“Satu-satunya yang
bisa bebas adalah fantasiku dan lamunanku,” kata Nashar
Jakarta menjadi
lumbung menabur lamunan dan mimpi. Jakarta selalu menyimpan mimpi berujung airmata. Di mana mata awas di setiap daerah sekitarnya
menghamba Jakarta sebagai kota mimpi. Nashar, pelukis kita yang hampir komplit
menjadi legenda itu menganggap Jakarta sebagai tempat menaruh impiannya sebagai
pelukis besar. Nashar pernah menjadi tukang bangunan. Kuli bangunan yang hanya
dibayar dengan rokok dan satu kali makan. Betapa saat itu dia menganggap hidup ‘
mesti tidak berdiri diatas telapak kaki
orang lain’. Nashar, kamu begitu
birahi dengan Jakarta!
Kisah tentang
pelukis Nashar yang ditulis oleh Nashar sendiri ini termuat dalam buku nashar oleh nashar (2002) terbitan
Bentang. Kamu tahu, aku begitu obsesi mengetahui kisah-kisah pelukis Indonesia.
Ah, aku tak pandai melukis. Aku ingin melukis kamu melalui kata.
Yogyakarta
pada saat itu dilanda perang akibat agresi militer tahun 1946. Nashar muda
masih belum mengerti akan perjuangan melalui kuas. Waktu itu umurnya masih 17 tahun. Soedjojono dan Affandi merupakan pelukis yang
berjuang melalui kuas. Nashar muda masih belum mengerti dengan maksud kedua
pelukis senior itu yang mengatakan
berjuang melalui kuas.
“Aku harus
jadi pelukis, aku harus jadi pelukis,” begitu kata Nashar muda.
“Kalau
takut kena penyakit TBC jangan jadi pelukis”, terngiang Nashar dengan kata Sudjojno,
begitu pula Affandi berucap, “Habiskanlah seluruh waktu hidupmu untuk melukis. Kalau
cari uang , carilah sekedarnya saja selebihnya serahkan hidupmu untuk seni
lukis. Jalan seni ini dipakai Nashar dalam memilih hidupnya kelak.
Kereta
melaju ke kota Madiun.
Kota kebebasan seni
Nashar. Barangkali kita mesti mengerti jalan seni lukis yang diambil Nashar
telah menyebbkan Ayahnya marah besar. Anggapan Ayahnya menjadi insyinsurlah
hidup akan lebih baik. Namun Nashar memilih menjadi pelukis. Keliling beberapa
kota menjalani hidup menjadi pelukis. Jakarta, menjadi tujuan Nashar.
Kamu mesti
anggap Nashar menggila dalam jalan seninya. Barangkali Nashar belum mengerti
akan perjuangan kuas. Ke Jakarta tak punya uang. Nashar naik truk-truk yang
membawa senjata oleh para tentara. Teman-teman Nashar sudah menunggu di
Tasikmalaya. Di kota Cirebonlah Nashar
mengerti akan perjuangan melalui kuas. Kota Cirebon siap menjadi kota yang
terbakar perang. Nashar berkata,
“ tiba-tiba
komandan kami memanggil Wakidjan dan aku. Kamu berdua diberi tugas, yaitu
kami berdua harus segera berangakat masuk Kota Cirebon . Di sana kami
menghubungi kawan-kawan dari
gerakan bawah tanah untuk bekerja sama membuat poster-poster dan memasangnya di
seluruh kota. Poster-poster yang berisi mengacaukan Belanda itu harus telah
terpasang di seluruh kota menjelang Tahun Baru” (hal-52)
Nashar
begitu bergembira bisa mengangkat senjata dan kuas! Dalam perang, Nashar tetap memegang kata
Affandi, “Melukislah sebanyak mungkin”. Dengan begitu Nashar menganggap, “aku
lebihh bisa merasakan cat dan kuas sebagai senjata untuk berjuang.”
Nashar
menjalani hidupnya dengan urakan. Nashar biasa menghadapi lapar dan kemiskinan
dalam melukis. Baginya mungkin kita bisa melihat lebih jauh, melukis tidak ada hubungan dengan harapan
menjadi kaya. Melukis ya melukis! Melukis sebanyak mungkin. aku begitu terharu
dengan kisahnya mejalani hidup melukis ke daerah-daerah macam Bali, Yogyakarta,
ataupun Jakarta. Di akhir buku aku begitu bergidik membaca surat-surat itu.
Surat yang Nashar tujukan kepada kawan
yang tak dikenalnya.
Adakah kamu juga melalui waktu dengan melukis
hidupmu itu yang indah? Kamu tahu aku merindumu disetiap aku membaca buku
seperti ini. Merindu hidup mesti meletup-letup dengan obsesi yang tak mungkin
menunggu lalu waktu habis begitu saja bergerak dipandang sebagai yang
ekonomikus. Aku membaca, kamu mendengarkan kata dan makna. Bukankah itu namanya
ibadah sayang?
Selamat malam.
0 komentar:
Posting Komentar