Masih segar dalam ingatan sejarah kita bahwa Indonesia pernah mengalami
pengalaman pahit yakni krisis utang luar negeri. Dari zaman Gus Dur
sampai Megawati, pemerintah harus membayar bunga dan cicilan yang
nilainya triliunan rupiah.
Sekarang lain. Untuk bermaksud unjuk gigi atau bukan, ternyata pemerintah mampu menyumbang dana untuk IMF. Indonesia dinilai memberikan sinyal positif dengan pembelian surat utang berharga milik IMF. Padahal, dana itu berasal dari cadangan devisa negara. Secara objektif dengan adanya dana bantuan tersebut, negara bisa saja dong memikirkan faktor subjektif lain yaitu membiayai pendidikan. Permasalahannya, apakah pemerintah emoh membiayai pendidikan anak bangsanya sendiri? Betul, dalam konstitusi telah disebutkan: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.” Bukan sebatas anggaran, seharusnya pemerintah belajar dari kasus BHP/BHMN. Seperti apa yang dikatakan Darmanigtyas bahwa dengan kebijakan BHP/BHMN akan memunculkan semangat privatisasi.Akibatnya,PTN akan menggali dana sendiri dan mengembangkan usaha komersial yang menjadi sumber dana operasial PTN. Kita juga harus ingat dan segar pikiran, kisruhnya RUU Pendidikan Tinggi yang sudah disahkan DPR pun masih mengundang kebijakan kontroversial. Semangat otonomisasi dan internasionalisasi dinilai masih kuat melekat digerakkan oleh pemerintah. Banyak kalangan yang mengkritisi bahwa peluang pemerintah akan lempar tanggung jawab masih sangatlah besar. Masalahnya masih berkubang dalam pendanaan. Jika masalah utamanya dana, mengapa pemerintah mampu membantu IMF? Lalu, mengapa dalam pembiayaan pendidikan pemerintah tidak mampu? Jawabannya ada pada hati nurani pemerintah. Praksisnya, keberpihakan pemerintah dalam setiap kebijakan,seperti bantuan terhadap IMF ini,telah memunculkan kecemburuan mengenai keberpihakan pemerintah terhadap pembiayaan pendidikan. Pun patut dicermati pula adalah Bank Dunia. Saudara dekat dari IMF ini kabar-kabarnya siap membantu Indonesia jika membutuhkan dana siaga dalam pembangunan infrastruktur. Sri Mulyani pun bangga dengan Indonesia yang bukan lagi bangsa peminjam.
Tulisan ini masuk di rubrik Gagasan Mahasiswa, Seputar Indonesia Selasa 24 Juli 2012
|
Rabu, 20 Februari 2013
Categories: ESAI
Posted on Rabu, Februari 20, 2013 by Rianto
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
About Me
- Rianto
- Ingin menjadi penulis, jurnalis, dosen. Begitu terobsesi dengan sejarah, sastra, budaya. Emailku riantoanarkhy@gmail.com
Popular Posts
-
"Dewek teh urang Bandung, tas ngumbara ti Nagri Walanda, ayeuna rek balik ka Jawa" , itulah alasan Syafe'i Soemardja ketika di...
-
Kakekku tidak bisa membaca. Eh, nenek juga deh. Katanya mereka lebih memilih bekerja dibanding sekolah. Makanya mereka tidak bisa mem...
-
"Menghadapi kekejian yang tidak manusiawi, manusia harus melakukan penentangan. Manusia tidak boleh diam. Dia yang diam dan ...
-
Sebelum aku mendongeng untukmu. Aku ingin menonton Ada Apa dengan Cinta bersamamu. Sayang, malam ini aku lelah. Tapi, saat aku...
-
Hembusan angin yang sayup-sayup telah menyapu debu-debu, membawa terbang seonggok kertas-kertas serta plastik yang dibiarkan teronggok ...
-
Tiga granat meledak di panggung. Rendra mengecek mikropon. “Saya tidak akan mundur,” begitu kata Edi meniru Rendra Kejadian i...
-
Tiga lelaki tua itu sedang berdiskusi mengenai keindahan lukisan Raden Saleh. Perdebatannya mengenai pencahayaan yang digunakan Rade...
-
Indonesia begitu seksi untuk dicatat dan diterjemahkan kebudayaanya. Kolonialisme menghasilkan Snouck Hurgronje yang rajin mencatat dan m...
-
Buku ini kalau kamu ingin tahu, sering aku temui di toko buku macam blok m ataupun pasar senen. Aku belum bisa menyentuh, ataupun memb...
-
Tadi siang saat loper koran datang, ia membawa majalah tempo. Langsung saja aku buka lembar demi lembar mengamini do’a menjadi manusia...
Categories
Blog Archive
-
▼
2013
(39)
-
▼
Februari
(10)
- Waiting For Superman
- Membaca Paulo Freire dalam Kebudayaaan Sehari-hari
- Cara Berfikir Entrepreneur
- Makna Bertemu dengan Orang Lain
- Berpihak pada IMF, Tidak pada Pendidikan
- Dari Desa, Belajar Proses Belajar Menjadi Kepompong
- Dengan Hati, Aku Membuat Roti Itu
- HUGO : Matinya Imaji Seniman Kota
- Sahabat Lama datang Menemuiku
- Rumah: Genitnya Ruang-ruang Dialog
-
▼
Februari
(10)
0 komentar:
Posting Komentar