajar.
Pengetahuan itu
masih mendominasi ruang kelas. Inilah yang membentuk guru kita mempertahankan status quo bahwa sekolah hanya
tempat aplikasi metode belajar-mengajar
saja. Guru-guru kita tidak terasah untuk mengurai kekuasaan. Persis kritik
yang dilontarkan Ki Hadjar Dewantara,
guru sebagai mesin. Kritik Tan Malaka menyebutkan penyakit guru ialah mabuk
metode. Bahkan, Winarno Surakhmad menyebutkan guru sebagai operator. Apakah
guru-guru pada masa sekarang ingin berubah?
Guru-guru kita
jarang mengikuti diskusi-diskusi politik pendidikan. Guru-guru kita lebih
senang memadati diskusi sosialisasi kurikulum baru. Guru-guru kita lebih senang
memadati diskusi mengenai metode mengajar yang efektif. Hari ini wacana guru
kita masih mendominasi pengejaran penghidupan berupa sertifikasi. Hari ini
wacana guru masih berisi ambisi menjadi PNS.
Pada titahnya
guru adalah kunci pembuka gerbang perlawanan pembodohan, kelaliman, dan jurang
perbudakan. Jika guru bungkam, tidak
berpolitik, maka murid juga buta politik. Aneh rasanya jika kita tak mendengar
suara lantang guru yang kritis. Kalau begitu dalam hening kita patut bertanya,
wacana siapakah ini? Rakyat ataukah penguasa?
*Tulisan ini masuk di rubrik Mimbar Mahasiswa koran Solopos
0 komentar:
Posting Komentar