Konon
sejarah diungkapkan orang-orang kalah. Sejarah berisi orang-orang kalah.
Kolonialisme menyebabkan orang kalah jarang bisa bersuara. Kartini adalah orang
kalah yang patut dikenang, kata JJ Rizal
dalam diskusi di Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa. Ia mengenang sosok Kartini
sebagai orang kalah yang mewariskan kita tentang ide dan wacana. Tulisan-tulisan Kartini yang
diterbitkan di Belanda adalah bukti: si hitam yang berhati putih.
Belanda
begitu ‘bernafsu’ menyodorkan Kartini sebagai sepetik kisah kolonialisme yang
berujung politik etis membawa berkah. Kartini memang produk kolonialisme. Bagi
JJ Rizal Kartini sosok yang membawa wacana terang dalam pergerakan. Memang Kartini barangkali menjadi
sosok inspirasi yang meninggalkan wacana dalam tulisan-tulisannya bagi generasi
setelahnya.
Pramoedya
Ananta Toer menulis biografinya dengan judul ‘Panggil Aku Kartini Saja”. Bagi
kita, Kartini sosok yang ingin dipanggil orang biasa saja. Nama menjadi
penting. Panggilan membawa jejak kolonial dan makna. Kartini jelas mengerti dirinya
sebagai sosok yang terjajah.
Aku begitu
ingin meyebut Kartini: Memoar kesedihan.
Dua minggu lalu aku baru mempunyai dan baca buku Satu Abad Kartini terbitan
Sinar Harapan. Dalam diri Kartini begitu banyak kata modern menyelimuti
tubuhnya. Barangkali kamar mandinya yang porselen menjadikan sosok Kartini bisa
merasakan mandi bergaya eropa di tengah sosok wanita lainnya di hindia yang tak
pernah punya imajinasi itu. Oh, itu hanya urusan mandi saja!
Sutan
Takdir Alisjahbana dalam esainya bagiku menghentak. Dalam buku Satu Abad Kartini jelas STA menempatkan Kartini sebagai
sosok modern. Dalam diri Kartini berisi kesaksian akan kemajuan kebuadayaan
barat.
“Kartini sebuah mukjijat,” begitu kata STA
Barangkali
STA tak berlebihan. Kartini menjadi saksi akan kemajuan kebudayaan barat. Ditubuhnya
mengalir imajinsi kebudayaan barat terbalut dalam hidupnya. Di tengah masyarakat yang
lain tak berkehidupan, tak berpendidikan macam dirinya. Masih diselimuti
kebudayaan timur yang : kolot , gelap. Kartini memang sekaligus mendapat pendidikan ala Jawa dari
Ayahnya.
Kartini adalah
sosok pluralis. Mirip dengan buku yang dikarangnya tentang kuliner. JJ Rizal
mengerti sosok Kartini sebagai ahli kuliner pada zamannya yang menuliskan
tentang resep-resep makanan eropa, indonesia dan lainnya. Dalam bayangan Kartini, mungkin saja kelak Indonesia seperti meja makan yang berisi bermacam makanan.
Kartini
memang orang kalah. Namun, wacana yang dibawanya menjadi ukuran bahwa Kartini
berhak menjadi suluh yang memberikan jejak kemajuan kebudayaan barat sebagai
simbol yang mesti direngkuh.
Lalu mengapa Kartini?
Konon Kartini
memang sosok yang tak ikut berperang macam Cut Nyak Dien. Terlalu naif
mengecilkan membaca Kartini seperti itu. Tulisan Harsja Bachtiar barangkali
paling menarik bagi kita yang ingin mengetahui posisi Kartini ditengah tokoh
wanita lain macam Sultanah Safituddin
dari Aceh. Tinjauan menarik yang memukul
kita mengapa kita selalau kalah dalam berwacana memilih perlambang mengenai
cermin sosok kita sendiri.
Kartini jelas
diplih belanda. Lalu baru kita tersadar
mau mengembanagkannya lebih lanjut. Penelitian
tentang sosok Kartini di daerah lainnya menjadi macam pendorong bagi kita
menyusun kembali ingatan tentang pejuang wanita lainnya tanpa mengecilkan jasa
Kartini. Aku menunggu kisah itu.
Kapan-kapan aku cerita lagi ke kamu tentang sosok dia di buku ini.
Selamat tidur sayang…
0 komentar:
Posting Komentar