Sebuah negara maju memerlukan entrepreneur atau wiraswastawan yang
berjumlah setidaknya dua persen dari total penduduknya. Pada saat ini, Indonesia
baru memiliki 0,8 persen. Menurut Ciputra, Indonesia mesti tancap gas untuk mengejar
ketertinggalan ini dalam 20 tahun ke depan. Bagaimana mendidik entrepreneur?
Untuk itu, Tilaar menjawab dalam
bukunya Pengembangan
Kreativitas dan Entrepreneurship Dalam Pendidikan Nasional. Apa yang menarik dari para entreprenur? Tilaar tertarik dengan cara
berfikir para entrepreneur ini. Pun
ia menyatakan bahwa entrepreneur
adalah pribadi-pribadi yang menginginkan perubahan. Mereka adalah orang-orang
kreatif.
Penelitian-penelitian mengenai
sosok manusia kreatif banyak dihubungkan dengan bagaimana mereka berfikir. Di
halaman 66 Tilaar menulis, pada penelitian Sternberg dan Lubart menekankan
kepada kebutuhan untuk mengambil resiko. Blumberg menekankan kepada keinginan
memperoleh keahlian dalam suatu tugas atau sebagai kebutuhan untuk menjadi yang
lain (the need to be different).
Memang sulit menunjukan secara
jelas sosok yang sesungguhnya mengenai manusia manusia kreatif. Penelitian yang
dilakukan oleh Weinberg mungkin bisa dijadikan titik tolak dalam proses belajar
peserta-didik. Dimana peserta didik dapat kreatif kalau ia dihadapkan kepada
situsi-situasi yang problematik.
Situasi-situasi problematik mampu
membuat seseorang mampu menangkap apa yang disebut sebagai berfikir inovasi.
Contohnya penemuan mie instan oleh Momofuku Ando, dikarenakan oleh adanya
perang dunia yang mengakibatkan kelaparan.
Ketika mereka menghasilkan
ide-ide, inovasi-inovasi, dari sinilah perubahan pada masyarakat dimulai.
Mereka telah mempengaruhi serta mengubah cara berfikir dan bertindak kebanyakan
orang.
Inilah manusia-manusia entrepreneur yang memiliki sikap entrepreneurship yaitu sikap berani
mengambil keputusan sehingga perbuatannya melahirkan berbagai jenis kemungkinan
(opprtunity) yang apabila
dilaksanakan akan menghasilkan suatu
perubahan (halaman76).
Oleh karena itu, jika ditinjau
lebih dalam akar dari entrepreneurship
adalah berfikir kreatif dan kritis. Dari berfikir kreatif dan kritis inilah
akan bermunculan para entrepreneur
yang mampu berinovasi dan melakukan perubahan. Namun, kondisi kekinian
pendidikan Indonesia dipandang tak mampu menciptakan para entrepreneur.
Justru sistem pendidikan nasional
yang melulu jiplak dan condong pada negara-negara maju, permasalahan UN, telah
mematikan kreativitas peserta didik. Fenomena berfikir instan masih merajalela.
Seperti jual-beli gelar, pembelajaran yang serba cepat dan instan telah
mematikan proses. Seolah-olah pendidikan seperti peternakan akademik. Jika pendidikan itu sendiri anti kreativitas,
maka pendidikan itu anti berfikir
kreatif pula. Artinya anti entrepreneur juga.
Mestinya lembaga pendidikan
dewasa ini harus mampu menciptakan manusia-manusia entrepreneur. Entah bakat atau bukan, pendidikan mesti
memberikan kesempatan semua anak Indonesia
dalam pengembangan entrepreneurship. Tilaar mengingatkan, entrepreneurship dalam pendidikan sejatinya mampu menciptakan pribadi-pribadi
yang berfikir kritis, kreatif, yang merasang ide-ide yang inovatif. Bahkan
mampu membawa perubahan bagi dirinya serta masyarakat.
Program pendidikan yang
menekankan pada problem solving, proses
pembelajaran berdasarkan pengalaman mesti dikedepankan. Sebab dari sanalah mereka dididik untuk
berfikir kreatif dan kritis. Begitu pula mereka diasah kemampuanya untuk
berinovasi. Perlu dingat semua itu
tercipta dari suasana budaya kreatif.
Menurut Tilaar, manusia
kreatif-inovatif ternyata tidak dilahirkan dalam masyarakat tanpa budaya
kreatif. Di dalam masyarakat dengan budaya kreatif berarti para anggotanya
mempunyai kesempatan untuk berfikir kreatif yang ingin berfikir “out of the box”.
0 komentar:
Posting Komentar