“Aku berfikir maka aku ada,” Descartes sangat fenomenal dengan filosofinya itu. Namun,
Kapuscinski lain. Menurutnya, “Aku ada karena aku bertemu
dengan Orang lain.” Dalam bukunya ini, Orang lain/ The Other adalah ibarat cermin yang padanya kita melihat,
kita ada.
Sebagai orang Polandia, Kapuscinski
adalah ‘orang lain’. Ketika
ia tinggal di Meksiko, T-tetangganya selalu memanggilnya dengan ‘El Polaco’. Pun ketika
akan menaiki pesawat, pramugari di Yakutsk memanggilnya dengan ‘Polsha’!
Mengapa demikian? Perbedaan
mencolok mengenai warna kulit, ras, dan agama adalah penyebabnya.
Kapuscinski banyak membahas relasi orang Eropa dengan Orang
lain. Menurutnya, pertemuan dengan Orang lain merupakan permasalahan bagi
kebudayaan Eropa. Adari sejarahnya, dimulai dari perjalanan
para utusan Raja sampai para pelayar
yang menemukan benua-benua. Era ini disebut sebagai era penguasa, pembantaian, era
penaklukan dan pertukaran. Masa suram bagi hubungan orang Eropa dengan Orang
lain. Hingga abad pencerahan menemukan titik balik pengetahuan kunci untuk
memperbaiki hubungan dengan Orang lain tersebut.
Patut dicermati adalah pemaknaan
Orang lain dari para antropolog dan pemikiran Levinas. Pertama, antropologi merupakan ilmu yang mendalami mengenai
suku-suku di belahan dunia. Informasi yang didapatkan oleh para antropolog telah
menerjemahkan dan memudahkan kita untuk mengenal lebih dalam suku-suku, Orang
lain tersebut.
Kedua, Filsafat Levinas mengenai ‘Orang lain’ disebut-sebut
sebagai filsafat diantara yang lain,
sebuah reaksi atas pengalaman manusia pada
paruh pertama abad XX. Ditandai dengan
krisis peradaban barat, terutama sekali mengenai krisis hubungan antarpersonal
aku dengan Orang lain.
Dalam Le temps et l’autre karya Levinas, orang lain merupakan sosok pribadi tunggal.
Jelasnya, Orang lain akan berbeda ketika ia menjadi pribadi tunggal. Pun Orang
lain akan menjadi garang jika menjadi
bagian kerumunan atau kelompok.
Titik balik abad pencerahan telah
membuat dunia global lebih terbuka sebenarnya. Pemaknaan mengenai Orang lain lain pun
berkembang dalam semangat multikulturalisme. Namun, kita harus tetap waspada. Kapuscinki
mengingatkan, multikulturalisme juga menyimpan dua ancaman. Pertama, energi dan ambisi berlimpah
dari budaya-budaya yang baru saja
merdeka dapat dieksploitasi oleh kaum nasionalis dan rasis untuk mendorong
terjadinya perang Orang lain. Kedua, jeritan untuk memajukan budaya
sendiri dapat dieksploitasi untuk membangkitkan etnosentrisme, xenophobia, dan
kebencian terhadap Orang lain.
Akhirnya buku ini pun mengajak
semua orang untuk mengalami makna bertemu dan menjadi Orang lain dengan bijak.
Betul, berjumpa dengan orang lain adalah tantangan pada abad ini. Yang harus
kita renungkan kedepan adalah bagaimana perjumpaan kita dengan Orang lain
nantinya?
0 komentar:
Posting Komentar