(Di
bawah jembatan Mirabeau mengalir Sungai Seine)
Sitor
mengawali esainya Paris :Yang Dikenang,
Yang Dilupakan (1999) mengutip sajak
“Le pont
Mirabeu “ oleh G. Apollinaire itu. Sungai yang membelah kota terkadang
menjadi agenda tak pernah selesai sebagai pemantik imaji dalam bersajak. Penyair selalu punya dalih dan mengingat
‘kilas balik’ sebuah kota melalui sajak. Simbol-simbol kota dan jejak
perjalanan pada sajak yang digubah sang penyair menjadi kunci “membaca kota”
sekaligus membaca biografi hidup sang penyair.
Kota-kota
yang bersentuhan dengan penyair memantik ingatan “perjalanan” sang penyair
dalam proses pematangan dalam mencipta sajak. Kita tak bisa pungkiri tubuh sang
penyair yang membaca teduh dan gaduh kota mengingat prosesi itu dengan sajak.
Barangkali kita bisa menikmati kota-kota yang tak pernah tersentuh, yang kadang
nampak imajiner itu melalui puisi, esai, maupun cerita pendek sang sastrawan.
Penyair
selalu ingin bergerak dari kota ke kota. Dari rumah ke rumah yang lain. Dari
kampung halaman ke kampung halaman yang lain. Penyair selalu punya “keinginan”
transit ke sebuah kota dengan mengingat perjalanan ‘kilas balik’ itu melalui
sajak. Kita yang membaca sajak dalam proses kreatif sang penyair menjadi
merindu, kasmaran bahkan menjadi mengingat-ingat akan kota yang digambaran
melalui sajak itu.
Pemantik
awal
Sitor
mengaku saat remaja membaca buku “Melawat
Ke Barat” karya wartawan kondang
Adinegoro. Buku yang berisi
perjalanan-perjalanan yaang ditulis Adinegoro itu menjadi pengingat akan barat
yang menjadi kiblat pengetahuan. Sitor mengingat, “Di masa remaja saya pernah membaca buku karangan Adinegoro, wartawan
pioner yang pernah bersekolah di Nederland
di tahun 1920-an. Ia menulis cerita perjalanannya waktu pertama kali
ke Eropa, yang di masa itu
berarti naik kapal laut menempuh perjalanan selama 6 minggu , lewat
terusan Suez” (Sitor Situmorang Seorang Sastrawan 45, hal 120)
Penyair
menjadi mata membaca kota. Perjalanan-perjalanannya dimungkinkan dengan
lahirnya puisi-puisi dengan kata sebgai simbol penyair yang ingin menggambarkan
apa yang dilihat dan dirasakan. Suasana dan peristiwa, gambaran orang-orang
yang bakal tercermin dalam syairnya justru membuat kita betah membaca biografis
kota dari puisi.
Sitor
yang hidup dengan imaji kampung dan kedekatannya dengan sang ayah sebagai
kepala suku menjadikan sitor ingin hidup mengembara. Sitor ingat betul dengan
filosofi ayahnya yang membuatnya ingin berkelana. Sejak kecil Sitor diajak
ayahnya yang kepala suku itu mengembara dari desa ke desa lain. Menyusuri
kampung ke kampung dan melewati pelbagai bukit. Disanalah Sitor mengerti, tugas
kepala suku adalah pencatat sejarah. Perjalanan seorang ayah yang membawa keyakinan
kepada Sitor telah mencipta imajinasi pengembara sekaligus pencatat sejarah.
Hidup
Sitor ditengah pergulatan primodial kesukuan, kemerdekaan, perang, dan
kota-kota yang merangkak menjadi modern menjadikan Sitor sebagai penyair yang
banyak mempunyai banyak ingatan akan kampung halaman. Ajip Rosidi dalam kata
pengantar buku “Sitor Situmorang Kumpulan
Sajak 1948-1979” (Komunitas Bambu, 2006) menyebut Sitor sebagai penyair
yang mempunyai banyak kampung halaman. Yogyakarta, Jakarta, Bali adalah kota
yang mengembangkan imajinasinya. Di Asia kita akan menemukan kota ynag
disingahinya di China maupun Jepang. Begitupula Eropa dengan Parisnya telah
menghilangkan rasa hausnya akan kesusasteraan barat yang hanya didapatkan lewat
membaca buku maupun berdiskusi.
Mari
kita menikmati beberapa sajak Sitor yang menjadi kata kunci membaca kota. Dalam
Sajak Pasar Senen Sitor kehilangan
akan gadis “Aminah”. Suasana kesepiannya akan Aminah, berdialog dengan
kawan-kawannya macam tukang becak, tukang delman, supir yang menjadi teman
menikmati keindahan senyum Si Kebaya Merah. Terkadang kita masih menikmati di
tempat-tempat pangkalan macam warkop masih berkumpul orang-orang melepas penat
sehabis bekerja dengan menyeruput kopi dan memandang perempuan-perempuan. Di
sanalah hidup apa yang dimaksud dengan gejala migrasi ke kota. A Teeuw
mengatakan setiap penyair tentu sibuk dengan hidup dan pikirannya. Penyair
melalui sajak pun hadir menjadi pemantik ingatan akan perkembangan kota.
Ke mana kawan semua
Supir, tukang delman
Teman berdampingan
Kita semua
bersenda
Menampung senyuman
Si Kebaya Merah
Dari Kepulan asap merekah
Hai Tukang becak
Bilang padaku
Dewiku
Ke mana kau Bawa
(Sajak Pasar Senen)
Paris di Mata
Sitor
Paris sebagai kota kebudayaan selalu
seksi di mata penyair. Wing Kardjo penyair yang membuat disertasi tentang Sitor
Situmorang justru menyebut Paris sebagai kota yang dapat bicara tentang
hidupnya. Wing Kardjo menganggap sajaklah yang dapat berbicara keras tentang
hidup penyair dan jejaknya. Kita pun dapat membaca perjalanan penyair melalui
jejak-jejak sajak itu. Kita simak sajak Sitor,
Inilah Paris, kota penyair
Gua segala yang terusir
Laut lupakan sesah
Dalam dekapan satu wajah
(Paris Janvier,1953)
Paris kota penyair. Kita menyadari
betul konsep Paris yang kita duga adalah kota yang penuh cinta dan romansa. Seorang
penyair macam Wing Kardjo menyindir dengan menyebut Paris sebagai kota yang
dirindukan tetapi un mal aime yakni kota yang mirip dengan cinta yang
jahat. Kita pun memandang kota yang penuh dengan clochard (gelandangan). Kota yang dihuni binatang serakah. Sitor
pun menggambarkannya dengan,
Kelupaan sebuah kota
Di mana duka berwujud manusia
Dan bahagia pada manusia tak punya
(Paris
Janvier,1953)
Kembali dalam esainya, “Paris Yang Dikenang Dan Yang Dilupakan”
Sitor mengungkapkan Paris sebagai kota yang dikunjungi saat ia menjadi
wartawan. Tahun 1952 Sitor berkesempatan menikmati “Pameran abad ke 20”. Sitor
menulis, “Di saat itu saya merasa
seakan-akan semua itu digelarkan demi memenuhi kebutuhan saya pribadi memuaskan
kehausan saya “minum langsung dari sumbernya” (kesenian modern).”. Sitor
pun mengenang Paris pada perjalannya di tahun 1952, 1957, 1964, 1977, 1981,
1986, 1989, dan terakhir 1991.
Penyair berkunjung dan hadir di kota
yang pernah ia singgahi sebagai “kunjungan kilas balik” untuk mengenang tempat,
suasana, maupun peristiwa. Penyair menjadi pencatat sebuah kota. Di perjalanann
Sitor ke Paris tahun 1992 adalah hari istimewa bagi Sitor. Sebuah puisi Apollinaire yang ia kutip, terbayang Sitor akan penyair itu singgah di sebuah
rumah dengan plaque tertulis,
plaque Dans cette maison
vecut et mourant
(janvier 1913-9 novembre 1918)
Le Poete Guillaume Apollinaire
Seorang penyair hadir di kota bukan
menjadi orang asing melainkan menjadi perantau yang mempunyai imaji setiap kota
adalah kampung halamannya. Barangkali itu juga yang diyakini oleh Sitor.
Restauran saat makan malam bersama temannya Francoise dan Jean, Sitor merasa
bukan sebagai orang asing. Kilas balik ingatan saat pertama kali tinggal di
Paris tahun 1952 pun terbayang. Kenangan akan eropa itulah yang dianggap
Subagio Sastrowardoyo menempatkan Si anak hilang itu sebagai sosok yang eropa
mesti ia pun kangen dengan kampung halamannya di Indonesia. “Hanya jasmani anak
itu yang kembali ke tengah keluarga dan desanya, tetapi jiwanya masih tetap
tinggal di eropa,” kata Subagio (Subagio,1980:100).
Di sebuah restaurant, Sitor mungkin
bertemu dengan orang-orang baru, namun yang membuat Sitor kasmaran adalah
mengingat puisi dan penyairnya. Seperti saat Sitor teringat akan Apollanaire
dengan sajaknya hadir bersama di restauran itu. Ingat, penyair akan hadir di
kota dan mengingat perubahan kota melalui imaji “kilas balik” melalui sajak. Barangkali
setiap kota adalah kampung halaman bagi penyair. Sitor pun menulis sajak,
Akankah aku ikut latah?- berkata:
Paris Sudah berubah!
30 tahun kemudian, aku kini
kembali
di peron yang sama, hanya
Kau tak ada.
(Paris 1977 (chanson kecil) )