Selalu ada jawaban pesimis, meski Paulo Freire sudah lama masuk alam
pikiran Indonesia. Ya, tidak ada perubahan yang jelas di pendidikan
kita. Fenomena ini merupakan tantangan bagi pendidikan kita. Pak Win
menggambarkannya sebagai “Tantangan zaman yang hari kehari serba krisis
untuk masa depan,” tulisnya di salah satu esainya. Pendidikan sebagai studi kultural menjadi wacana yang menarik untuk dibicarakan di pendidikan kita.
Romo Mudji adalah salah satu alam pikiran Indonesia yang memaknai
praksis pendidikan Freire dalam sudut pandang kebudayaan. Ini menarik,
karena Romo Mudji coba memeras pemikiran Paulo Freire dalam kebudayaan
sehari-hari. Pengalamannya dua kali mengunjungi sekolahnya di Brasil
telah menguatkan kredonya. Saya sempat mengobrol dengan Romo Mudji
mengenai studi kultural di Kanisius Jakarta, Januari lalu.
“Buku ini memberikan inspirasi awal. Dari pengalaman di Brasil
tersebut menjadi pijakan dalam membahas studi kultural,” pungkasnya.
Menurut Romo Mudji, pendidikan merupakan pemekaran potensi manusia
yang memerdekakan. Mengapa pendidikan adalah proses pemerdekaan?
Penyebab utamanya karena adanya alienasi yang mengekang manusia.
Alienasi disini, digambarkan seperti para pekerja yang dikondisikan
pikiran dan kesadarannya dirampas dalam hal banting tulang menyelesaikan
pekerjaannya dengan upah seadanya. Persisnya, mereka tidak bisa
menikmati hasil keringatnya sendiri.
Ekspresi keterasingan ini, menurut Romo Mudji memberikan makna celah
yang bisa diisi. Justru di celah alienasi harus ditumbuh-mekarkan
pola-pola cendikiawan maupun celah-celah kreatif dari sang seniman,
guru, penulis, ataupun para cerdik-pandai lainnya. Dalam bahasa
kultural, ada yang menggambarkan ragam bahasa perlawanan alienasi dengan
bahasa puisi, mungkin seperti Chairil Anwar, bahasa tulis seperti Tan
Malaka, ataupun bahasa lukis Affandi. Serta bahasa lainnya yang saling
“mengingatkan” tantangan melawan Alienasi.
……ketika menyadari bahwa ‘webs of significance’ (jaringan arti
dan jagat makna) ternyata diatur, diseragamkan atas nama stabilitas atau
logika keterasingan maka disana kita tergugat untuk menanggapinya
secara efektif, secara budaya…..
Alienasi yang pokok yang harus dihancurleburkan adalah alienasi budaya dan alienasi politis. Pertama,
alienasi ini bisa dikatakan sebagai dasar dari keseharian hidup
masyarakat. Dimana, pola-pola kehidupan keseharian ini menjadi pijakan
dalam hal gambaran masyarakat. Disini pulalah persis apa yang dikatakan
Raymond Williams (salah satu pioneer kajian kultural dari kalangan
Marxis) mengajak menyelami kembali kehidupan sehari-hari sebagai budaya
yang harus diselami kembali maknanya.
Kedua, adalah Alienasi Politis. Alienasi ini berkaitan
dengan budaya sehari-hari dalam masyarakat itu sendiri. Ketika budaya
sehari-hari ini terkontaminasi dari praktik-praktik politis, maka
hasilnya bisa ditebak adanya kerancuan dalam kehidupan bermasyarakat.
Nyata riilnya adalah persinggungan antara apa yang diinginkan dengan
kenyataan sehari-hari. Korupsi, kemiskinan, dalam bundelan kata
‘ketidakadilan’ adalah juru kunci ‘baca’ budaya sehari-hari itu.
Konsientasi Ala Freire
Freire mendobrak budaya lama sekolah yang digambarkannya dalam model
gaya “Bank”. Sekolah masih saja menerapkan pendidikan sebagai hal yang
mekanis tersebut. Seharusnya adalah dengan mengandalkan guru sebagai
fasilitator, Freire coba mendialektikakan “membaca kata membaca dunia”. Dalam buku pendidikan pemerdekaaan ini pun, Romo Mudji merujuk pada proses kodifikasi dalam membaca kata membaca dunia. Ini adalah sebuah:
…langkah proses pendidikan Freire yang meneliti dan
mengumpulkan tema-tema atau kata-kata kunci yang menjadi ungkapan
“situasi batas”, masyarakat yang bersangkutan. Bila kata kunci atau tema
sudah dikodifikasi: (dipilih dan divisualisasikan entah dengan gambar,
mimik drama, atau komik tulisan atau gerak) lalu tema-tema itu siap
untuk ditampilkan pada masyarakat yang bersangkutan. Jadi kodifikasi
adalah proses yang dilakukan bersama-sama antara pendidik dan terdidik….
Pengalaman Romo Mudji ketika mengunjungi langsung Brasil merasa
“membaca” gambaran sehari-hari masyarakat Brasil dalam proses
alfabetisasi.
….yang mengesankan justru pengaruhnya pada kebiasaan membaca pada
sebagian besar masyarakat Brasil yang secara ekonomis masih berjuang
antara yang kaya dengan fasilitas industri global dan mereka-mereka yang
masih merangkak dalam kemiskinan, kekurangan….
Untuk melangkah kesana, diperlukan suatu proses pendidikan
alfabetisasi. Caranya, anak-anak mencari kliping koran mulai dari abjad A
dan seterusnya yang memuat kata-kata sehari-hari. Artinya dari
alfabet/abjad anak-anak diajak mencari kata dan memaknai realitas yang
dekat dengan anak-anak. Penting sekali menghubungkan kata dengan
realitas yang ada dalam proses alfabetisasi tersebut.
Proses alfabetisasi ini pun dapat digunakan pada saat menggambar.
Sehingga terasa nuansa pendidikan dan seni yang membentuk kesadaran.
Lalu bagaiman dengan pendidikan kita?
Ketika proses alfabetisasi/pengaksaraan ala Freire bergerak masif,
justru pendidikan di Indonesia bertolak belakang. Proses ini dilukai
dengan pendidikan yang melulu pada penghapalan. Padahal penekanan proses
alfabetisasi kebudayaan sehari-hari itulah yang dijadikan modal dalam
hal menamai realitas menumbuhkan penghayatan, internalisasi.
Hubungan “manusia” dan “dunia” yang digambarkan Freire memberikan
alternatif pemikiran pendidikan yang kritis, melawan, sebuah pandangan
behavioristik. Mengkritik obyektivisme mekanis yang ditandakan pada
kesadaran hanya sebagai foto copy realitas. Mengkritik
idealisme yang memandang dunia semata sebagai hasil kesadaran manusia.
Seluk beluk manusia dan dunia, hubungan manusia dengan manusia lainnya
menjadi sorotan Freire. Menurutnya, manusia adalah makhluk yang
mengadakan sejarah.
Sejatinya, proses konsientasi Freire sebenarnya sudah lama dibawa
para pembesar bangsa Indonesia. Setidaknya dengan mempelajarai sejarah,
akan didapat alur yang jelas mengenai proses konsientasi. Menurut romo,
penghayatan sejarah diperlukan, dimana alur lurus bangsa ini
diperjuangkan, dicontohkan. Para pembesar kita seperti Soekarno, Hatta,
Tan Malaka adalah mereka-mereka yang “mengadakan sejarah”.
Dengan jalan kebudayaan pulalah proses humanisasi dapat dinamai
sebagai jalan menuju peradaban.
Dari pendekatan sejarah, mentalitas ini
membentuk peradaban bangsa untuk menamai dunianya. Sehingga penyadaran merupakan usaha terus-menerus, harus mengeras,
pada proses bangkitnya pencerahan. Penghayatan sejarah yang pernah
menerbitkan peradaban bangsa yang berdasarkan kolektivitas. Sekali lagi,
kebudayaan sehari-hari menjadi titik tolak dalam kajian kultural dalam
pola yang jelas mengenai konsientasi pendidikan yang mengindonesiakan.
Terima Kasih kepada Romo Mudji yang telah memberikan bukunya saat berdiskusi di Kanisius Jakarta 2012 |
Tulisan saya ini pernah dipublikasikan oleh Dian Jiwa. Bisa ditemui di http://www.sekolahtanpabatas.or.id/membaca-paulo-freire-dalam-kebudayaaan-sehari-hari/ dapatkan tulisan-tulisan menarik lainnya terutama mengeni pedagogi dan literasi kritis. Salam.
0 komentar:
Posting Komentar