Selasa, 19 Februari 2013
Ke Kota Paris.
Di hujan kali ini aku membenci mimpinya itu. Kepalaku sakit, pening. Bukan karena aku sengaja membenturkannya ke tiang listrik di gang dekat rumahku. Bukan pula karena air hujan. Kepalaku sakit karena kali ini aku memikirkan, betapa bodohnya aku untuk menerima kenyatan ini. Saat payung-payungku sengaja kulepas dan berlari tak kuasa menangkap dirimu. Dicium oleh laki-laki dari Paris itu.
Sebelum kejadian itu, dua hari lalu, aku dan perempuanku itu berdebat sengit tentang cincin, pernikahan, dan mimpinya itu. Menapaki jejak mimpi ibunya, ke Kota Paris.
“Bukankah umurmu sudah 30 tahun, kau tak takut kau akan menjadi perawan tua,” sambil tertawa aku melanjutkan, “Ayolah terima cincinku ini, menikahlah denganku.”
Dibalik pintu kamarnya. Terkunci. Aku mengetuknya, perempuanku itu hanya terdiam, dan terlihat warna-warni dari sebuah halaman depan rumah menghentikan dialog kami. Kembang api melesat, meledakkan warna-warninya di sekitar langit-langit di depan rumah kami ini. Adiknya, telah kerjasama denganku untuk memasang kembang api itu. Sayangnya kali ini kembang api itu tidak menghibur, sebab kakaknya itu telah menolakku kembali.
Kenangku itu ada ditengah mabuk di sebuah kafe kecil temanku. Sambil bernyanyi dan celoteh tak jelas, aku rasa, ya aku memang sedang mabuk. Perempuanku dan ayahnya menjemputku malam di kala aku mabuk berat.
Setelah hujan berhenti atau mungkin setelah aku mabuk, aku kembali ke dapur untuk membuat sebuah roti terbaik di kampung ini. Aku sendiri menyesali sepenuhnya untuk mengizinkan laki-laki dari Kota Paris itu masuk, dan tinggal bersama kami. Mengajari aku, perempuanku, dan orang-orang kampung ini tentang rahasia membuat roti dari Paris yang terkenal itu.
Dan sunguh aku menyesali kedatangan laki-laki itu. Setelah ia merebut mimpinya, memberi peluang
mengajaknya ke Paris. Kali ini aku harus mengakui hidupku akan hilang setengah, bahwa roti terbaikku, perempuanku itu, akan dibawanya pula.
Selebihnya aku dan ayahnnya masih di kampung ini, membuat roti seperti biasanya, mengerjakan sambil lalu dan memikirkan dirimu yang akan pergi ke Paris dua hari lagi.
Di malamnya aku dan ayahnya mungkin hanya kembali akan bercerita tentang anak perempuannya yang kucintai itu, bermain klarinet kesayangannya sambil bernyanyi-nyanyi dan minum sake. Selama tujuh tahun aku mencintaiya. Tapi kali ini yang membuat ku sakit, tujuh hari saja laki-laki Paris itu dapat memilikinya!
Ayahnya berseru padaku, tapi aku kala itu menganggapn ia hanya mabuk dan mengenang istrinya saja.
“Kau tahu rahasia sebenarnya saat membuat roti?,” sambil tersenyum ia mengatakannya padaku.
Aku terdiam, mungkin agak mabuk dan masih tak kuasa memikirkan akan kekalahanku yang akan ditentukan esok dalam sebuah perlombaan membuat roti dengan laki-laki Paris itu.
“Untuk mendapatkan anakku cukuplah sederhana”, katanya. Sambil menenggak sake ia meneruskan ceritanya, “Cukup kau buatkan roti terbaik untuknya.”
Ayahnya bercerita kembali kepadaku tentang aku, anak perempunya itu, dan istrinya. Ia mengerti betul tentang diriku. Ia pun berterima kasih kepadaku telah membantunya selama sejauh ini untuk mengembangkan usaha toko roti-nya di kampung ini.
Yang aku pikirkan, aku tidak tahu bagaimana membuat roti terbaik. Apa teknik dan model roti seperti apa.
Sambil bermain klarinet sebentar dan memandangi foto istinya, ia seloroh masuk ke dalam rumah dan berkata “Hal yang sederhana, jika kau membuatnya dengan hati, itu akan menjadi hal yang menarik”. Ia pun menepuk pundakku untuk lekas tidur malam itu.
Aku masih ingat saat aku ribut dengan laki-laki Paris itu, ia sempat memukulku, dapur kami pun berantakan karena keributan kekanakan kami itu.
“Apakah aku salah untuk mencintainya?,” tanyanya padaku, dengan nada serius ia kembali mengucapkan alasannya, “Aku juga laki-laki yang bisa mencintai perempuan, ia menarik, cerdas, aku ingin membawanya dan mewujudkan mimpinya untuk dapat melangkah ke Kota Paris. Bukankah kau juga mengetahuinya ia ingin sekali ke Kota Paris,” penjelasanya membuatku semakin kalah.
Sambil menangis merengek seperti bocah laki-laki yang kalah, aku menjawabnya “Kau tampan, kaya, cerdas, master dalam membuat roti, mengapa kau mengambil rotiku satu-satunnya (perempuanku) itu.”
Debu-debu dari tepung terigu menghiasi muka kami dalam perkelahian itu. Kami pun akhirnya saling mengerti dan kembali membereskan dapur. Tertawa kami pun kembali tertuang dalam sebuah persetujuan untuk melakukan lomba membuat roti. Siapa yang terbaik dia berhak membawa rotiku itu. Biarkan perempuanku dan warga kampung yang memilihnya.
Aku harus menerima kenyataan. Laki-laki Paris itu telah mengalahkanku. Ia membuat roti dari beras asli di negeri ini dengan teknik yang sangat sederhana. Aku malah terlihat membuat roti dengan teknik yang tidak biasanya, lebih modern. Nilai kami pun sama, warga memilih, dan hasilnya pun seri.
Tapi ternyata perempuanku itu memiliki bola yang belum ditaruh ke dalam kotak hitungan, ia menunduk dan memutar-mutarkan bola itu. Ia menjadi penentu!
Mungkin bingung untuk memilih siapa. Aku pun tidak tahu ia kan memilih yang mana. Aku dengan toko rotinya, atau laki-laki itu dengan Kota Parisnya.
Yang pasti saat ia menaruh bola itu di kotak laki-laki Paris itu. Aku menyadari bahwa ia memang ingin ke Kota Paris. Mengikuti jejak ibunya itu. Aku menarik kesimpulan mimpi seorang yang sudah mengebu-gebu dapat mengalahkan apapun, persaudaraan, rumahnya, toko rotinya, maupun cintanya.
Lagi pula aku menyadari aku tak mampu untuk membawanya ke sana, ke kota Paris itu. Meski impianku sendiri untuk membawanya kesana tak pernah aku kubur dalam-dalam.
Setalah kekalahan sore itu. Aku berniat untuk membuat roti untuknya sebagai tanda perpisahan. Hanya roti biasa. Roti yang selalu ada di pajang di depan toko roti kami itu. Sialnya pagi itu, saat keberangkatnnya. Aku tertidur di dapur saat menunggu roti itu dipanaskan.
Aku pun terburu-buru dengan menggunakan kostum yang tidak biasanya, yaitu kostum boneka kesukaan dan peninggalan ibunya, aku coba mengejarnya untuk memberikan roti ini. Semoga ia masih mengingatku. Tingkahku yang kadang menyebalkan, ataupun menyenangkan.
Untungnya diseberang jalan, aku bertemu dengan mobil yang membawa perempuanku itu. Lekas, buru-buru aku mengejarnya. Aku melambaikan tangan dan berteriak-teriak, semoga ia dapat mendengarnya.
Di kaca spion ia melihatku dengan kelakuan anehku menggunakan kostum boneka itu. Ia mengenaliku. Mobil pun terhenti. Akhirnya akupun dapat memberikan roti itu.
Tak kusangka setelah ia mencicipi rotiku itu ia mengurungkan niatnya untuk pergi ke Kota Paris. Aku jga tak mengerti apa yang terjadi padanya. Yang kutahu saat malam itu aku membuatnya sepertinya penuh dengan ketulusan. Karena, mungkin saja aku berfikiri hari itu terakhir bertemu dengannya. Aku baru menyadari aku mungkin teringat akan kata ayahnya, “Jika kau membuatnya dengan hati apapun menjadi menarik”. Ya mungkin itu kuncinya.
Aku dan perempuanku pun berjalan sambil menenteng baju boneka peninggalan ibunya itu. Kami kembali bercanda, berjalan, dan akan kembali menghiasi toko roti kami esoknya.
*****
Tulisan ini hanya coba meresensi film The Soul Of Bread. FIlm ini sangat menarik, bicara tentang kultur orang Taiwan yang senang membuat roti. Meski film ini film yang terbalut dengan CINTA, tapi tak mengapa, film ini bagus bicara tentang kearifan lokal. Serta tulisan ini memang ditulis tanpa melihat kembali FILM itu, jadi jika ada kesalahan, masih jorok titik, koma dan petiknya maklumi saja. Selamat Membaca!
Categories: RESENSI FILM
Posted on Selasa, Februari 19, 2013 by Rianto
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
About Me
- Rianto
- Ingin menjadi penulis, jurnalis, dosen. Begitu terobsesi dengan sejarah, sastra, budaya. Emailku riantoanarkhy@gmail.com
Popular Posts
-
"Dewek teh urang Bandung, tas ngumbara ti Nagri Walanda, ayeuna rek balik ka Jawa" , itulah alasan Syafe'i Soemardja ketika di...
-
Kakekku tidak bisa membaca. Eh, nenek juga deh. Katanya mereka lebih memilih bekerja dibanding sekolah. Makanya mereka tidak bisa mem...
-
Hembusan angin yang sayup-sayup telah menyapu debu-debu, membawa terbang seonggok kertas-kertas serta plastik yang dibiarkan teronggok ...
-
"Menghadapi kekejian yang tidak manusiawi, manusia harus melakukan penentangan. Manusia tidak boleh diam. Dia yang diam dan ...
-
Masa lalu berbuku saya adalah masa lalu yang di mana perpustakaan SD di kampung penuh dengan kover-kover buku bacaan anak yang h...
-
Sebelum aku mendongeng untukmu. Aku ingin menonton Ada Apa dengan Cinta bersamamu. Sayang, malam ini aku lelah. Tapi, saat aku...
-
beberapa koleksi buku di rumah November lalu saya bertemu dengan Romo Mudji. Saat itu Romo Mudji sedang duduk-duduk di ruang tunggu ...
-
Pada hari Sabtu, 20 Februari di Galeri Nasional puluhan orang menunggu gong dibunyikan tanda perayaan bedah buku dimulai. Bedah buku bertaj...
-
Tiga lelaki tua itu sedang berdiskusi mengenai keindahan lukisan Raden Saleh. Perdebatannya mengenai pencahayaan yang digunakan Rade...
-
Sudah pasti kita mengenal sederet nama berikut: Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar, dan W.S Rendra; sebagai tokoh-tokoh...
Categories
Blog Archive
-
▼
2013
(39)
-
▼
Februari
(10)
- Waiting For Superman
- Membaca Paulo Freire dalam Kebudayaaan Sehari-hari
- Cara Berfikir Entrepreneur
- Makna Bertemu dengan Orang Lain
- Berpihak pada IMF, Tidak pada Pendidikan
- Dari Desa, Belajar Proses Belajar Menjadi Kepompong
- Dengan Hati, Aku Membuat Roti Itu
- HUGO : Matinya Imaji Seniman Kota
- Sahabat Lama datang Menemuiku
- Rumah: Genitnya Ruang-ruang Dialog
-
▼
Februari
(10)
0 komentar:
Posting Komentar