Potret-potret Kampung
Cikopak kembali bermakna dalam diri. Ketika tak sengaja jari-jari mencari file cerpen yang baru setengah jadi di
laptop. Mata bertemu dengan file baksos dan bersua kembali potret sekolah serta
anak-anak disana. Sejarah memang. Keceriaan raut-muka mereka, sekedar aspirin kehidupan untuk dimaknai dengan
senyuman kembali. Dari situ kita belajar. Terkadang manusia lupa kapan harus sedih,
kapan harus gembira, kapan pula harus berdiam diri, berkontemplasi dengan mind and body.
Satu hal yang
akan dibahas di kata-kata ini tidak jauh mengenai “rumah”. Rumah mempunyai
makna yang sangat dalam mengenai hidup manusia itu sendiri. Rumah menjadi saksi
peradaban manusia. Rumah menjadi imajinasi tersendiri, ruangan tanpa batas,
bergumul dengan manusia-manusia lain. Rumah terdiri dari ruang-ruang.
Rumah itu simbol
manusia. “rumah” lebih saya terjemahkan pada “ruangan” yang dibatasi oleh
garis-garis non imajiner, khususnya batas-batas indrawi seperti mata terutama.
Kita mengetahui ‘boleh’ atau tidaknya masuk ruangan karena mata mempunyai makna
simbolisasi mengenai jarak. Dimanapun kita akan mengetahui rumah itu, yaitu
ruang non imajiner seperti ruang pribadi, kamar tidur, ataupun kamar mandi.
Ternyata
ruang-ruang itu akan mempunyai makna ketika kita merasa nyaman dan kebahagiaan.
Itulah rumah. Rumah bukan berarti harus “gedung”. Makna ini saya ambil ketika
melihat semut-semut merah cantik berjalan-jalan beriringan menuju sebuah
lubang-lubang yang berdiameter kurang
dari setengah dari setengah centimeter.
Mereka bergerak masuk-keluar membawa makanan ataupun tidak, selalu memunculkan
sketsa kenyamanan hidup. Lubang-lubang itulah rumah mereka, ruang hidup.
Kesadaran ruang, terkadang mati, terkadang hidup
selamanya
Dalam konteks geographies, ruang ini terkait dengan
tubuh. Gill Valentine memberikan gambaran bahwa
tubuh adalah ranah yang sangat terdekat dengan ruang. Ruang memberikan
pengaruh terhadap pikiran untuk melakukan ini itu. Lama-kelamaan tubuh yang
melakukan ini itu mempengaruhi tubuh untuk mempengaruhi ruang sekedar
membersihkan, membereskan ataupun berkarya dalam “ruang’ itu. Maka, bisa
dikatakan bermaknalah ruang itu. Dalam konteks Madilog Tan Malaka disinilah
berlaku perlantunan.
Saya pun
teringat dengan novel “Seribu Sujud Seribu Masjid” mengenai perdebatan Kasdi
dengan pak RT mengenai Surau dan Pos Siskamling. Perdebatan mengenai makna
kenapa harus ada Siskamling. Ruang itu mengapa harus ada, karena untuk menjaga
keamanan warga Sekober. Penjaganya pun harus dibayar. Namun celetukan Kasdi
mengenai Surau membuatnya tidak cerdas. Bahwa untuk menjadi aman, iman pun
harus di jaga, surau lah ruang itu.
Memang Kasdi
diperolok, karena makna berbeda mengenai Surau dan Pos Siskamling. Mengapa
Kasdi sampai celetuk seperti itu. Karena, Surau Peninggalan kakeknya yang
komunis itu tak pernah dikunjungi lagi orang kampung Sekober. Surau itu menjadi
“Ruang” kesadaran Kasdi sendiri. Sebab, di ruang itu ia hanya sendiri. Adzan
sendiri, iqomat sendiri, sampai shalat sendiri, sehingga ia namakan ibadah
“mandiri”. Inilah kesadaran ruang kearah kecerdasan spritualitas. Kasdilah yang
merasakan kebahagian di dalam “ruang” itu.
Terkadang
kebahagian dalam ruang itulah yang ingin diberikan kepada orang-orang lain
untuk bersama memaknai “ruang” sebagai wadah mengasah kecerdasan. Dalam ruang 305 pun selayaknya seperti itu.
Para-para SPM ruang 305 terdahulu selalu
memaknai ruang 305 sebagai ruang dimana ditumbuhkembangkannya hasrat baca,
menulis, serta retorika. Terkadang di budaya malam itu yang lebih dimaknai
sebagai “ruang” menggelontorkan ide-ide segar bagi kelangsungan hidup
manusia-manusia didalamnya.
Walaupun
terkadang kesadaran ruang itu tak bermakna, tak bunyi bagi orang lain. itulah
mengapa Ruang itu terkadang mati, terkadang hidup selamanya. Inilah Kuntowijoyo
pernah menjelaskan dalam salah satu cerpennya Aku Mengira telah membuat sebuah rumah yang tenang, kiranya
sekarang sudah menjadi penjara bagi diriku sendiri ( Kuntowijoyo: Dilarang Mencintai
Bunga-Bunga)
Idaman Ruang, Idaman Hidup Bahagia
Tubuh-tubuh ini
sudah banyak memasuki ruang-ruang. Entah gedung, rumah, kost-kostan, ruang
kelas ataupun ruang-ruang imajiner seperti; idaman rumah untuk masa depan.
Ruang-ruang imajiner itu berbentuk keinginan mempunyai rumah sederhana dari tembok semi
permanen dengan kebun-kebun apel, anggur, ketika ranum, wanginya masuk kedalam
bilik-bilik rumah, menyegarkan pikiran.
Ruang-ruang
idaman walaupun imajiner itu, tak mempunyai makna kalau hanya dirasakan hanya
sendiri saja. Dialog-dialog penuh pengetahuan dan keindahan menjadi jalan
spritualitas, serta intelegensia manusia. Mungkin, itulah kredo saya mengenai
makna ruang dengan dialog. Idaman ruang seperti 305, Gedung G, BEM, akan
nyaman, bahagia, kalau ruang itu memberikan makna dialog-dialog pengetahuan dan
keindahan.
Bukankah
terkadang kesadaran ruang yang membawa idaman ruang mempengaruhi kita untuk
menjalani hidup bahagia. Ruang-ruang dialog dimana kita mendialogkan peradaban
manusia kelak di masa sekarang serta masa depan. Maka, saya pun merasa cemburu
ketika ruang-ruang idaman yang membawa hidup bahagia itu selalu di maknai
berbeda oleh orang lain. Seperti 305 selalu sepi, malas untuk mengunjunginya,
ataupun takut masuk keruang itu. Terlebih tak mau merasakan proses budaya malam
di ruang itu. Mungkin inilah sebagai manusia saya memaknai Kasdi normal, ketika
celetuk seperti tadi yang sudah saya tuliskan sebelumnya. Sungguh saya cemburu
serta ingin celetuk kepada mereka yang tak mau merasakan budaya malam itu.
Sehingga garis meander telah saya luruskan bahwa tubuh
ini, otak ini telah menerjemahkan makna keras bahwa ruang-ruang itu selalu
membawa kebahagiaan walau hanya dirasakan sendiri, orang-orang tak peduli,
abai. Kesadaran ruang membawa sebuah
rumah, rumah dimana telah menyediakan ruang-ruang dialog yang sangat
genit dan penuh dengan ilmu pengetahuan. Maknailah semua ruang dan semoga rasa
memiliki ruang itu akan muncul. Inilah interpretasi keindahan kita sebagai homo significansi dalam space, manusia sah
pemberi makna ruang !!
0 komentar:
Posting Komentar