Barangkali manusia adalah makhluk
yang tak kenal kata ‘cukup’. Oleh
karena itu Budayawan Radhar Panca Dahana memberikan kritik budaya pada
kapitalisme dengan mengusung ekonomi cukup. Kritik budaya yang diambil dari pengalaman
bahari ini termuat dalam buku Ekonomi Cukup Kritik Budaya pada Kapitalisme (2015).
Kritik yang memberikan pandangan ulang mengenai ilmu ekonomi.
Sri Edi Swasono
dalam kata pengantar menyebutkan ilmu ekonomi konvensional memberi corak pada manusia sebagai homo-economicus berikut pamrih pribadi
sedangkan ekonomi kontemporer memberikan
corak pada manusia sebagai homo-etichus,
homo-humanus, homo-socius dan homo-magnificus
(hal xxii). Ekonomi yang merubah status manusia yang beretika menjadi rakus
tak terkendali.
Radhar mengingatkan kita akan
aktor yang mempengaruhi ekonomi yakni Trio P. Permainan politik ekonomi antara
Pengusaha-Pemerintah-Parlemen (Trio P) yang mempengaruh sendi-sendi ekonomi
rakyat kecil.
Radhar mencapnya sebagai Trio
pemeras (Hal 16). Telah berubah obligasi
dasar pemerintah dan parlemen, dari semula sebagai public servant kini menjadi public
master atau jangan-jangan menjadi public
monster? (hal 17)
Korupsi adalah ancaman bagi
kehidupan bangsa yang berbudaya. Perang melawan korupsi berarti melawan musuh
inernal dalam diri. Korupsi berjalan terus, tak perlu kabinet, presiden,
mahkamah, atau parlemen sebagaimana yang kita maknai selama ini. Ia sudah
menjadi sebuah sistem dengan tradisi,
habit, bahkan rules of the games-nya
sendiri (hal 63).Pemilu menjadi sorotan Radhar
sebagai pesta pemborosan menghabiskan
uang mencapai 254Triliun.
Hitungan angka itu secara nyata
mampu memberi kita modal untuk berbuat banyak mengatasi persoalan-persoalan
kritis negeri ini. Dengan nilai uang sebesar itu, misalnya, kita dimungkinkan untuk membangun 5.675 km rel
kereta api ganda (cukup untuk seluruh Sumatera), atau 3.200 km jalan rol (sama
dengan target 25 tahun kita) atau sebanding dnegan mengratiskan biaya kuliah
seluruh mahasiswa Indoensia selama 32 tahun berdasar hitungan Mendikbud RI.
(Hal 78)
Justru menurut Radhar di kalangan
rakyat kecillah ada ruang kebudayaan yang menjadi ruang merenung mengenai arti
cukup di zaman kapitalisme ini. Hidup yang bernaung pada kerja sama, gotong
royong, teduh membantu, bukan saling menikam dan menjatuhkan seperti kompetisi.
Ekonomi cukup mencoba melawan budaya hidup lebih.
Kita akan merenungi ‘hidup lebih’ yang mendasari kita seolah
wajib untuk bekerja keras, berkompetisi, bahkan jika perlu menggunakan semua
cara, antara lain dengan menyikut atau menghabisi para pesaing (157).
Hidup yang cukup itu didapati
dari pengalaman dan perhatian Radhar dari seorang pedagang nasi uduk bernama
Bang Uki. Bang uki yang telah berdagang nasi uduk di pinggir pasar Kebayoran
Lama, Jakarta selatan selama dua puluh tahun telah mengajarkan akan arti cukup.
Prinsip hidup yang cukup adalah
landasan bagi sebuah “ekonomi cukup“ di mana manusia tidak lagi mengeksploitasi
diri (nafsu)nya sendiri, juga lingkungan hidup sekitarnya (168). Hidup yang
dicukupi adalah hidup yang dipenuhi seluruh kebutuhannya sebatas yang perlu,
tidak dilebihkan tidak dikurangkan (hal 206)
Hidup tradisional masyarakat kita
yang bahari mengajarkan akan bisnis dan ekonomi yang mengajarkan moralitas dan
etika. Disinilah ekonomi cukup yang berada pada adab kultural.
Perilaku bisnis dan ekonomi
tradisional negeri ini mengajarkan satu moralitas: hidup wajib dicukupi, tapi
haram dilebih-lebihkan (hal 166). Ekonomi cukup adalah sebuah sistem ekonomi
yang sungguh berfondasi pada nilai-nilai luhur dan mulia yang dikembangkan,
dipertahankan dan diwariskan oleh sebuah kebudayaan (hal 207)
Dalam nuansa budaya bahari
warisan adab ekonomi cukup dapat kita ambil contoh. Nelayan kita hidup dengan laut yang mengajarkan hidup cukup dengan mensyukuri alam.
Ekonomi cukup yang berbasis pada
adab bahari, persaingan keras-dengan maksud memenangkan atau menaklukan diganti
oleh semangat berbagi dan membagi (rezeki) untuk kemashlatan kolektif.
Persaingan hanya ada dalam hiburan, yang sifatnya sementara tidak terlembagakan
tidak jadi acuan atau simbol status, apalagi sumber dari penghasilan,
sebagaimana adab modern mengajarkan dan mempraktikannnya di semua bangsa ( hal
208)
Resesensi ini masuk di Koran Jakarta edisi 5 November 2015
http://www.koran-jakarta.com/?pg=berita_detail&berita_id=38020&menu_id=41