SUDAH HAMPIR 150 TAHUN LALU NUSANTARA kedatangan seorang kakek. Kakek itu
bukanlah orang kaya. Ia lahir pada 1823 di Usk. Monmouthshire, Inggris. Di
usianya yang sudah tak muda ia melakukan perjalanan panjang.
Sembilan tahun ia menghabiskan waktu di Nusantara. Berbekal sederhana,
juga tidak perlu iring-iringan besar saat melakukan perjalanan seperti Raffles.
Kakinya pernah menapak di Borneo. Kala itu, lusinan Mias (orang hutan)
banyak ia buru, begitu pula burung-burung dan tumbuhan banyak dikoleksi.
Tetangganya sering memanggilnya untuk menembak Mias. Mias buruannya itu merusak kebun-kebun. Setelah
mendapatkannya, ia akan mengulitinya. Dan dikirimnya ke Museum Inggris koleksinya
itu.
Ia terkejut saat pemuda Dayak memanjat pohon untuk mengangkat bangkai
mias yang tersangkut di pohon-pohon besar. Mias itu tewas di pelurunya. Saat
tertembak, “Dooorrr!” Mias itu kabur menaiki pohon-pohon besar.
|
kisah yang dirangkum dalam jurnalisme bertutur |
Lekas Kakek itu meminta bantuan.
“Bagaimana mungkin, pemuda itu
mampu memanjat pohon hanya dengan batang-batang bambu, dan seutas tali dari
kulit pohon untuk mengambil bangkai Mias,” kenangnya di salah satu surat
panjangnya.
Kakek itu pun
pernah menapakan kakinya di pulau Jawa, melalui pelabuhan di Soerabaya. Turun
dari kapal, ia tak sabar melanjutkan perjalanannya untuk melintasi kota, desa,
pedalaman, serta hutan-hutan.
Naik kereta dilanjut dengan dokar, ia mengeluh, “perjalanan di Jawa
sangat mahal,” ungkapnya.
Menuju Modjokerto bertemu Mr Ball
sahabatnya. Disana, hari-harinya dihabiskan
melihat pengantin sunat, berjalan-jalan melihat candi, dan berburu burung.
Kakek itu pun menulis tentang keindahan arsitektur sisa-sisa keruntuhan
Majapahit.
Pernah sepulangnya melintas hutan-hutan, saat kembali ke rumah. Baru
turun dari dokarnya, Mr Ball mengabarkan ada anak-laki-laki tewas diterkam
harimau. Kakek itu sangat menyesal saat tak mendapatkan tengkorak harimau yang
mati itu, terkepung, mati di puluhan tombak penduduk. “Tidak utuh lagi, giginya
pun diambil, dipakai untuk jimat,” kembali ia mengenang di surat-suratnya.
Kakek itu adalah Alfred Russel Wallace. Catatan perjalanannya menjadi
kajian penting tentang Nusantara. Perlu tujuh tahun untuk merangkum catatan apik itu. “The Malay Archipilago” (Komunitas Bambu telah
menerjemahkannya) adalah salah satu masterpiecenya. Kakek itu menulis apa saja, menebang
pohon, berburu kupu-kupu, mengobrol mengenai lumut di Bogor dan Gunung Gede
sangat bagus?
Tony Whitten menggambarkan, surat panjangnya itu seperti ditulis untuk
kawan seminat, yang akan tergugah tidak hanya pada hewan dan tumbuhan juga pada
kisah-kisah perjalanan di daratan, sungai, dan laut, seperti percakapan-percakapan
yang terjadi antara Wallace dengan penduduk kampung atau para raja, putra-putri bangsawan, dan
sultan. Obrolan yang terjadi dengan Orang lain itu menambah asyik tulisannya.
Rumusnya memang sangat sederhana, rasa ingin tahu tentang dunia telah
mewabah di Eropa kala itu. Adalah sebuah anugerah bagi pelaut, naturalis,
pejalan kaki, travelers, bagi siapa
saja yang hendak berkontemplasi untuk menemukan
kehidupan lain dan menuliskan kisahnya. Bagaimana mereka-mereka mampu mengurai
rasa tahu itu?
“Kita harus melakukan perjalanan,” tulis
Heredotus jauh sebelum itu. Lebih asiknya kita harus ketempat Orang lain, dan memperlihatkan hasrat untuk bertemu
dengan Orang lain.
Adanya sebuah perjalanan menuntut seorang untuk mencatat, merekam apa
saja. Ini bukanlah sebuah kisah perjalanan biasa, Kapuscinki seorang penulis,
wartawan, menyebutnya seperti perjalanan seorang “wartawan”. Ia menulisnya,
“Ketika kita melakukan perjalanan,
kita bisa merasakan bahwa sesuatu penting tengah terjadi, bahwa kita turut
ambil bagian dalam sesuatu yang penting
terjadi, bahwa kita turut ambil bagian dalam sesuatu sebagai saksi mata
sekaligus pelaku.”
Perjalanan itu ‘Menguji Nurani’, Kapuscinski menyebutnya. Melakukan
perjalanan memungkinkan bertemu dengan Orang Lain, mengobrol, mendengar
ceritanya. Kata hati mereka benar-benar menguji nurani.
|
Restu salah satu penulis buku sedang belajar menganyam |
Sebuah tantangan, melakukan perjalanan-perjalanan di negeri sendiri pun dapat menguji nurani. Itulah yang menjadi
kekuatan mimesis kami untuk melakukan
sebuah perjalanan, mencatat kebudayaan Orang lain. Semangat untuk melakukan perjalanan,
mencatat, dan bertemu Orang lain, berkisah melalui tulisan.
Lalu siapa Orang lain ini? Ya kami merekam kisah-kisah orang biasa,
mencoba menceritakan budayanya,
kehidupannya, merajutnya dalam sebuah tulisan adalah hal yang menantang untuk
kami coba.
Sebisa mungkin kami menulis perjalanan ini dengan sebuah gaya feature, kisah
bertutur. Kerja kami
memang mirip kerja seorang wartawan. Kami saling mengisi dan saling berbagi
pengetahuan, “tidak ada guru disini” berbekal setumpuk tulisan-tulisan
jurnalisme sastrawi yang meski kami baca. Berdiskusi mengenai metode
pengamatan, sampai membut riset-riset kecil-kecilan, membuat kami juga seperti mengkopi kerja ilmuwan
sosial. Membuat kami menyebutnya sebagai wartawan-wartawanan
cum ilmuwan. Pun kami percaya menulis adalah sebuah kerja yang ditunjukan
oleh wartawan maupun ilmuwan.
Oleh karena itu kerja kami, hanya kerja sebagai traveler biasa yang pada dasarnya hanya ingin mengobrol dengan isi nurani yang kami temui dan bermesraan dengan
pengetahuan dan kebudayaannya lalu berbagi cerita dengan menuliskan kisahnya.
Tidak memakai analisis sosial dan metode penelitian yang rumit. Cukup
berbekal mengobrol, mencatat, merekam percakapan berupa kegelisahan,
kegembiraan Orang lain yang kami temui tersebut. Kami hanya berbekal angle tulisan yang dirumuskan saat
diskusi di kampus sebelum pemberangkatan.
Bahkan kami ribut sampai memutar otak, beradu ide saat diskusi membahas angle tulisan menjadi hal yang lucu. Sebab bisa saja angle berbelok, tetapi tidak membuat kami pusing kepalang. Atau pun lontaran ide tulisan
kami yang diyakini saat diskusi kecil-kecilan sebelum melakukan perjalanan,
menjadi hal yang lebih menantang dan menyenangkan saat dijalani.
Kami juga tidak dikejar deadline
yang ketat.
Ini sebuah tantangan saat kegiatan menulis dipandang sebagai saling berbagi
pengalaman. Menulis untuk siap tidak dibayar!
Kami tidak akan menyangka akan berdesak-desakan, di bus Widia jurusan
Cikarang-Majalengka untuk sampai ke sana. Kami tidak akan menyangka kami harus
bangun sebelum ayam, atau kami memang harus tidur ayam untuk dapat melihat
pasar subuh boboko di alun-alaun Trajaya.
Menarik, ada yang menceritakan kisah uniknya dengan terpingkal-pingkal
saat seharian hanya sekedar mengejar angkot, apalagi penumpangnya hanya
tumpukan-tumpukan bambu! Seharian mengobrol bersama ibu-ibu, para pengrajin
boboko dan diajak untuk membuat kerajinan boboko. Itulah sebuah cerita yang
dirasakan penulis sebagai penyambung lidah kisahnya, lalu menulis dialognya di
teks-teks buku ini.
Dialog dengan mereka seperti berkisah pada kehidupan yang sederhana. Mereka yang di desa
selalu menjadi oase, terus merajut kehidupan, menganyam boboko, menali proses
yang panjang, mengingatkan kita tentang kehidupan ini membutuhkan proses untuk
dirajut dan seterusnya memangil-manggil untuk dimaknai.
Melakukan perjalanan ke Desa Trajaya adalah kesempatan langka bagi kami
para mahasiswi-a yang selalu ditumpuki tugas kuliah. Merekam kegiatan anyam-menganyam, berbaur dan berbagi
cerita, segalanya kembali pada kata kehidupan itu sendiri yang mengajak untuk dimaknai.
Kegiatan ini lebih mendebar-debarkan ditengah mengerjakan tumpukan tugas
kuliah.
Kami percaya dengan berbagi tulisan atau foto saja adalah sebuah harapan untuk
berbagi kehidupan, berbagi kehadiran, begitu pula berbagi visual culture yang selalu memangil untuk berdialog. Oleh karena
itu kami tidak hanya menyiapkan tulisan. Ada beberapa foto serta komik
strip yang
menghiasi di teks tulisan, yang dapat dilihat dan dimaknai secara budaya keberadaan
orang-orangnya, pekerjaanya, ataupun hasil kerajinan tangannya. Kami percaya
melalui perjalanan, berkisah tentang Orang lain adalah jalan kebudayaan.
Bukankah kerja kebudayaan ini sebuah usaha berjuang dan membangun tegur-sapa
kebudayaan yang indah.Jika kebudayaan dipandang sebagai buah budi atau ciptaan
manusia, maka akan bersifat luhur dan indah. Itulah buah dari kebudayaan.
“Budi manusia itu aktif, tidak tinggal diam, tiap-tiap buah adalah hasil
usaha atau akibat sesuatu proses,” tulis Ki Hadjar Dewantara memantapkan kredo
kami.
Mungkin disaat itu pulalah keinginan kami melalui catatan dan foto ini
ada yang akan mengingat dan memaknai sesuatu proses kebudayaanya, kampungnya, desanya, orang-orangnya.
Dari situlah kami pun ingin dengan adanya buku ini bisa sejenak dinikmati untuk
merefleksinya dengan perjalanan kalian sendiri.
Cara terbaik membaca sebuah kisah perjalanan adalah seperti Tony Whitten
ungkapan saat membaca perjalanan Wallace, ialah alih-alih ‘memanfaatkan fantasi
bersama Wallace’.
Melalui tulisan-tulisan yang ada di buku ini semoga pembaca menikmati
adegan demi adegan, kata-perkatanya seperti merasakan perjalanan bersama kami
dengan memfantasikan dialognya seperti bersama penulis.
Akhirnya kami percaya, bahwa
berkisah mengenai perjalanan, bertemu dengan orang lain ada celah-celah
kebudayaan yang bisa dimaknai untuk merasakan keindonesiaan. Sebuah usaha untuk
mencatat kebudayaan Indonesia.
Dengan bait lagu Tanah Airku, semoga menambah getar-getar
keindonesiaan bagi siapa saja yang mengingat kehidupannya, prosesnya,
kampungnya, desanya. Memaknai melalui perjalanan kisah kita sendiri.
Menceritakannya, terus mendialogkannya.
“Tanah
Airku tidak kulupakan, kan terkenang selama hidupku, biarpun saya pergi jauh,
tidak kan hilang dari kalbu, tanahku yang ku cintai, engkau ku hargai. Walaupun
banyak negeri kujalani, yang masyhur permai dikata orang, tetapi kampung dan
rumahku, disanalah kumerasa senang, tanahku tak kulupakan, engkau ku banggakan”.
*Tulisan ini ada di buku "Menali Kehidupan Meraut Kesabaran"