I
Kampung mempunyai memori dan
harapan. Ingatan tentang kebun, pohon mangga, dan pelbagai angan-angan akan
kampung merasuk dan mentradisi pikiran orang-orang untuk memaknai kampung sebagai
tempat pulang dan meneduh. Konon kampung menjadi alasan orang-orang mengurus
hidup dan produksi imajinasi akan tempat tinggal yang adem dan tenteram. Alasan
itulah yang terkabung dari kisah beberapa bocah dalam buku “Membuka Daerah baru
karangan Sujono H.R berkisah anak-anak yang pergi meninggalkan kampung
halamannya akibat kebijakan dan bencana alam.
Saat itu pentas wayang menjadi
hiburan warga yang akan berangkat besok menuju tempat kampung halaman baru.
Dengan judul “Malam Terachir” Sujono
menggambarkan haru kisah "bermain" beberapa bocah yang akan meninggalkan kampung halamannya
karena program transmigrasi. Desa mereka yang sering terkena banjir menjadi
alasan kenapa mereka mesti pindah. Aku terasa terharu saat penulis kisah fiksi
ini mulai menulis,
…Tjahya menghela napas, lalu
memandang ke sekelilingnja. Besok ia akan berpisah dengan kebunja, dengan pohon
belimbingnja; pohon nangka, kelapa dan djuga dengan pondoknja jang baru sadja selesai
di bangun dalam beberapa hari jang lalu…
Kampung halaman produksi kenangan
yang merujuk pemaknaan. Bocah-bocah itu menjadi saksi bagaimana program
transmigrasi menjadi kisah yang mereka jalani dengan kanak: gembira. Mengenang
keusilan, kenakalan bocah yang riang merdeka : mentjuri jambu di kebun Mak
Sujem.
Aku jadi ingat apa yang dikatakan dengan
Romo Mangun dalam pengantar buku homoluden
karya Zuiniga. Hem, dalam bermain selalu ada unsur kemerdekaan. Heh, mereka
bermain kejar-kejaran dan juga berlomba tiup balon. Kau tahu permainan itu
mereka lakukan sebagai penutup memori kenangan akan kampung halaman mereka yang
mungkin saja tak mereka temui lagi. Lucu sekali digambarkan mereka
bermain tiup balon.
…Nah, marilah kita mulai dengan permainan ini.
Ambillah masing-masing sebuah balon. Kalian harus meniup sebesar mungkin dan
setjepat mungkin, “ kata Tjahya sambil membagikan balon-balonnja.
Dalam
permainan selalu ada unsur kegembiraan dan hadiah. Mereka pun menjadikan
kerupuk hadiah. Lucunya selalu saja ada bocah nakal yang mengundang tawa. Si bocah bandel menjadi korban kejar-kejaran
dari kawannya. Sebab mengambil hadiah pemenang tiup balon. Dan si bandel pun
terkena getahnya. Saat dikejar,
… si bandel pantang menjerah, belok
ke kiri menjusuri pematang dekat sebuah empang. Malang baginja terpleset dan….. bjuurrr…. Masuk empang.
II
Imajinasi
anak tentang Jakarta begitu menggugahku saat membaca buku ini. Jakarta tetap
menjadi lumbung mimpi. Anak-anak yang mesti transmigrasi ke daerah lampung
mesti transit di Jakarta. Laju kereta
membawa mereka ke Stasiun Senen lalu mereka akan menuju pelabuhan. Jakarta
selalu menarik dengan gedung-gedung gagahya.
“di sepandjang djalan mereka mendjadi
sangat kagum melihat keramaian Ibukota di malam hari. Mereka terpesona melihat
toko-toko dan gedung-gedung mobil sedan, truck, bis, sepeda motor, bemo betjak
dan sepeda, berseliweran tak henti-hentinja."
Aduh, si bocah berimajinasi ingin
kuliah di gedong Universitas Indonesia,
“Gedung jang besar sebelah kiri djalan itu: Universitas
Indonesia,” Paman Kamin mendjelaskan.
“Kelak saja akan meneruskan peladjaran
di situ, “ sahut Janta
Mereka
begitu terpaku dan bergembira ketika plesiran ke Jakarta sebelum bertolak ke
kampung halaman baru di Lampung. Barangkali dari buku ini aku begitu yakin,
konsep tentang migrasi tak hanya berakal dari pengamat televisi saat lebaran seperti ini. Kini kisah migrasi
bukan hanya monopoli diktat-diktat kuliah geografi ataupun demografi. Beuh! Migrasi pun bersastra dan mengundang makna. Buku Sujono “Membuka Daerah Baru” terbitan Pustaka Jaya
(1971) menjadi teks sastra itu.
Aku
ingin berkisah dan bercandra denganmu mengenai kisah ini. Aku yakin ada
keplosan dihatimu yang ingin aku dengar. Mengenalmu lewat sastra dan kisah masa
kecilmu.
Hai pacarkecilku, selamat
tidur sayang….
Bukunya masih ada?? bisa saya beli??
BalasHapusMasih punya buku ini pak? boleh saya copy? atau bisa saya beli??
BalasHapus