Udara panas dan udara dingin yang bertatap muka di langit, membuat hujan frontal menjalani kesepakatan dengan awan hitam. Sore ini, pukul 18.45 di arlojiku, air dari langit mengguyur Kampung Haji Agus Muslih . Keadaan kampung yang panas, mendadak mendapatkan temperatur yang agak dingin akibat air hujan yang turun sore itu. Bocah-bocah nakal mulai keluar dari sarangnya, menerpa air hujan yang turun, berkah bagi bocah yang ingin main lempar tanah di dekat Diesel Padi . Beribu kali para ibu teriak seiring adzan maghrib, memarahi sambil melecutkan sapu di bagian tubuh bocah-bocah nakal yang berlumuran lumpur disekujur tubuhnya. “Udah maghrib, pulang, mandi sana, dasar anak nakal” teriak ibu tersebut. Aku pun hanya bisa mengucapkan “permisi” numpang lewat” sehingga tangan si ibu berhenti sejenak memukuli bocah botak itu, anak kampung jelek, panu, banyak kurap dikakinya.
Teriakan bocah-bocah yang menangis dan harum tanah yang masih basah mengiringi, membuat kotor sepatu hitamku, air yang tergenangpun menampakan kaca diwajahku yang maskulin, terpaksa harus diinjak pula oleh sepatu hitam, bayangan wajah maskulin di air itu. Tak ada jalan lain, “Dasar jalan jelek kau mengotori sepatu baruku” Geramku. Sepatuku yang kotor dan tertambal tanah pun terpaksa membuat aku berhenti sejenak untuk mengiris tanah-tanah yang menempel disepatu baruku. Hingga jalanku pun harus disusul oleh anak-anak perempuan kampung berkerudung dengan tentengan Al-Quran, bahkan ada anak-anak laki-laki sambil berlarian di sepanjang jalan becek sambil melepit Iqro diketeknya. Anak-anak yang dilahirkan benar oleh tangan-tangan Tuhan.
Keluar dari pintu depan masuk kampong Haji Agus Muslih, tepatnya pertigaan di Jalan Cendrawasih ada rumah gosong bekas rumah suami istri Jawa. 20 tahun ynag lalu,Istri-nya mengalami mati tragis, rumahnya terbakar akibat anaknya yang autis, bodoh, malas, sedang bermain-main dengan lampu templok dan istrinya terlelap tidur. Masyarakat pun enggan lewat rumah ini, takut, alih-alih anak-anak mereka diajak main arwah istri dan anak autis yang dilahirkan oleh suami-istri Jawa itu. Celakalah suami istri itu karena punya anak yang dilahirkan salah oleh tangan-tangan tuhan.
Tapi aku tidak mencari jejak tangan-tangan tuhan yang benar atau salah itu, aku mencari lelaki pengumpul aqua bekas yang tinggal di rumah gosong itu, suami dari istri dan anak yang mati tragis itu. Menurut masyarakat Kampung sini, rumahnya ada dipertigaan lima ratus meter dari pondok anak-anak mengaji. Benar kata masayarakat, Mistika Rumah gosong itu, hanya beralaskan bumi, tanah-tanah teras itu menyapa sepatu hitam baru nan kotorku untuk masuk keruangan dalamnya. Terlihat sebagian dindingnya sudah mulai di cat ulang dengan warna krem, walaupun masih meninggalkan jejak-jejak rumah terbakar. Tegursapa tumpukan aqua bekas terikat rapi, ada disekitar sudut-sudut ruangan. Setahuku, ke pengepul harganya 700 perak per kilo. Apakah itu cukup, untuk menghidupi badannya yang gemuk itu, tapi aku tahu betul dia, tidak dekil, bahkan baulampu templok hilang, ia ubah menjadi wangi bunga-bunga pohon kamboja yang ditanam tepat di samping rumah kosong itu . Tak ada lampu listrik yang menerangi kamarnya, lampu templok dan petromak uzur saja. Di belakang rumah itu terlihat tangan sedikit keriput berkeringat oli yang sedang mengayuh rante dan roda. Oli bekas untuk melancarkan rante harta satu-satunya, Onthel. Mungkin itu Bachrul. Akhirnya, aku bertemu dengannya.
Pagi ini aku terbangun dari tidur malam yang melelahkan. Aku tak ingat lagi, apa yang aku bicarakan dengannya. Yang aku ingat, Bachrul mendapatkan pekerjaan baru. Aktivanya bertambah, Gerobak kecil yang dibuat sendiri hasil keringatnya, tabungan aqua kiloannya. Oh iya, semalam ia bilang, pagi ini, ia dapat mengantarkan air bersih ke kompleks perumahan Sentosa Raya. Empat sampai lima gallon siap ia antarkan. Sambil menarik gerobak kecil berisi tiga gallon air, aku mengintip dari rendra merah kusam jendela tua kamaranya, sepertinya ia sedang menghitung dalam hati, “Hari ini Tuhan, 20.00 perak akan kukantongi” gusarnya. Ini toh aktivitas barunya kalau Sabtu-Minggu tiba.
Setelah hampir setengah hari Bachrul keliling dari rumah-kerumah, gerobak kecilnya ia senderkan di pohon jambu dekat Warteg Pakde Nunu, tanpa ragu ia pun memesan nasi lengkap dengan paha ayam dan sayur lodeh. Hari ini, Bachrul makan enak. Tak lupa Bachrul membawa nasi bungkus untuk tamunya yang datang tadi malam. Di sela-sela ia makan dengan lahapnya. Empat Orang di Pos ronda yang sedang maen gaplek mulai membicarakan Bachrul.
“Lihat, Bachrul makan dengan buasnya” sambil menimpa gaplek,
“Kaga makan tujuh bulan kali dia”,
“Hush!!! jangan ngomong sembarangan, nanti anakmu yang baru tujuh bulan dikandung istri, dicomot ama dedemit Jawa itu , tau rasa”,
“Amit-amit, dah”
“Sebenarnya dia adalah seorang Dokter, sayang izajah nya dibakar oleh orang tuanya karena berani menikahi seorang “priyayi” berbeda agama, sayang bener”.
Dari pembicaraan empat orang di pos ronda itu, diketahui Bachrul merupakan orang intelek, lulusan Institut Kedokteran di Malang Jawa Timur. Pantas saja, walaupun sebagai pemulung serta penarik gerobak air, dia berpenampilan cukup rapi, rambutnya yang agak panjang selalu klimis, serta kacamata selalu menempel dimatanya yang agak sipit itu, tidak kalah gagah dengan foto Dandels yang Bachrul pajang di samping jendela kamar tuanya. Tapi memang disayangkan, cita-citanya ingin menjadi Dokter harus pupus karena izajah dan istri pertamanya itu. Kasihan. Seiring pembicaraan empat orang di pos ronda, bachrul lewat dengan melemparkan senyum sejuknya kepada empat orang itu, gerobak pun ditarik menuju rumah sahabatnya yang memintanya untuk memenuhi kendi-kendi air untuk malam nanti. Mandor Darman namanya seorang kepala Sekolah Luar Biasa.
Aku hanya berada di rumah ini, melihat sarang Bachrul. Di kamarnya terlihat Foto Daendels yang bertuliskan “Keinginan yang tak layak di kalangan banyak orang jawa untuk memperoleh pendidikan lanjutan adalah bahaya besar bagi rencana-rencana pemerintah”. Buku-buku yang tersender di meja kecilnya terlampau kecil untuk menjaga beban buku-bukunya yang banyak dan tebal itu. Terlalu naïf untuk membaca buku-buku itu, dan hanya orang tolol yang mau serta terlampau sulit mengajarkan anak pribumi tolol lagi malas itu. Apalagi menceritakanya dalam sebuah artikel di harian Jakarta. Teh panas dan nasi bungkus yang dibawakan Bachrul telah melewati kerongkongan dan lambungku, membuat kepalaku sedikit pening, sebenarnya aku tidak mau makan nasi bungkus bawaanya. Ah,lebih baik aku tidur saja, sampai sore, atau mungkin sampai malam tiba. Lagipula Bachrul akan pergi malam ini.
Keadaan malam di Kampug Haji Agus Muslih, cukup mencekam. Pukul delapan malam semua rumah sudah tertutup, rapat dengan gembok dan anjing-anjing kampung mulai menampakan aumannya yang sesekali menggelegar ditengah terlelapnya masyarakat dalam peraduannya. Hanya kokok ayam jantan yang agak mententramkan hati masyarakat yang tak sabar menunggu sang fajar terbit dari timur. Bahkan kentongan dari pos ronda dan dentuman Patok yang sengaja ditanam untuk dijadikan tiang listrik, seperti menimbulkan bunyi “waspada” dan menunjukan pukul lebih dari sepuluh malam telah terlewati. Kampung yang parah, tiang listrik baru ditanam, pekerja-pekerja bangunan itu buat berisik saja.
Akhirnya aku keluar saja jalan-jalan sebentar melintas di kebun sambil membawa lampu petromak, sebatang rokok mulai terbakar dan menemani tanganku memutar-mutar si kecil membara itu. Petromak yang sengaja kunyalakan di depan rumah menampakan wajah Bachrul yang cerah sambil mengeluarkan Onthelnya, akupun tertegun . Sepeda Onthel sang Guru ini melaju lambat, katanya ia mau ke rumah Mandor Darman. “ Saya Pergi dulu, nanti pintu dikunci saja, pagi, mungkin saya bisa mengantarmu ke Stasiun Cikarang”.
Ternyata benar Mandor Darman sedang mengadakan pesta penyambutan anaknya yang baru pulang dari Yogyakarta. Para tamu undangan terjaga dalam rumahnya, hingga pagi nanti, Mungkin Bachrul diundang oleh Mandor Darman. Di sana, terlihat Bachrul menjadi penjaga dapur dan pengisi air di tempat Mandor Darman. Serta, beberapa kali dia terlihat membereskan piring-piring menumpuk dibawah jejeran bangku plastik merah.
Malam ini, aku hadir di pesta Mandor Darman bukan karena aku tamu Bachrul, tapi lampu templok dikamar telah habis minyak tanahnya, aku menyusulnya untuk mencari minyak tanah. Tidak kusangka, sepertinya dia sudah akrab dengan masyarakat kompleks Perumahan Sentosa Raya. Apalagi keluarga Mandor Darman. Setelah aku mendapatkan minyak tanah ini, aku keluar dari perjamuan pesta malam itu. Sesekali aku menengok kebelakang melihat asiknya Bachrul mengobrol dengan Mandor Darman serta anaknya. Dia memperkenalkan aku dengan bangganya kepada Mandor Darman. Tradisi lama, banyak basa-basi. Apa yang kau ceritakan kepadanya lagi tentang diriku. Malas sekali sebenarnya aku punya kerabat sepertimu. Kau terlalu jujur, sopan, dan bersolek seperti priyayi munafik. Lebih baik aku kembali ke kamar, tidur. Sambil memikirkan besok, pulang.
Pintu depan terdengar seperti ada yang mengetuk, mungkin Bachrul pulang. Aku pun bergegas membuka kelambu kamar untuk bisa melihat dari rendra jendela siapa yang mengetuk pintu di pagi ini. Benar ternyata Bachrul dengan Mandor Darma dan anaknya, Surtini yang mengetuk pintu rumah kosong ini. Koperku pun siap, sehari semalam menginap di rumah ini dan tiga sampai empat jam sudah cukup dialog dengan Bachrul. Pagi ini aku diantar pulang oleh Surtini menuju Stasiun Kereta Cikarang. Mandor Darma dan Bachrul harus pergi untuk menuju Sekolah Luar Biasa. Mengajarkan baca-tulis untuk anak-anak tolol selagi malas itu, sangat melelahkan di Masa ini. Hanya surat dariku yang kutitipkan. Kuharap kau hadir. Dan kuharap kau membalas suratku. Calon Istriku di istana menunggu aku datang. Mungkin, saudara-saudara jauh kita sudah hadir seminggu yang lalu di rumahku.. Maaf aku telah mengganggu hari Sabtu-Minggumu.
Lelahnya perjalanan, bisingya kereta, padatnya penumpang, pengemis, penjaja makanan menjadi satu adonan. Membuatku tidak mau naik kereta ekonomi ini. Tapi aku teringat ceritanya, waktu awal kejadian pembakaran ijazah itu, ia pergi meninggalkan kampungnya naik kereta ekonomi Semarang- Jakarta dengan calon istrinya. Sehingga ia merasakan berkumpul dengan pribumi itu tidak mengenakan, tapi dari situ kita dapat melihat sisi kemanusiaan “tak selamanya” jadi priyayi patuh dan punya istri banyak dari kalangan priyayi juga, dapat mampu beradaptasi dengan lingkungan pribumi “yang tolol dan lagi malas itu”, benarkan?. Bahkan dari situ dia mampu menciptakan karya yang hebat. Tulisan- tulisan inspiratif yang dicetak oleh harian Jakarta telah mengantarkan alamatmu untuk kutelusuri. Sehingga kita bertemu lagi. Semoga tulisan itu “menginspirasi orang-orang untuk mencintai istri dan anak-anak yang dilahirkan salah atau benar oleh tangan-tanagn Tuhan. Tapi kenapa kau sebut aku sebagai priyayi yang hebat karena bercita-cita Master Jurnalistik . bukankah itu mimpimu. Sehingga kau bebas pergi kemana-mana untuk mengejar informasi, memiliki tempat peraduan yang banyak. Hingga akhirnya sang peri menggugatmu untuk menceraikannya?.
Aku ingin merasakan hidup sepertimu menjadi wartawan, sastrawan, penulis yang dapat menghasilkan tulisan-tulisan yang inspiratif. Aku sendiri rindu dengan peri itu, ingin mencium dan terlalu sulit untuk menghabiskan cintaku padanya. Mungkin, aku tidak harus berbohong lagi kepada peri ini, aku membenci sesorang. Aku mencintainya, karena belajar darimu, dari cerita peri pertamamu. Peri-mu disini sering cerita tentangmu. Kebiasaanmu membaca, serta tamu-tamu di ruanganmu itu. Ketika kukatakan dia bisu aku memang tidak berbohong, ketika kukatakan dia berbicara aku juga tidak berdusta. Mungkin itu yang dikatakan perimu itu benar, tulisan-tulisan mu mengagumkan. Ingat, Senin Minggu depan aku akan menikah.
Ceritamu karena Izajah terbakar itu, dan bagaimana cara mencintai peri pertamamu akan menjadi modal keberanianku untuk menikahi Sutriani dan membesarkan anak-anakku. Bahkan aku tidak ingat kapan terakhir aku bisa mengingat kau mengajarkan membaca, menulis, bahkan mengingat kau gugup menunggu kelahiran anak pertama dari rahim perimu itu. aku lahir tanpa cacat, tidak autis, dan jari-jariku tidak gigantisme sama sehat seprti anak-anakku. Sesuai impian dan cerita inspiratifmu, membuat aku menggeliat menghasilkan karya. Dalam Ontologis kumpulan cerpen “Epistomologis Anak Pertama: Lahir Benar oleh Tangan-Tangan Tuhan" ini. Menceritakan tentangmu yah.
"Ya, dalam Cerpen ini'