Pagi tadi aku ingin sekali membaca buku. Aku tertarik dengan buku
bergambar seorang kakek berkopiah itu. Ya, bukan kakek biasa kok! Inilah kisah
E.F.E Douwes Dekker atau yang biasa dipanggil dengan Danoedirdjo Setiabudi di
buku lusuh terbitan Bulan Bintang tahun 1984. Kalau kita nonton film
ekspendables, pahlawan-pahlawan tua kembali bertanding di layar kaca macam si
rambo.
Douwes Dekker mestilah pahlawan kita. Baginya usia bukanlah penghalang
untuk lantang berkobar. Bapak pelatak dasar politik pertama di Hindia Belanda
dengan mencipta perkumpulan “De Indische Partij” ini seorang yang kerasan dalam
perjuangan politik. Salah satu pejuang radikal. Di kepalanya hanya ada satu cita-cita
menuju Indonesia yang merdeka. Seorang yang tak gentar menjunjung tinggi suatu
cita-cita hidup: Kemerdekaan Politik Indonesia.
Setiap langkahnya menitik perjuangaan tak gampang. Masa mudanya
dihabiskan di setiap perjuangan dan peperangan. Saat selesai sekolah di HBS,
Douwes Dekker yang penggemar film macam Robin Hood ini langsung mendaftar di
kompi perjuangan rakyat Afrika. Roem dalam kata pengantar memuji penulis buku
tentang Douwes Dekker ini. Roem menulis,
“Kita akan mengetahui tentang kehidupan seseorang yang cita-cita
hidupnya tidak pernah kunjung padam sampai akhirnya: kemerdekaan Indonesia.
Kita mendapat inspirsi membaca tulisan seorang lanjut usia tappi masih segar
dan mampu membuat tulisan yang mengasyikan, sekalipun bahan-bahannya hanya, catatan-catatan dari kertas yang sudah kumal."
Margono Djojohadikusumo penulis buku ini masih berumur 18 tahun
ketika itu terpukau oleh pidato yang disampaikan Douwes Dekker di Purworejo
tahun 1913. Dengan tenang, sopan dan penuh kepercayaan dan dibumbui dengan
kelakar ia menjelaskan,
“Peraturan Pemerintah Belanda tentang Hindia Belanda adalah
merupakan suatu undang-undang biasa, tetapi merupakan suatu undang-undang dasar
dari negeri ini yang dihasilkan oleh ahli-ahli hukum Belanda yang cendikia.
Menurut undang-undang penduduk Hindia Belanda di bagi dalam dua golongan utama:
orang Eropa dan orang Inlander. Perhatikan “I” dari Inlanders ditulis dengan
huruf besar, itu hendak menyatakan, bahwa seharusnya akan ada benua atau negeri
yang bernama Inland.” (hal 31)
Douwes
Dekker pun menyambung dengan bertanya,
“Dapatkah kalian menunjukan kepada saya negeri itu di peta Dunia?
Mengapa menurut undang-undang itu saya dimasukan ke dalam golongan Eropa, hanya
karena saya bernama Douwes Dekker? Tetapi saya dilahirkan di sini, mendapat sesuap
nasi di sini dan juga tidak ada yang lebih saya senangi selalu dikuburkan di
sini, di bawah pohon palem”. (hal 32)
Tulisan seperti roll film ini akan membawa kita kepada kisah Douwes
Dekker yang menegangkan. Bagiku begitu mengharukan. Persis seperti Tan
Malaka, Douwes Dekker anak bangsa ini rindu akan kampung halaman dan berjuang
bersama kawan-kawan saat di pengasingan. Namun Belanda menghalang-halangi. Sebab pengobar semangat dan inspirasi para pelajar di Stovia ini begitu berbahaya di mata Belanda.
Tiba baginya 6 Desember 1946. Dari Amsterdam bersama Abidin Sudjono,
Douwes Dekker menuju Rotterdam. Taksi melaju cepat. Pemeriksaan baginya begitu
lama. Ia menyamar sebagi Rajiman petani tua berpakaian sederhana dari Klender
(Jatinegara). Ada beberapa keluarga Indo yang curiga dengannya.
Seorang wanita indo tua lantang menyapa, “Douwes Dekker tuan juga turut?” Douwes
Dekker pun membiarkannya dengan kata-kata, “Nyonya bilang apa , saya tidak
mengerti.”(hal 47). ia berpura-pura tidak mengerti bahasa belanda.
Meski ada rundingan agar tidak menyeberangi Republik. Namun Tanjung
Priok sudah di depan mata. Ia pun melompat ke kapal pemuat kecil. Ia menuju
Pasar Senen hendak naik kereta. Hidupnya seperti sandiwara, penuh penyamaran.
Polisi militer siap menghadangnya lagi. Telpon dari Tanjung Priok telah
mengabarkan Rajiman Tua yang seharusnya di tahan lebih lama telah menghilang.
Seorang wanita Indonesia yang cekatan menahan pemimpin Polisi
Militer dengan kata-kata, “Siapa yang tuan cari?Rajiman? Dia masih berada
di kapal. Saya sendiri melihatnya. Dia belum turun.” (48)
Perjalanannya di Kereta penuh pertempuran. Namun baginya bukanlah
ketakutan yang menghampirinya. Tapi serdadu-serdadu Belanda lah yang diserang
ketakutan. Pertempuran di Kranji tidak bisa dihindarkan. Pemuda-pemuda gagah
telah menghantam serdadu-serdadu Belanda.
Kawan-kawan telah menungunya, di beberapa stasiun ia bertemu kawan
lama. Di Cikampek ia bertemu Napitupulu. Di Cirebon bertemu Residen Hamdani.
Dan setibanya di Jogja ia bertemu Soekarno dan ia dirangkulnya dengan
kata-kata, “Selamat datang Nes”.
Sesuai dengan tulisannya baginya ini merupakan “Nong het Laatste Avountuur Niet” (Belumlah Petualangan yang
Terakhir). Di masa pengasingannya tulisan tulisan ilmiahnya dilarang di Hindia
Belanda kala itu. Aku ingin membaca tulisannya berupa buku-buku pelajaran,
mengenai sejarah Indonesia, serta disertasinya. Oh ya, aku juga ingin kisah
tertulis dari Margono Djojohadikusumo ini lekas menjadi Film, seperti yan
diungkapkan penulis,
“Bagi generasi muda sekarang yang telah terbiasa dengan dunia film
dan siaran Tv, kiranya pengalaman Douwes Dekker akan meresap lebih mendalam
kalau itu dapat difilmkan. Adegan-adegan akan mengasyikan hati, menegangkan,
menakutkan, akan tetapi dengan happy end
untuk Douwes Dekker sebagai peran utama.”
Aku menghormatimu bung. Salam.
Aku menghormatimu bung. Salam.
0 komentar:
Posting Komentar