beberapa koleksi buku di rumah |
Saat ngobrol santai itu, Romo berbicara mengenai
pemaknaan ulang mengenai hari guru. Saya
pun berujar mengenai ingatan guru yang tak lagi berumah buku. Ingatan-ingatan
guru tak berumah buku itu adalah ingatan
generasi kami yakni generasi digital. Dalam ingatan kami mengenai guru adalah
mereka yang bermobil dan bermotor dan bergadget.
Di rumahnya guru yang kita ingat adalah televisi bukan buku-buku. Ingatan itu
berdasarkan obrolan dan diskusi dengan mahasiswa-mahasiswa baru yang tergabung
dalam Lembaga Kajian Mahasiswa UNJ. Saya pun berucap kepada Romo, “Mungkin itu
ingatan kami mengenai guru-guru yang di kota”
Romo Mudji mengajak saya untuk mendiskusikan mengenai
ingatan guru itu di dengan mahasiswa S3 Pasca Sarjana UNJ. Kebetulan Romo memang mengajar filsafat
pendidikan dan kebudayaan di Pasca Sarjana UNJ. Mengapa obrolan ringan mengenai
ingatan guru ini menjadi penting? “Ini terkait dengan proses konsientisasi
(penyadaran) mengenai pendidikan dan kebudayaan,” kata Romo.
Guru pantas diingat dan dikenang. Romo Mudji
berujar mengenai pemaknaan guru bermula dari ingatannya mengenai guru-guru di
masa silam. Kini kita mendapati penghormatan guru melalui sertifikasi yang
klise. Oleh karena itu kita akan mendapati guru profesional dan guru
kebudayaan. Yang pertama adalah guru yang dihasilkan dari proses serangkaian
pengumpulan sertifikat, tes, pengujian, dan penilaian. Yang kedua adalah guru
yang sudi ikhlas mengajar berbagi pengetahuan dengan “membaca” dengan hati melalui
serangkaian peristiwa pemaknaan hidup.
Bagi Romo Mudji ingatan mengenai guru kebudayaan adalah ketika ia mengingat
masa kecilnya naik turun tangga di Borobudur. Di sana ada guru yang sudi
mengingatkan kepadanya mengenai pembacaan makna relief-relief di batu-batu dan
pemaknaan perjalanan Shidarta Gautama. Cerita dan kisah itu dicatat dan
membekas melalui ingatan.
Kini ingatan berbeda tentang guru bagi kami sebagai
generasi digital yang menganggap guru adalah yang mengajak kita untuk membaca
dengan cara merekam dan berfoto melalui serangkaian kegiatan bernama “Study Tour”. Lalu dibekukan lewat Instagram, Facebook dan Twitter.
Kini ingatan guru yang dirasakan Romo Mudji sebagai guru kebudayaan semakin
menghilang.
buku yang diberikan Romo Mudji |
Guru-guru kita akan memadati seminar-seminar
hanya demi selembar sertifikat. Sertifikat yang dibutuhkan demi pemberkasan. Sehingga
guru kita disibukan dengan formulir dan penghambaan terhadap gaji. Dalam
kacamata profesionalitas itu kita mendapati guru yang hebat adalah guru yang
lulus ujian kompetensi atau yang disebut dengan Uji Kompetisi Guru (UKG).
Guru Berbuku
Kisah guru hari ini adalah cerita mengenai guru
honorer yang belum dibayar gajinya. Di koran-koran kita masih mendapati guru-guru
yang berdemo untuk disegerakan menjadi PNS. Miris sekali ada oknum yang menjual
buku-buku yang ada di perpustakaan untuk diloakan, dibuang dan dilebur. Di abad
21 guru hidup di mana buku tak lagi menjadi bacaan mulia. Membeli buku tak pernah
menjadi prioritas dalam hidup ditengah sibuknya berkredit mobil dan motor.
Kita jarang mendapati guru yang berbuku. Membaca
banyak buku dan berkisah kepada murid-muridnya. Mengajak muridnya menyelami
makna hidup dengan kisah-kisah dari buku-buku. Mengajak muridnya ke toko buku.
Memaknai peristiwa membeli buku menjadi penting sebagai pengembangan imajiinasi.
Kita kesulitan berimaji guru yang mau memenuhi rumahnya dengan buku. Kita jarang
mendapati guru mengajak muridnya main ke rumah mengobrolkan buku.
Di koran-koran kita hari ini, ingatan tentang
guru adalah adalah upacara penghormatan guru melalui ‘Simposium Guru’ yang dihadiri oleh Jokowi
dan Anies Baswedan nan megah. Sekaligus penghadiahan guru-guru berprestasi
melalui selembar sertifikat. Semakin bersedih dan pilu jika kita jika
penghormatan hari guru seperti ini.
Di hari guru sekolah-sekolah guru berupacara
memperingati guru. Kita jarang mendapati guru berupacara sunyi dengan buku-buku
di rumahnya. Ketika kita masuk ke rumah guru, kita hanya mengingat televisi,
kulkas, dan kipas angin. Kita merindukan guru yang mengisi rumahnya dengan
buku-buku. Kita rindu bergurau sambil berdiskusi mengenai buku di rumah guru yang
berbuku. Kita jarang diajak bermesraan dengan buku-buku di rumah guru yang
berbuku.
Kita meyakini mentalitas suatu bangsa ada di
tangan guru. Mentalitas yang dibentuk dari imaji buku-buku yang guru baca.
Guru-guru kita jangan sampai terpenjara imajinasinya hanya karena tak berbuku.
Kita mendapati guru yang bergaji tapi enggan membeli buku-buku. Oh guru.....
*Esai ini masuk di koran Radar Bekasi